"Saya ingin menjadi matahari yang bersinar paling kuat, melindungi rakyat Mangir", ujarnya kemudian.Â
Mendengar hal itu, semua yang hadir dalam pertemuan itu sedikit terkejut. Tetapi mereka semua menyetujui keinginan Baruklinting itu. Sejeda kemudian tak ada yang berkata-kata.Â
"Jika hal itu keinginan dan gagasan panjenengan, angger. Ada suatu saran saya", ujar Ki Gringsing. Orang yang paling sepuh di antara semua yang hadir di pasamuan itu, mengutarakan pandangannya.Â
"Mohon dihaturkan Ki Gringsing. Apa saran panjenengan?", kata Baruklinting singkat.Â
"Menurut saya, angger saya sarankan maneges secara langsung, di suatu tempat bernama Gua Langse di Gunungkidul, pesisir Laut Selatan", jawab Ki Gringsing. "Sebab di tempat itulah, semua calon pemimpin tanah Jawa sedari dulu lelaku, maneges atau bertapa, memohon wangsit Wahyu Kedaton, restu dari Gusti Yang Maha Kuasa sendiri". Imbuh orang tua itu kemudian.Â
Baruklinting menarik napas dalam. Dia menyimak ucapan orang tua itu baik-baik.Â
"Baiklah saya menerima saran panjenengan, Ki Gringsing. Akan kulunasi sendiri kewajiban itu sebagai pemimpin di Mangir. Kuminta pandonga dari panjenengan sami yang hadir sekarang di tempat ini", ujarnya.
Maka pertemuan tertutup itu pun selesai. Tak ada yang membicarakan lagi apa yang telah diputuskan oleh Baruklinting di tempat itu. Baruklinting menutup pertemuan dengan suatu pesan bahwa apa yang telah dibicarakan adalah suatu rahasia.Â
"Jangan ada pesan menyebar keluar dari pendopo ini", pungkasnya.Â
"Sendiko!" jawab semua yang hadir di ruangan pendopo itu, hampir berbarengan.Â
Angin lembah perbukitan Menoreh masih berhembus. Sulur-sulur pohon beringin di pelataran padepokan itu yang menjuntai hingga ke tanah, bergoyang-goyang oleh angin, tampak membentuk seperti tirai sutera yang sebagian menutupi pintu depan rumah pendopo ageng itu. Keadaan tempat itu begitu asri. Seperti tak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.
***