Menghimpun Kekuatan (#13)
Padepokan Kasunyatan Jagad, KulonprogoÂ
Angin lembah perbukitan Menoreh berhembus di Kulonprogo, mengerisik bunyinya ketika menelisip di sela-sela dedaunan rimbun di dua pohon beringin putih yang tumbuh di pelataran gerbang suatu pasraman atau padepokan. Tempat itu bernama Padepokan Kasunyatan Jagad, Desa Kalibawang, Kulonprogo. Sulur-sulur pohon beringin di pelataran padepokan itu menjuntai hingga ke tanah, bergoyang-goyang tertiup oleh angin, tampak membentuk seperti tirai sutera yang sebagian menutupi pintu depan rumah pendopo ageng itu. Keadaan begitu asri di tempat itu.
Di ruang pendopo yang cukup luas itu, telah duduk bersila beberapa orang penting di Mangir. Antara lain Demang Darismanta dari kademangan pesisir Selatan, Ki Lurah Ciptosubali dari kelurahan Kalibawang. Ki Suta dan Ki Nala, kakak beradik pemimpin keamanan kawasan jalur perdagangan Progo-Kotapraja, berjuluk "Sepasang ular kembar dari Selatan". Ki Gringsing "Sesepuh Menoreh" dari Padepokan Orang Bercambuk Menoreh, dan Ki Mijil tuan rumah, pemimpin Padepokan Kasunyatan Jagad. Dan Baruklinting sendiri tampak berada duduk dikelilingi oleh orang-orang itu.Â
Sebuah pasamuan atau pertemuan sedang berlangsung di tempat itu.  Pasamuan itu tertutup sebab tak ada punggawa atau bahkan orang-orang di pasraman pusat pengobatan tradisional itu yang mengetahui adanya kehadiran orang-orang penting Mangir itu. Baruklinting sengaja mengumpulkan orang-orang kepercayaannya itu secara diam-diam.
Untuk beberapa saat, orang-orang yang berkumpul di ruangan pendopo itu tidak mengetahui untuk tujuan apa mereka diundang pada pasamuan itu.Â
"Telah beberapa waktu kita tak pernah bertemu. Semogalah kita semua berada dalam keadaan sehat dan sejahtera. Maturnuwun atas kehadiran panjenengan sami, terutama panjenengan Kakang Baruklinting, berkenan hadir di tempat sederhana ini", ucap Ki Mijil tuan rumah, mengawali pembicaraan.Â
"Semogalah demikian juga sehat dan sejahtera kagem panjenengan sami", kata Baruklinting kepada semua yang hadir. "Mungkin ada pertanyaan mengapa kita berkumpul di tempat ini, dan untuk tujuan apa?", tambahnya kemudian.Â
"Benar demikian, ngger. Mohon dihaturkan kepada kami, agar tak ada lagi pertanyaan itu di benak kita masing-masing", kata Ki Gringsing dari Menoreh.
Lalu Baruklinting meminta laporan perkembangan dan keadaan Mangir, terutama di daerah masing-masing peserta yang hadir. Demang Darismanta menjelaskan bahwa panen raya palawija baru terjadi di Kademangan pesisir Selatan, sementara perdagangan hasil bumi ke Kotapraja berkembang pesat. Ki Lurah Ciptosubali menambahkan bahwa di Kalibawang sebagai pusat kopi, panili dan buah-buahan sedang akan mendekati panen raya. Kelak hasil bumi itu juga akan dikirim oleh penduduk untuk diperdagangkan ke pusat Mangir, atau daerah sekitar. Sedangkan Ki Mijil menjelaskan bahwa padepokannya sedang mengembangkan keterampilan pembuatan khusus peralatan pertanian. Produksi peralatan pertanian itu untuk memasok kebutuhan pertanian warga di wilayah sepanjang kali Progo dan Kulonprogo. Adapun Ki Gringsing dari Menoreh menjelaskan bahwa gladi olah kanuragan mulai dikembangkan untuk menjaga wilayah dan keamanan perbukitan Menoreh. Baruklinting menyimak baik-baik pelaporan orang-orang kepercayaannya itu.Â
"Kita telah dan sedang memajukan Mangir. Saya senang mendengar perkembangan itu dari pelaporan panjenengan sami", katanya kemudian.Â
"Selain itu, kita ke depan harus lebih mengutamakan pada kekuatan pertahanan Mangir, yang selama ini lalai kita perhatikan", ujarnya lagi.Â
"Bidang pertahanan dan keprajuritan memang tidak kita galakkan. Sebab pemerintahan Mangir bukan sebuah keraton, sehingga hal itu memang kita abaikan, kakang Baruklinting", ujar Ki Mijil.Â
"Benar Ki Mijil. Akan tetapi saya perlu sebuah gerakan pembentukan pasukan khusus Mangir, baik sebagai satuan laskar rakyat atau setingkat prajurit keraton, jika memungkinkan".Â
"Bukankah kita telah memiliki satuan itu walau jumlahnya sedikit di Kotapraja. Akan tetapi jika satuan itu harus diperbanyak jumlahnya, kita siap melakukan penggalangan massa untuk membentuknya, kakang", imbuh Demang Darismanta.Â
 Maka untuk memperkuat pertahanan Mangir, Baruklinting memutuskan untuk membentuk laskar prajurit. Ki Gringsing dan Ki Mijil diminta memulai untuk menggalang perekrutan prajurit baru bagi Mangir itu. Demang Darismanta ditunjuk sebagai pemasok semua urusan logistik, perbekalan, dan tempat. Sedangkah Ki Suta dan Ki Nala mendapat tugas khusus.Â
 "Kuminta panjenengan berdua, untuk segera menjemput ibuku di Jalegong", ujarnya.Â
"Ibu panjenengan, raden?", tanya Ki Suta keheranan.Â
"Benar Ki Suta. Aku punya ibu, Dewi Ariwulan namanya. Boyonglah dia ke Mangir".Â
"Sendiko dawuh, raden Baruklinting", ujar Ki Suta tanpa banyak bertanya lagi.Â
Untuk sejenak suasana di ruang itu pun sunyi. Tak ada yang berkata-kata.Â
"Dan sekarang, ijinkan saya meminta suatu pandangan atas gagasan saya", kata Baruklinting memecah kesunyian di ruangan itu.Â
"Gagasan yang bagaimana, angger Baruklinting?", tanya Ki Gringsing orang yang paling sepuh di antara orang yang hadir di pendopo itu. Lalu Baruklinting dengan hati-hati mengutarakan isi hatinya bahwa dia ingin lebih memiliki peranan lebih penting, yaitu menjadi pemimpin tertinggi di Mangir. Namun Baruklinting mengutarakan pesan itu secara tersamar, tidak terang-terangan.Â
"Saya ingin menjadi matahari yang bersinar paling kuat, melindungi rakyat Mangir", ujarnya kemudian.Â
Mendengar hal itu, semua yang hadir dalam pertemuan itu sedikit terkejut. Tetapi mereka semua menyetujui keinginan Baruklinting itu. Sejeda kemudian tak ada yang berkata-kata.Â
"Jika hal itu keinginan dan gagasan panjenengan, angger. Ada suatu saran saya", ujar Ki Gringsing. Orang yang paling sepuh di antara semua yang hadir di pasamuan itu, mengutarakan pandangannya.Â
"Mohon dihaturkan Ki Gringsing. Apa saran panjenengan?", kata Baruklinting singkat.Â
"Menurut saya, angger saya sarankan maneges secara langsung, di suatu tempat bernama Gua Langse di Gunungkidul, pesisir Laut Selatan", jawab Ki Gringsing. "Sebab di tempat itulah, semua calon pemimpin tanah Jawa sedari dulu lelaku, maneges atau bertapa, memohon wangsit Wahyu Kedaton, restu dari Gusti Yang Maha Kuasa sendiri". Imbuh orang tua itu kemudian.Â
Baruklinting menarik napas dalam. Dia menyimak ucapan orang tua itu baik-baik.Â
"Baiklah saya menerima saran panjenengan, Ki Gringsing. Akan kulunasi sendiri kewajiban itu sebagai pemimpin di Mangir. Kuminta pandonga dari panjenengan sami yang hadir sekarang di tempat ini", ujarnya.
Maka pertemuan tertutup itu pun selesai. Tak ada yang membicarakan lagi apa yang telah diputuskan oleh Baruklinting di tempat itu. Baruklinting menutup pertemuan dengan suatu pesan bahwa apa yang telah dibicarakan adalah suatu rahasia.Â
"Jangan ada pesan menyebar keluar dari pendopo ini", pungkasnya.Â
"Sendiko!" jawab semua yang hadir di ruangan pendopo itu, hampir berbarengan.Â
Angin lembah perbukitan Menoreh masih berhembus. Sulur-sulur pohon beringin di pelataran padepokan itu yang menjuntai hingga ke tanah, bergoyang-goyang oleh angin, tampak membentuk seperti tirai sutera yang sebagian menutupi pintu depan rumah pendopo ageng itu. Keadaan tempat itu begitu asri. Seperti tak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.
***
(BERSAMBUNG Ke Episode #14 )
(Sebekunnya, di Episode #12 )Â
( Di SINI: Daftar Pemakaian Istilah Bahasa Jawa di Cerbung  )Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H