Air bergemericik di taman belakang Ndalem Alit Wanabayan, mengalir di sebuah kolam kecil di samping pendopo. Angin berhembus di sela dedaunan, sehingga menambah kesejukan di seputaran tempat itu, meredakan terik matahari siang yang mulai meninggi. Baruklinting duduk bersila di tepi kolam, sambil membiarkan angan-angannya menerawang jauh ke depan.Â
Dia berandai-andai. Seandainya dia telah menjadi penguasa di Mangir, tentu banyak hal bisa dia jangkau dengan amat mudah. Dia membayangkan duduk sebagai penguasa tunggal di pusat pemerintahan Mangir. Dia membayangkan betapa senang dan bahagia jika semua kerabat Sentana Mangir, para punggawa dan natapraja Mangir, bersila di sekitarnya dan semua menunggu suatu titah yang diucapkannya. Dia membayangkan tentu lebih bahagia rasanya jika dia, bapa dan ibunya juga hadir di paseban agung itu.Â
"Oh iya, ibuku. Bagaimana keadaan ibuku itu kini?" batin Baruklinting tiba-tiba terkenang pada ibunya, Dewi Ariwulan, putri desa Aran di Jalegong itu. Sejeda kemudian Baruklinting lalu teringat pada suatu pesan ibunya di kala itu:Â
"Pesanku. Jika kelak kamu bertemu bapamu, sampaikan bahwa ibu masih menunggu, ingin bertemu, dan berkumpul sebagai keluarga", kata Dewi Ariwulan. Baruklinting merasa terharu mendengar ucapan ibunya itu.Â
"Kumohon doa restumu ibu. Aku bertekad kelak ibu dan bapa aku pertemukan, dan kita bisa berkumpul sebagai keluarga, walau entah kita harus tinggal bersama di mana", ujar Baruklinting, di kala perpisahan terakhir dengan ibunya itu.
Baruklinting terkesiap. Dia menarik napas dalam dalam teringat pada pesan ibunya itu.Â
Maka Baruklinting semakin memantabkan tekadnya untuk menjadi penguasa di Mangir, sekaligus berhasrat memenuhi amanat pesan ibunya itu, yakni mempersatukan ibu dan bapanya dalam wadah keluarga yang bahagia. Dia ingin memboyong ibunya itu ke Mangir, dan menempatkan ibunya dalam jajaran kerabat inti Sentana Mangir yang patut dihormati.
Namun Baruklinting menyadari bahwa untuk menguasai Mangir, tidaklah cukup hanya menguasai para pejabat dan massa penduduk Mangir saja. Melainkan dia harus memiliki kekuatan pasukan tempur atau satuan prajurit. Memang ada banyak perwira prajurit Mangir yang bersimpati kepada Baruklinting, terutama mereka yang berada di wilayah Kotapraja. Namun sebagian besar perwira dan prajurit terutama yang tinggal di wilayah desa-desa dan kademangan, tak ada yang berani terang-terangan mendudukung Baruklinting. Para prajurit Mangir itu masih menganggap bahwa panglima tertinggi Mangir adalah Ki Ageng Wanabaya sendiri.Â
Maka Baruklinting berpikir keras bagaimana mendapat dukungan simpati dari prajurit Mangir. Tetapi akhirnya dia menemukan suatu langkah lain yaitu membentuk satuan pasukan sendiri di luar satuan pasukan resmi Mangir. Selain juga dia berencana menggalang kekuatan yang tak terduga sekaligus berbahaya, yaitu bersekutu dengan gerombolan Nogo Kemuning pimpinan Pulanggeni!Â
Dengan demikian, Baruklinting berpikir bahwa kedua cara itu akan memudahkannya untuk mendapatkan kekuasaan penuh di Mangir, tanpa menunggu kekuasaan itu diberikan oleh bapanya. Baginya suatu kekuasaan bukanlah hasil pemberian, melainkan sesuatu yang harus diraih, direbut dan diperjuangkan. Begitu pikirnya.Â
Maka dalam pada itu Baruklinting menunggu saat yang tepat untuk menjalankan rencananya itu. Air masih bergemericik bunyinya di taman belakang Ndalem Alit Wanabayan. Air itu mengalir di sebuah kolam kecil di samping pendopo. Angin berhembus, mengerisik bunyinya di sela dedaunan, sehingga menambah kesejukan di seputaran tempat itu, meredakan terik matahari siang yang kian meninggi.Â
Baruklinting masih duduk bersila di tepi kolam itu. Seperti air kolam itu yang mengalir, pikirannya diam-diam mengalir, menyusun suatu rencana.