"Wahai Baruklinting. Kau akan menjadi penguasa, setara raja-raja Jawa yang pilih tanding; raja-raja yang memiliki kekayaan yang melimpah; dan disegani oleh musuh-musuh karena begitu jaya. Akan tetapi kekuasaan itu tidak akan langgeng. Kelak jika ada pertanda alam dimana gerhana bulan dan matahari sering terjadi, gelombang lautan sering meninggi, dan bumi sering terjadi gempa dahsyat dan gunung-gunung meletus sehingga hujan abu dan batu terjadi dimana-mana. Itulah pertanda kejayaan itu mulai pudar. Tata hidup bernegara menjadi rusak, terpecah berkeping-keping, menjadi potongan-potongan kecil".Â
Setelah mengatakan hal demikian, Lintang Panjer Sore itu pun hilang musnah, berpendar sebagai cahaya yang menyilaukan mata di alam batin Baruklinting yang sedang bertapa itu.Â
Baruklinting terbangun dari semadinya. Angin pantai Laut Selatan menerpa wajahnya. Helai-helai rambutnya yang tergerai di antara ikat kepalanya berkibar-kibar tertiup oleh angin. Dia belum bergeser dari tempat duduknya bersila di dalam Gua Langse. Cahaya senja hanya jatuh sampai di mulut gua saja, sedikit menerobos sela-sela sulur pepohonan rindang yang menjuntai hingga menyentuh lantai.Â
Sejenak Baruklinting terkesiap. Jika apa yang dikatakan wisik lintang itu benar, maka sesungguhnya dia memiliki restu peluang untuk menjadi penguasa tunggal di Mangir, mengganti kedudukan bapanya sendiri, Ki Ageng Wanabaya!Â
Namun Baruklinting kemudian termangu, setelah mendengar Lintang Panjer Sore itu juga mengatakan suatu pesan, bahwa "Itulah pertanda kejayaan itu mulai pudar. Tata hidup bernegara menjadi rusak, terpecah bekeping-keping, menjadi potongan-potongan kecil".Â
Baruklinting belum memahami makna Sanepo, pesan tersembunyi dari kata-kata bintang kejora itu. Maka dalam pada itu Baruklinting menetapkan diri untuk melanjutkan tapa bratanya. Dalam benaknya melintas sekilas tentang sosok tua yang pernah ditemuinya di Sepakung, Telomoyo kala itu. Dia adalah Ki Ismaya!Â
Baruklinting teringat kepada pesan orang tua itu kepadanya kala itu. "Kelak jika sudah pada waktunya, jika kamu memerlukan kehadiranku ucapkanlah namaku sebanyak tiga kali dan gedruk bumi tiga kali. Aku akan datang", pungkasnya kemudian. Baruklinting menyimak ucapan orang tua itu.
Maka dalam suatu sikap Manekung, manembah kang linangkung, menundukkan diri dalam sikap doa yang khusuk, Baruklinting memanggil Ki Ismaya untuk datang.Â
"Ki Ismaya, Ki Ismaya, Ki Ismaya bapaku. Datanglah", ucapnya lembut disertai telapak kaki kirinya menapak tiga kali ke tanah.Â
Dalam pada itu tak begitu lama sesudah ucapannya itu, tiba-tiba angin bertiup kencang di sekitar Gua Langse. Dedaun kering beterbangan tertiup oleh angin, melayang dan jatuh di sekitar Baruklinting. Sebuah pusaran angin kecil bertiup membentuk sekumpulan kabut beberapa depa jaraknya dari tempat Baruklinting bersila. Dari balik kabut itu lalu tampak sesosok lelaki tua berdiri. Dia berpakaian serba putih dengan ikat kepala mirip sosok seorang resi atau pertapa di jaman dahulu kala. Itu adalah sosok gaib Ki Ismaya.Â
"Sungkem, salam saya kagem panjenengan, bapaku. Ki Ismaya", ujar Baruklinting kepada sosok gaib itu.Â