"Bidang pertahanan dan keprajuritan memang tidak kita galakkan. Sebab pemerintahan Mangir bukan sebuah keraton, sehingga hal itu memang kita abaikan, kakang Baruklinting", ujar Ki Mijil.Â
"Benar Ki Mijil. Akan tetapi saya perlu sebuah gerakan pembentukan pasukan khusus Mangir, baik sebagai satuan laskar rakyat atau setingkat prajurit keraton, jika memungkinkan".Â
"Bukankah kita telah memiliki satuan itu walau jumlahnya sedikit di Kotapraja. Akan tetapi jika satuan itu harus diperbanyak jumlahnya, kita siap melakukan penggalangan massa untuk membentuknya, kakang", imbuh Demang Darismanta.Â
 Maka untuk memperkuat pertahanan Mangir, Baruklinting memutuskan untuk membentuk laskar prajurit. Ki Gringsing dan Ki Mijil diminta memulai untuk menggalang perekrutan prajurit baru bagi Mangir itu. Demang Darismanta ditunjuk sebagai pemasok semua urusan logistik, perbekalan, dan tempat. Sedangkah Ki Suta dan Ki Nala mendapat tugas khusus.Â
 "Kuminta panjenengan berdua, untuk segera menjemput ibuku di Jalegong", ujarnya.Â
"Ibu panjenengan, raden?", tanya Ki Suta keheranan.Â
"Benar Ki Suta. Aku punya ibu, Dewi Ariwulan namanya. Boyonglah dia ke Mangir".Â
"Sendiko dawuh, raden Baruklinting", ujar Ki Suta tanpa banyak bertanya lagi.Â
Untuk sejenak suasana di ruang itu pun sunyi. Tak ada yang berkata-kata.Â
"Dan sekarang, ijinkan saya meminta suatu pandangan atas gagasan saya", kata Baruklinting memecah kesunyian di ruangan itu.Â
"Gagasan yang bagaimana, angger Baruklinting?", tanya Ki Gringsing orang yang paling sepuh di antara orang yang hadir di pendopo itu. Lalu Baruklinting dengan hati-hati mengutarakan isi hatinya bahwa dia ingin lebih memiliki peranan lebih penting, yaitu menjadi pemimpin tertinggi di Mangir. Namun Baruklinting mengutarakan pesan itu secara tersamar, tidak terang-terangan.Â