Lima orang berkuda dari Selo Merbabu itu turun dari kuda dan menambatkan tali kuda masing-masing di sebuah tiang melintang di depan pendopo itu. Baruklinting membawa mereka masuk dan duduk di kursi kayu jati ruang tamu di dalam Ndalem Koretan.Â
"Silahkan diminum dan dimakan seadanya", kata Baruklinting mempersilahkan para tamunya itu menikmati minuman teh dan camilan yang telah tersaji di meja besar ruang tamu itu.Â
"Aku telah menerima pesan dari telepati yang kau kirimkan, Baruklinting", ujar Pulanggeni sesaat kemudian. "Jadi apa yang akan kau berikan?", tanya Pulanggeni tanpa basa-basi.Â
Baruklinting mengamati para tamunya itu satu-satu. Perasaan batinnya berdesir manakala dia memandang ke arah Ki Pamungkas orang dari Mataram itu. Pakulitan atau warna kulit orang itu lebih bersih kuning langsat dibanding keempat orang yang lain. Baruklinting hendak bertanya.Â
Tetapi buru-buru Pulanggeni memperkenalkan lebih dulu bahwa empat orang yang ikut bersamanya, termasuk Ki Pamungkas adalah para pengawal pribadinya. Mereka biasa turut serta jika Pulanggeni melakukan perjalanan jauh dari pusat padepokan Nogo Kemuning di Selo Merbabu. Keempat orang yang disebut sebagai pengawal pribadi itu menyebut nama masing-masing, kecuali Ki Pamungkas memperkenalkan diri sebagai orang bernama: "Ki Pendar Nyawa".Â
"Seingatku. Aku pernah bertemu kalian bertiga sewaktu dulu di Merapi. Tetapi dengan Ki Pendar Nyawa, saya baru tahu sekarang", kata Baruklinting. Keempat orang itu mengangguk.Â
"Kelak tidak perlu lagi kau membawa banyak pengawal pribadi. Sebab telah kusiapkan segala ubo rampe, tempat tinggal yang aman dan semua saranamu tinggal bersama kelompokmu di Mangir", ujar Baruklinting kemudian. "Semua seperti janjiku dulu". Pungkasnya kemudian.Â
Pulanggeni sekilas teringat pada janji Baruklinting, orang yang kini duduk di depannya itu.
 "Peganglah janjiku, kelak ketika aku telah hidup makmur di Mangir, kamu dan kelompokmu kuberi suatu tempat yang luas di Mangir, sehingga kamu tidak perlu hidup sengsara di kawasan Selo Merbabu itu. Aku mau berbagi hidup kemakmuran bersama gerombolanmu di Mangir", ujar Baruklinting, di kala itu.Â
"Di sebelah mana kami akan kau tempatkan di Mangir?", tanya Pulanggeni.Â
"Di empat titik lokasi. Terutama di Kotapraja. Silahkan kau tempati. Bawalah sekalian pasukan Bayangan Hitammu. Orang-orangku akan mengatur kedatanganmu di lokasi", kata Baruklinting. "Tetapi pesanku, jika kelak rombonganmu datang ke Mangir, berlakulah sebagai pedagang biasa atau petani, sehingga kedatangan kalian tidak mencolok perhatian penduduk setempat".Â