Pulanggeni menarik napas dalam. Dia meminta kedua prajurit itu untuk membuka tutup kain hitam pada kepala tawanan yang terikat tangannya itu.Â
"Buka tutup kepalanya. Buka ikatan tali tangannya. Aku ingin melihat wajah orang itu", pungkas Pulanggeni. Lalu kedua prajurit gerbang perbatasan itu buru-buru melepaskan tali yang mengikat tangan itu dan membuka kain penutup kepala tawanan mereka itu.Â
Sedetik kemudian di balik kain hitam penutup kepala itu segera menyembulkan sosok seraut wajah. Seraut wajah itu sangat mengejutkan Pulanggeni. Dia dua langkah surut ke belakang.Â
"Sambar geledek!", teriak Pulanggeni mengumpat. Sontak ruangan itu semakin mencekam. "Jika kalian berani menyelesaikan orang ini, kurampungkan hidup kalian lebih dulu!". Orang nomor satu di Nogo Kemuning itu kemarahannya membuncah kembali seperti tersulut api.Â
Dalam satu lompatan kecil ke depan, tiba-tiba kaki kanannya telah melayang dengan cepat mengenai dada kedua orang prajurit itu secara hampir bersamaan. Tendangan kaki itu begitu cepat gerakannya. Dua orang prajurit itu tak sempat menghindar. Tubuhnya tumbang ke belakang. Mereka pingsan saat itu juga. Tak ada orang yang berada di ruang pertemuan itu yang berusaha menolong kedua prajurit yang tubuhnya kini menggelosor di dekat tiang pendopo agung itu.Â
"Kalian terlalu bodoh sebagai prajurit. Tidak tahukan kalian, siapa orang yang kalian perlakukan hina seperti hewan ini? Bawa kedua prajurit itu keluar, aku tak ingin melihat mereka lagi", ujar Pulanggeni.
Beberapa orang kemudian bergerak membawa kedua prajurit yang pingsan itu keluar pendopo itu. Pulanggeni menghampiri orang yang tadi tertutup kain hitam itu.Â
"Maafkan kelakuan anak buahku, dimas sinuwun", kata Pulanggeni.Â
"Kamu terlalu keras menghukum mereka anak buahmu, mereka prajuritmu", ujar orang itu sambil tersenyum. Kemudian mereka saling bersalaman dan berpelukan sebentar seperti perjumpaan dua orang kawan lama tak bertemu. Semua orang yang melihat kedua orang itu keheranan.Â
"Lama tak bertemu. Kukira panjenengan, dimas sinuwun sudah keburu mati dikerubut laskas Pajang", kata Pulanggeni sekenanya. Nadanya sambil tertawa memudarkan amarahnya seketika itu juga.Â
"Masih saja kamu sebagai pimpinan garong, watakmu tak berubah sedari dulu, kakang Pulanggeni", pungkas orang itu. Keduanya lalu tertawa lepas bersama-sama.Â