Pulanggeni Tagih Janji (#16)
Padepokan Nogo Kemuning, Selo MerbabuÂ
Sudah semusim panen waktu berlalu. Pulanggeni belum menerima kabar tentang Baruklinting. Sosok yang telah memakai jasa pasukan Bayangan Hitam Nogo Kemuning yang dipimpinnya itu seolah lenyap. Seperti tertelan oleh bumi. Rasa kesabaran orang nomor satu di gerombolan Nogo Kemuning itu benar-benar sedang diuji. Dia mudah terpancing emosinya manakala teringat pada ucapan dan janji Baruklinting, dan janji itu hingga kini belum dipenuhi. Pulanggeni teringat pada janji Baruklinting, di kala itu.Â
"Peganglah janjiku, kelak ketika aku telah hidup makmur di Mangir, kamu dan kelompokmu kuberi suatu tempat yang luas di Mangir, sehingga kamu tidak perlu hidup sengsara di kawasan Selo Merbabu itu. Aku mau berbagi hidup kemakmuran bersama gerombolanmu di Mangir", ujar Baruklinting. Lalu Pulanggeni tertarik dengan kata-kata manis Baruklinting itu.
Pulanggeni benar-benar geram bila teringat pada janji itu. Dia menjadi semakin murka jika berpikir bahwa kemungkinan Baruklinting hanya memanfaatkan dirinya dan kelompoknya saja demi memuluskan kepentingannya sendiri. Baruklinting harus segera melunasi janjinya! Geram Pulanggeni.Â
"Kurangajar!", teriak Pulanggeni. "Anak muda itu kebanyakan Gludug kurang Udan. Terlalu banyak bicara tak pernah memberi bukti. Jika Baruklinting berani ingkar janji, dia harus menanggung akibatnya. Dia harus tahu siapa Pulanggeni, siapa kita Nogo Kemuning! Kita gulung rata tanah anak kemaren sore itu!", lanjut Pulanggeni dalam nada kemarahan yang besar.Â
Brakk!! Pulanggeni menggebrak meja kayu jati di samping tempatnya duduk di tengah pendopo. Dia melepas rasa kesal dan marahnya. Para punggawa dan pengikut Pulanggeni yang hadir di pendopo ageng padepokan Nogo Kemuning di Selo Merbabu itu tak ada yang bergeming. Suara pemimpin mereka itu begitu menggelegar memenuhi ruang pendopo ageng itu. Beberapa gelas dan cangkir di atas meja beterbangan ketika tangan Pulanggeni menggebrak meja kayu jati itu.Â
"Sudah semusim panen lebih, mestinya dia si kutu kupret itu segera melunasi janjinya. Dia sudah tinggal di Mangir. Apalagi yang perlu ditunggu? Apa perlu kita mengeluruk ke perdikan yang berbatasan dengan wilayah keraton Mataram itu?". Ujarnya kemudian. "Kalau perlu kita ratakan sekalian Mangir, jika si Baruklinting benar-benar ingkar pada janjinya", pungkas Pulanggeni menggeram penuh kemarahan.
Belum usai Pulanggeni menyudahi rasa kesalnya di pertemuan ageng yang diikuti semua para punggawa dan bala pasukan Bayangan Hitam Nogo Kemuning itu, mendadak dari halaman gerbang depan tampak tergopoh-gopoh datang dua prajurit membawa seseorang yang tertutup kain hitam pada kepalanya. Kedua orang prajurit itu adalah para penjaga yang bertugas di perbatasan terluar wilayah Nogo Kemuning di gardu Selo Merapi Merbabu. Semua mata orang yang hadir di pertemuan agung itu tertuju pada kehadiran dua prajurit dan seseorang yang ditutup kain hitam pada kepalanya itu. Semua orang menanti dalam perasaan tegang.Â
"Majulah prajurit. Siapa orang yang kau bawa itu", tegas Pulanggeni. Matanya memerah.
"Maaf sinuwun. Ijin saya melaporkan. Kami rangket orang ini, setelah gerak-geriknya terlihat mencurigakan di gerbang perbatasan luar, sinuwun. Kami khawatir dia telik sandi musuh yang mencoba menyusup ke kawasan kita", ujar seorang prajurit menerangkan.Â
"Sedianya kami selesaikan tawanan ini di perbatasan. Tetapi kami pikir lebih baik kami bawa ke sini untuk ditindaklanjuti. Demikian sinuwun", kata seorang kawan prajurit itu kemudian.Â