Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting -Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #11)

20 April 2023   12:01 Diperbarui: 22 April 2023   09:48 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Image Episode #11, By D.Wibhyanto / Dokumen pribadi

Mengusik Macan Tidur (#11)

Kotapraja Mangir

Bunyi tetabuhan aneka musik kesenian terdengar di pelosok Kotapraja Mangir. Penduduk Mangir memasang berbagai umbul-umbul dari janur kuning di sepanjang jalan-jalan besar di kota. Gapura masuk ke desa-desa dihias dan seluruh warga ikut merayakan pesta. Parade kesenian dipertunjukkan di alun-alun Kotapraja sudah berlangsung beberapa hari, antara lain: kesenian Tayuban, Ketoprak, Wayang Kulit, Kuda Lumping atau Jathilan, Reyogan, termasuk tarian Ledhek Kethek. Kelompok kesenian dari seluruh kademangan wilayah perdikan itu silih berganti tampil ke pusat panggung hiburan di alun-alun kota itu. Penduduk berbondong-bondong datang ke pusat kota untuk menikmati aneka pertunjukan kesenian itu. 

Sebuah pertunjukan wayang kulit tengah ditampilkan di lapangan alun-alun. Bunyi kepyak dan gedhok menimpali suara gamelan kempul, kenong, gong, siter, gambang, rebab suling dan kendang, mengiringi suluk dalang dan nyanyian sinden selama pertunjukan. Penonton yang melimpah mengelilingi panggung wayang kulit itu sesekali bertepuk tangan meriah, ketika Prabu Baladewa yang suka berteriak "Sodronn, soro dondon!" itu, mengamuk kepada para putra Kurawa. Sebab Baladewa membela adiknya Prabu Kresna yang sedang menjalankan misi sebagai Duta Pandawa.

Layar wayang kulit kelihatan bergetar terkena sabetan gerakan Raja Mandura itu. Lampu blencong wayang kulit itu -- yang posisinya tepat di belakang kepala dalang, pun tampak bergoyang-goyang terserempet gerakan Prabu Baladewa. Ki Dalang wayang itu tampak benar-benar menghayati perannya sebagai seorang dalang, sehingga pertunjukan wayang yang diukir dari kulit kerbau itu seperti benar-benar hidup. Apalagi pengendang atau penabuh gendang wayang itu begitu lincah dan ahli sebagai pengendang. Sehingga ketika peperangan terjadi di layar wayang itu bunyi kendang yang terbuat dari kulit sapi itu terdengar rampak menggelora. 

Gerakan tangan si pengendang itu pun seperti seolah sedang mencabik-cabik kulit kendangnya sendiri. 

Para penonton semakian antusias, bertepuk tangan meriah dan berteriak gemas, ketika pertunjukan berjudul "Kresna Duta" itu menampilkan sosok raksasa berukuran paling besar di antara deretan wayang kulit yang berjejer di sepanjang kiri dan kanan layar panggung. 

Sosok raksasa itu menggeram-geram. Dia adalah perwujudan lain dari sosok Prabu Kresna yang telah bertiwikrama. Lalu raksasa itu mengamuk hendak meratakan kerajaan Astinapura sendirian. Tak ada yang mampu meredakan kemarahan raksasa yang bentuk fisiknya nggegirisi itu. 

"Suro mroto, joyo mroto. Majuo wong ngastino kabeh, dak remah-remah, untal malang! Sirno ilang kwandamu!", kata raksasa itu. Nada suaranya rendah menggelegar menggetarkan bumi. Dan para penonton pun berteriak-teriak histeris kegirangan. Mereka sangat menunggu aksi seru raksasa Kresna Tiwikrama itu mengamuk di layar pertunjukan wayang kulit itu. Namun ki Dalang tampak kerepotan mencabut penggapit wayang raksasa itu yang tertancap terlalu dalam di gedebog pisang melintang di depan layar panggung pertunjukan itu. 

Di sela alunan gamelan yang meriah dan suara kendang yang menghentak-hentak, tampak dua orang pengrawit gamelan mencoba maju dan menolong ki Dalang yang sedang kerepotan itu. Mereka bersama mencoba mencabut penggapit wayang itu. 

Tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka mendadak menggelosor kejang kejang seperti orang kesurupan. Tentu saja para pesinden yang berada di samping orang kejang itu berteriak hampir bersamaan. Orang itu telah kerasukan dhanyang wayang raksasa itu. Lalu beberapa orang penonton di barisan depan menggotong orang kesurupan itu ke arah belakang panggung. Tetapi pertunjukan itu tetap dilanjutkan ketika sosok raksasa wayang berukuran besar itu bisa digerakkan lagi oleh ki Dalang. 

Pertunjukan "Kresna Duta" itu benar-benar menghibur semua penonton. Peristiwa pengrawit gamelan kesurupan Buto raksasa itu sempat menggegerkan warga Kotapraja Mangir. Sempat tersiar kabar secara cepat dari mulut ke mulut bahwa "Seseorang telah kesurupan ruh raksasa di panggung wayang kulit". Dan orang-orang di wilayah perdikan menganggap peristiwa itu sebagai bagian hiburan pertunjukan wayang purwo itu. 

Sementara itu, di salah satu sisi lapangan alun-alun Kotapraja orang-orang mengantre untuk mendapatkan makanan dan minuman yang disediakan selama pesta perayaan di Kotapraja. Selain makanan yang dibagikan kepada semua penduduk kota yang menikmati berbagai pertunjukan kesenian, puluhan tumpeng nasi kuning berukuran besar telah diedarkan dan dibagikan ke kampung-kampung dan desa di sekitar Kotapraja, untuk disantap oleh semua orang. Sedikitnya ada puluhan sapi dan kerbau telah dikurbankan sebagai menu santapan selama perayaan pesta rakyat Mangir itu. 

Kemeriahan pesta dan perayaan kesenian di Kotapraja akhirnya terdengar sampai ke telinga Guntur Geni -- ayahku, yang saat itu dia sedang berada beberapa hari di rumah Ki Branjangan, Demang Selarong di Kademangan Selarong. Dia bertanya kepada orang terdekatnya itu tentang peristiwa apa yang sedang terjadi di pusat pemerintahan bumi perdikan Mangir. 

"Demikianlah, raden. Menurut beberapa warga Selarong yang baru tiba dari Kotapraja menceritakan bahwa Mangir sedang mengadakan suatu pesta hajatan besar. Pesta itu diadakan untuk menyambut bapa panjenengan, Ki Ageng Wanabaya yang baru tiba dari bertapa di Merapi", ujar Ki Branjangan atau Demang Selarong. 

"Tak biasanya bapaku mengadakan suatu pesta geden semacam itu, Ki", kata Guntur Geni setelah menyimak penjelasan Demang Selarong itu. Dia menarik napas dalam-dalam. 

"Benar raden. Ki Ageng Wanabaya konon sangat senang hatinya sehingga pesta meriah selama beberapa hari itu diadakan. Pesta itu sekaligus untuk merayakan kehadiran seorang kerabat Sentana yang baru, raden", kata Demang Selarong itu lagi. 

"Kerabat Sentana yang baru? Maksud panjenengan apa ki Demang", tanya Guntur Geni sambil mengernyitkan dahinya. 

"Mohon maaf jika saya salah menerima kabar, raden. Menurut warga Selarong yang baru tiba dari Kotapraja, pesta perayaan besar itu selain untuk menyambut kedatangan Ki Ageng Wanabaya, juga menyambut diterimanya seseorang menjadi bagian kerabat Sentana Mangir. Dia seorang pemuda bernama Baruklinting", kata Demang Selarong menjelaskan. 

"Baruklinting?", desis Guntur Geni, ayahku itu. Dia semakin tak mengerti. Tiba-tiba berbagai perasaan dan pertanyaan berkecamuk di benak Guntur Geni. Siapa Baruklinting itu? Mengapa pesta geden diadakan oleh pemerintahan Mangir, justru di saat keraton Mataram dan keraton Pajang dalam hubungan yang lagi genting, tidak sedang baik-baik saja?

Lalu tak lama kemudian, dia memutuskan untuk pamit dari rumah Demang Selarong untuk menemui bapanya di Ndalem Mangiran. Ki Branjangan atau Demang Selarong itu menghantar Guntur Geni hingga ke regol pendopo rumahnya. Guntur Geni naik ke atas kudanya, lalu memacu kuda itu dengan kencang menuju Ndalem Mangiran di Kotapraja. Putra Ki Ageng Wanabaya itu tak tampak lagi, ketika kuda yang dipacunya itu seperti lenyap di gerumbul pepohonan jauh di ujung jalan desa itu.  

Ndalem Mangiran, Kotapraja Mangir

Tetabuhan gamelan dan kegembiraan warga Kotapraja terdengar sayup-sayup dari Ndalem Mangiran. Tempat itu terdiri dari beberapa bangunan pendopo besar dan kecil terbuat dari kayu jati yang kokoh, memiliki ruang-ruang pribadi bagi para kerabat Sentana Mangir dan para punggawa inti, dikelilingi bangunan semacam benteng terbuat dari bangunan batu bata merah yang keras setebal dua depa dan setinggi tiga tombak, yang dijaga oleh empat orang prajurit jaga di depan pintu gerbang dan empat orang di pintu gerbang belakang benteng. 

Burung burung liar berkicau di dua pohon sawo besar yang tumbuh di halaman depan pendopo ageng. Sementara di pendopo alit di bagian belakang tempat itu, terdapat taman yang asri dengan bunga-bunga mawar merah dan mawar biru tampak sedang mekar dikelilingi rerumputan halus hijau warnanya bagai permadani. Beberapa ayam kate tengah mencari makanan di sekitar taman itu. 

Ki Ageng Wanabaya tampak duduk sendiri di pendopo alit, sambil melihat ke arah taman itu. Dia baru saja pulang dari menonton suatu pertunjukan Tayuban yang sangat dia gemari.

Seorang prajurit jaga gerbang depan benteng Ndalem Mangiran itu datang menghampirinya. Prajurit itu mengabarkan bahwa Guntur Geni, putra Ki Ageng Wanabaya meminta ijin untuk bertemu. 

"Suruhlah Guntur Geni masuk. Aku menunggunya di sini", ujar orang nomor satu di Mangir itu kepada prajurit jaga itu. Si prajurit jaga itu lalu beringsut meninggalkan tempat dan pergi kembali ke arah gerbang depan. 

Tak lama Guntur Geni tampak datang dan Ki Ageng Wanabaya menyambutnya. 

"Sungkem saya untuk panjenengan, Bapa", kata Guntur Geni. Dia duduk di samping bapanya. "Lama kita tak bertemu, ngger Guntur Geni. Sehat bagas kewarasan selalu dirimu", kata Ki Ageng Wanabaya. Dia gembira mendapat kunjungan putranya, buah tali kasih dari istrinya putri Juwono itu. 

"Apa yang menjadi kegundahan hatimu?", tanya Ki Ageng Wanabaya. Gutur Geni terkejut karena bapanya itu seolah tahu menebak apa isi hatinya. Guntur Geni menunduk. 

"Panjenengan piyantun winasis, mengerti apa yang menjadi kegundahan hatiku", kata Guntur Geni. "Saya kemari untuk menanyakan suatu hal, mengenai perayaan di luar sana. Apa yang telah terjadi, Bapa?", tanya Guntur Geni kemudian. 

Ki Ageng Wanabaya menarik napas dalam. Dia mengerti bahwa pertanyaan itu mengandung rasa kurang suka di benak putranya itu. 

"Ngger putraku, pesta perayaan itu adalah pesta syukur dan gembira oleh semua penduduk Mangir. Sesekali kita merayakan secara meriah", kata Ki Ageng Wanabaya. 

"Pesta sedemikian meriah itu, selama beberapa hari, apakah tidak terlalu berlebihan, Bapa. Setahu saya, semenjak kecil pun saya belum pernah mengalami pesta semeriah itu", ujar Guntur Geni. "Saya mendengar kabar, bahwa pesta itu untuk menyambut kedatangan panjenengan dan seorang bernama Baruklinting sebagai kerabat inti Sentana Mangir. Benarkah demikian, Bapa", lanjut anak muda itu kemudian. 

Ki Ageng Wanabaya menatap dalam dalam putranya itu. Dia menyadari bahwa hati anak muda itu diliputi rasa irihati atau cemburu. Memang Ki Ageng Wanabaya memahami perasaan itu, sebab baru kali ini dia membuat suatu perayaan khusus yang melibatkan hampir semua penduduk Mangir untuk turut berpesta gembira. 

Lalu dengan hati-hati dia berusaha meredam kegundahan anaknya itu. 

"Ngger Guntur Geni. Sejak kecil kamu selalu tinggal bersamaku. Apasaja yang kumiliki di bumi perdikan kita ini, selalu bisa kamu nikmati dan kamu miliki pula. Memang tidak pernah ada suatu pesta semeriah ini yang kuadakan khusus buatmu. Akan tetapi kelimpahan berkah di Mangir, bukankah setiap hari sejak kamu kecil sudah bisa kamu nikmati sendiri", ujar Ki Ageng Wanabaya menjelaskan. Guntur Geni menyimak baik-baik ucapan bapanya itu. 

"Dan sekarang, ngger. Bukankah sepantasnya kita rayakan secara meriah, bahkan kegembiraan syukur itu bisa dinikmati oleh semua penduduk Mangir. Sebab Baruklinting itu putraku yang sedari kecil belum pernah kutemui. Tetapi kini telah kembali, bersama kita di tempat ini. Baruklinting adalah ibarat anak yang hilang tetapi kini telah bapa temukan kembali. Mengertilah, ngger putraku. Kasih sayangku tak berubah kepadamu. Dan kini juga kulakukan kepada Baruklinting. Terimalah dia sebagai saudara tuamu, dari ibu yang lain". 

Ki Ageng Wanabaya memeluk Guntur Geni sebentar. Dia tidak ingin melukai perasaan hati putra yang dikasihinya itu. Guntur Geni juga demikian, sebenarnya dia juga tidak mempersoalkan bergabungnya Baruklinting sebagai saudaranya satu ayah lain ibu. Tetapi dia khawatir bahwa pesta perayaan sedemikian meriah di Mangir justru akan memicu persoalan baru, yaitu mengusik perhatian orang-orang Mataram dan Pajang yang sedang saling berseteru. 

"Maafkan kelancangan saya yang mungkin menyinggung perasaan panjenengan, Bapa. Saya senang mendapat saudara baru satu bapa lain ibu. Itu suatu berkah bagi kita sebab akan menambah kekuatan Sentana Mangir. Terimakasih atas penjelasan panjenengan yang melegakan hati saya", kata Guntur Geni. 

"Tetapi, yang mengusik hati saya adalah bukan hal itu sebenarnya. Melainkan justru tentang keselamatan Mangir sendiri, Bapa".  

"Keselamatan Mangir?"

"Benar Bapa. Seperti kita tahu bahwa bumi perdikan kita bukan suatu kerajaan, tetapi kita bebas mengelola pemerintahan sendiri, terutama di bidang ekonomi. Sehingga kita lemah dalam hal pertahanan dan keamanan. Padahal saat ini keraton Mataram dan Pajang sedang berseteru saling berebut wilayah kekuasaan", ujar Guntur Geni. 

"Saya justru khawatir jika kita melakukan kegiatan yang besar-besaran di Mangir, pihak dua kerajaan itu akan terusik. Mangir dikira akan mendirikan sebuah kerajaan baru, Bapa. Mangir dikira memanfaatkan kondisi dua kerajaan yang sedang berseteru itu. Entah Pajang atau Mataram, dengan kekuatan prajurit kerajaan mereka akan dengan mudah melumpuhkan Mangir. Keselamatan Mangir akan terancam sewaktu-waktu, Bapa". Guntur Geni menjelaskan.

Ki Ageng Wanabaya terkesiap. Dia kagum pada pemikiran Guntur Geni yang sedemikian jauh ke depan itu. Dia menarik napas dalam dalam. 

"Benar pemikiranmu yang demikian itu, ngger", kata Ki Ageng Wanabaya kemudian. 

"Keselamatan Mangir adalah yang utama. Itu mengapa tak ada yang kita tutupi dari pihak asing, bahwa faktanya Mangir benar-benar sedang syukuran, bukan sedang menggalang kekuatan untuk mendirikan keraton baru. Dan semua orang penduduk Mangir tahu. Namun demikian benar seperti pandanganmu, jangan sampai kita dikira mengusik kekuasaan mereka. Kita harus tetap waspada, ngger", lanjut orang nomor satu di Mangir itu.  

"Nuwun inggih, Bapa", ujar Guntur Geni. 

Angin berhembus perlahan di Ndalem Mangiran. Sejenak sunyi di dalam pendopo alit. Namun sayup-sayup di kejauhan bunyi tetabuhan gamelan perayaan pesta rakyat di Kotapraja Mangir masih terdengar dari tempat itu. 

Bapak dan anak itu telah memikirkan hal lebih besar tentang keselamatan Mangir. Sedangkan tentang kehadiran Baruklinting sebagai anggota baru di kerabat inti, Guntur Geni menerimanya dengan lapang dada. Bagi Guntur Geni, Baruklinting adalah saudaranya sendiri, satu bapa lain ibu. 

Ndalem Kalitan, Keraton Mataram

Di tempat lain, di sebuah pendopo Ndalem Kalitan Mataram, Ki Juru Martani sedang mengumpulkan beberapa petinggi keraton untuk suatu rembug ageng secara terbatas. Pertemuan itu terbatas sebab tidak melibatkan kehadiran Panembahan Senopati Mataram di tempat itu. Rembug ageng itu membahas soal Mangir. Sebab kabar tentang perayaan besar di Mangir akhirnya telah sampai di telinga petinggi keraton Mataram itu. Ki Juru Martani ingin mengetahui lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi di Mangir. 

"Jadi apa yang sebenarnya terjadi di Mangir, menurut pandanganmu dimas Ki Pamungkas?" tanya Ki Juru Martani. Ki Pamungkas adalah pimpinan divisi telik sandi, dinas intelijen Mataram.

"Nyuwun pangapunten, Ki. Menurut penglihatan saya yang menyusup ke Mangir, saat ini Mangir tengah mengadakan suatu pesta hajatan besar, selama beberapa hari terakhir ini. Bahkan pertunjukan wayang kulit oleh dalang kondang Sanggabuana diadakan sangat meriah di alun-alun Kotapraja. Makaten, Ki", jawab Ki Pamungkas. 

"Ini suatu di luar nalar kebiasaan tanah perdikan itu. Belum pernah mereka mengadakan suatu pesta hajatan semeriah saat ini. Karena hajatan itu melibatkan hampir semua penduduk Mangir, terutama mereka yang berada di Kotapraja, Ki. Demikian menurut pandangan saya", ujarnya kemudian. Ki Juru Martani dan beberapa orang di ruangan pendopo itu menyimak baik-baik pelaporan Ki Pamungkas. 

"Menurutmu, pesta hajatan besar itu diadakan untuk maksud dan tujuan apa?", tanya Ki Juru Martani lagi. 

"Saya telah melihat sendiri. Saya berada di antara kerumunan orang banyak. Di suatu panggung besar di tengah alun-alun Kotapraja dan dihadapan penduduk Mangir yang hadir di perayaan itu, Ki Ageng Wanabaya sendiri mengatakan bahwa pesta kesenian ageng di Mangir untuk tujuan syukuran atas kembalinya orang nomor satu di Mangir itu setelah lama pergi bertapa di Gunung Merapi", jawab Ki Pamungkas. 

"Oo, jadi hanya untuk merayakan orang pulang kembali ke rumah, rupanya", kata orang yang berjuluk Patih Mataram itu. Dia tersenyum tipis. 

"Bukan hanya sekedar demikian, Ki Juru Martani". 

"Maksudmu, dimas?".

"Perayaan itu diadakan secara besar-besaran justru terutama untuk menyambut bergabungnya seseorang muda menjadi kerabat inti Sentana Mangir. Dia bernama Baruklinting", tegas kepala divisi telik sandi Mataram itu. 

Semua yang hadir di dalam pendopo Ndalem Kalitan itu mendadak tercenung. Tumenggung Kertopati yang sedari tadi menyimak keterangan itu, kemudian turut bertanya. 

"Siapa sesungguhnya Baruklinting itu, sedemikian pentingkah orang itu bagi Mangir? kakang Ki Pamungkas", ujarnya kemudian. 

"Saya belum tahu siapa dan seberapa penting orang itu bagi Mangir. Saya dan tim divisi telik sandi akan segera mencari tahu kebenarannya bagaimana, dimas Tumenggung Kertopati". Jawab Ki Pamungkas. 

"Lalu adakah kemungkinan sebenarnya perayaan itu hanya suatu pengalihan perhatian pada sesuatu yang lebih besar di balik kegiatan itu?", tanya Ki Prastowo, Tumenggung Delanggu.

"Maksud panjenengan bagaimana, Ki Prastowo", tanya Ki Juru Martani kepada Tumenggung Delanggu itu. 

"Nyuwun pangapunten, Ki. Maksud saya, adakah sebenarnya kegiatan pengumpulan massa lainnya, baik sebelum atau sesudah perayaan itu, terutama kegiatan yang mengarah pada pembentukan suatu kelompok prajurit baru, misalnya", jawab Ki Prastowo. 

"Mengenai hal itu, saya belum tahu. Dan saya akan segera turun untuk menyelidiki kemungkinan itu, Ki Prastowo", kata pimpinan divisi telik sandi Mataram itu kemudian. 

"Lalu tindakan kita selanjutnya bagaimana, Ki?", tanya Tumenggung Kertopati.

"Jangan sampai kriwikan dadi grojogan. Mataram harus mencegah segala sesuatu tentang potensi Mangir muncul sebagai keraton baru. Tetapi yang jelas, mereka telah berani nggugah macan turu, mengusik macan tidur. Secara khusus tentang Baruklinting, selidiki lebih jauh siapa dia. Ki Pamungkas lakukan tindakan telik sandi di tempat. Kalau perlu, bawa divisi pasukan khusus, atau bawa pasukan bayaran Mataram dari lereng Selo Merbabu itu. Dan seret Baruklinting ke mari, biar kuhabisi sendiri orang itu, agar tak menjadi selilit batu sandungan bagi Mataram", tandas Ki Juru Martani.

"Maksud panjenengan, pasukan bayaran Mataram, atau pasukan Bayangan Hitam Nogo Kemuning?", tanya Ki Pamungkas. 

"Benar. Lebih baik nabok nyilih tangan. Jangan pakai pasukan Mataram untuk memasuki Mangir. Sebab hal itu akan menimbulkan kegentingan baru. Sebaiknya kita memakai pasukan bayaran itu untuk menggebug Mangir secara diam-diam", jawab Ki Juru Martani.

Kepala divisi telik sandi Mataram memahami maksud sesepuh Mataram itu. Sebab untuk beberapa kasus kecil, misalnya untuk menumpas pangacau wilayah Mataram di wilayah terpencil, seputar Merapi -- Merbabu, mereka sudah terbiasa memakai pasukan bayaran yang direkrut dari kelompok Nogo Kemuning dibawah pimpinan Pulanggeni itu. 

"Apakah perkara ini perlu diketahui oleh Panembahan Senopati?", tanya Ki Prastowo.

"Sebaiknya jangan. Sebab Panembahan Senopati sudah cukup berat memikirkan soal hubungan Pajang dan Mataram yang sedang genting. Jangan sampai kita membebani pikiran beliau dengan persoalan Mangir yang belum tentu ujung pangkalnya ini", jawab Ki Juru Martani. 

"Kuminta apa yang kita rembug dan rencana menggebug Mangir dan si Baruklinting itu, kita lakukan dalam senyap. Kudu kena iwake aja nganti buthek banyune: Jangan sampai menimbulkan kegaduhan. Jangan sampai ada berita menyebar keluar dari tempat ini", pungkas Ki Juru Martani kemudian. 

Semua yang hadir dalam pendopo itu pun menyetujui apa yang dikatakan oleh sesepuh Mataram itu. Bumi perdikan Mangir benar-benar telah mengusik kewibawaan keraton Mataram. Mereka menganggap bahwa jika kekuatan Mangir telah berubah semakin tajam, maka akan dengan mudah Mangir menusuk jantung pertahanan Mataram. 

Keadaan ini tak boleh dibiarkan! Maka Mangir harus dihabisi dari dalam, sebelum bumi perdikan itu berubah sebagai ancaman nyata bagi Mataram, yang sewaktu-waktu dipandang mampu menusuk Mataram dari belakang. 

*** 

(BERSAMBUNG Ke Episode #12 )

(Sebelumnya, Di Episode #10 )

Di Sini * Daftar Pemakaian istilah Bahasa Jawa di Cerbung 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun