Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sandhyakalaning Baruklinting-Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode#10)

17 April 2023   07:11 Diperbarui: 28 April 2023   18:15 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Image Episode #10, by: D.Wibhyanto / Dok.pri

Penarikan Tombak Pusaka Kyai Upas (#10)

Tiba-tiba tak lama kemudian, tampak di udara berkelebatan cahaya api berwarna biru meluncur ke angkasa. Cahaya api biru itu tampak seperti bentuk kembang api menyebar ke angkasa. Cahaya api itu berasal dari beberapa ujung anak panah yang dilepaskan ke udara oleh pasukan Bayangan Hitam anak buah Pulanggeni. Cahaya api berwarna biru itu adalah penanda bagi pasukan bahwa pekerjaan kelompok mereka telah usai sempurna dilaksanakan.

Pulanggeni menarik napas dalam-dalam. Wajahnya sumringah. Dia telah melihat dari kejauhan, bahwa kelebatan cahaya api berwarna biru itu beberapa kali melesat ke udara. Cahaya itu berasal dari beberapa titik pos di mana barisan dan kelompok pasukan khususnya itu berada.

Sementara dari tempat duduknya bersila, Baruklinting juga melihat kelebatan cahaya api berwarna biru itu. Dalam pada itu, dia paham itu suatu pertanda bahwa pekerjaan Pulanggeni bersama pasukannya telah selesai dikerjakan.

Maka sejeda kemudian, Baruklinting beranjak dari tempatnya bersila. Dia menuju ke suatu rumpun pohon pisang yang tak jauh letaknya dari tempatnya itu. Baruklinting mengambil selembar pelepah daun pisang dan menggelarnya ke tanah. Dia lalu duduk di selembar daun pisang itu.

Dalam suatu tarikan napas dalam, Baruklinting kemudian tampak terbang mengendarai selembar daun pisang itu. Dia melayang bagai naik permadani terbang seperti kisah dalam dongeng seribu satu malam yang diceritakan oleh para sepuh kepada anak-anak di desa. Kejadian itu berlangsung cepat dan sulit dicerna oleh nalar, tetapi hal itu nyata.

Baruklinting terbang mengendarai selembar daun pisang, menuju ke arah gua di mana Ki Ageng Wanabaya berada. Baruklinting ingin segera menemui bapanya itu untuk mengabarkan bahwa tugasnya ngideri dan menanam ratusan bilah tosan aji bertuah di Merapi telah usai dikerjakan.

Akan tetapi, sebelum dia sampai ke dekat gua tempat bapanya berada, Baruklinting terhenti oleh angin ribut dan hujan badai yang datang tiba-tiba. Baruklinting mendarat di suatu bulak. Kelak bulak itu disebut Wonolelo, dekat Sawangan.

Beberapa kilat dengan ujung cahayanya bercabang-cabang biru seperti membelah langit malam, tampak mendahului sebelum bunyi geludug yang keras turun menyentuh bumi.

Belum usai Baruklinting mendaratkan tubuhnya ke tanah, tiba-tiba segerombolan sosok dalam bayangan hitam mirip kerumunan kera tampak berlompatan di cabang-cabang pohon besar. Benar saja, itu kera dalam ukuran besar dan kecil, induk dan anakan kera. Mereka berlarian sambil bersuara seperti menjerit-jerit, berayun dan berlompatan dari pohon ke pohon, seperti ingin meninggalkan kawasan gunung itu dan bergerak menuju lembah.

Belum usai Baruklinting dilewati gerombolan kera itu, muncul lagi dari arah semak-semak serombongan celeng atau babi liar, menyeruak berlarian sambil menguik bunyinya. Rombongan celeng itu seperti penuh ketakutan, bergerak liar mencari tempat yang aman di kaki gunung.

Lalu burung-burung malam, seperti burung bulbul, codot dan kalong juga tampak beterbangan meninggalkan sarang di puncak Merapi, melewati Baruklinting dan pergi ke arah pemukian penduduk desa di lembah.

Baruklinting takjub melihat kejadian hewan-hewan liar yang berlarian kencang, dan burung-burung yang terbang dalam jumlah yang banyak. Namun dia menjadi terkejut, ketika setelah rombongan kera dan celeng itu berlalu, muncul dari balik gerumbul semak beberapa depa di depannya, seekor ular berukuran besar. Ular itu dua tombak panjangnya, lingkar tubuhnya sebesar lengan orang dewasa. Sisiknya berwarna belang hitam dan putih menyelimuti dari ekor hingga leher kepalanya, seperti Ular Welang atau Ulo Weling!

Kedua taringnya yang runcing tampak mencuat sedikit keluar dari mulutnya. Matanya menyorot tajam ke arah Baruklinting, dan lidahnya yang bercabang pada ujungnya, menjulur-julur ke depan. Suara mendesis-desis sangat kencang keluar dari mulutnya yang setengah menganga. Perwujudan ular itu benar-benar nggegirisi, sekaligus berbahaya.

Sejeda kemudian, tubuh ular itu meringsut sedikit meliuk-liuk ke tanah. Kepalanya mendongak seperti gerakan ular cobra. Tiba-tiba ular itu meluncur dengan cepat ke depan. Gerakannya sangat cepat, agresif dan ganas. Dia mematuk dan berusaha menggigit Baruklinting.

Untung saja, Baruklinting telah mengetahui kehadiran ular itu sejak ular itu keluar dari gerumbul semak. Mendapat serangan ular yang demikian, Baruklinting menghindari serangan dengan beringsut cepat ke samping kiri dan kanan. Dia bersejingkat ketika ular itu mengarahkan serangan gigitan ke arah tumit kakinya. Tetapi serangan ular itu kemudian sia-sia. Sebab Baruklinting tiba-tiba telah melenting seperti gerakan seekor belalang ke udara, sementara tangan kanannya telah dengan sigap berhasil mencekal leher ular itu.

Ular ganas itu terus mendesis, dan berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan anak muda itu yang mencekik lehernya begitu kuat. Tubuh dan ekor ular itu berusaha melilit kaki dan tubuh Baruklinting. Mulutnya menganga lebar, menampakkan kedua taringnya yang panjang dan meneteskan racun upas bisa ular yang ganas. Lidahnya yang ujungnya bercabang dan keluar memanjang, tampak menjulur-julur kesana kemari.

Maka sedetik kemudian, Baruklinting memangkas lidah ular yang keluar memanjang itu memakai buku jarinya. Seketika itu juga lidah ular itu putus. Lalu kepala ular itu juga ditebas memakai sisi jari-jari tangannya. Kepala ular itu jatuh menggelinding ke tanah. Tubuh ular itu mendadak menggelinjang lalu roboh, lunglai layu seperti pohon tumbang. Ruhnya lepas dari raganya. Ular ganas itu tewas seketika.

Baruklinting lalu memungut lidah ular yang telah lepas dari kepalanya itu. Dalam suatu tarikan napas dalam sambil mengucapkan suatu mantera, Baruklinting mengubah wujud lidah ular ganas itu menjadi sebilah mata tombak pusaka bertuah sakti. Bentuk bilah tombak itu sengkelat atau meliuk sejumlah tigabelas lekukan.

Oleh karena tombak itu masih dalam keadan polos sebagai bilah besi keras yang berpamor batuan meteorit, bercampur titanium, Baruklinting memungut kepala ular itu dan mengubah wujudnya sebagai gagang pusaka itu. Adapun tubuh ular itu juga disentuhnya dan diubahnya sebagai wujud tangkai tombak. Maka ketiga benda perwujudan seekor ular itu kemudian dipersatukan. Bilah tombak diberi gagang dan disatukan bersama tangkainya. Benda pusaka itu kini benar-benar telah sempurna sebagai bentuk tombak pusaka yang utuh.

Baruklinting berniat untuk menanam tombak pusaka itu ke suatu lembah di sekitar tempatnya berdiri. Tetapi mendadak terdengar suara yang mencegahnya.

"Hentikan itu, ngger. Jangan kau tanam pusaka itu", kata suara seorang lelaki. Baruklinting menoleh, dan ternyata telah berdiri beberapa depa di sebelahnya sesosok lelaki yang dikenalnya, bapanya, Ki Ageng Wanabaya!

"Aku telah melihatmu dari jauh. Apa yang kau lakukan tak lepas dari penglihatanku. Bawalah kemari tombak pusaka itu, jangan kau tanam. Biarlah pusaka itu menjadi bagian benda yang selalu kusimpan bersama benda pusaka lain di Mangir", kata Ki Ageng Wanabaya kemudian.

"Kemarilah engkau putraku", pungkasnya lagi.

Baruklinting tertegun sejenak mendengar ucapan lelaki itu. Lalu dia menghampirinya dan menyerahkan tombak pusaka itu. Ki Ageng Wanabaya tak kuat menahan rasa harunya yang menyeruak tiba-tiba dalam relung hatinya. Dia menjemput Baruklinting dalam beberapa langkah, menerima tombak itu dan memeluk tubuh Baruklinting.

 "Engkau putraku", ucapnya pendek. Baruklinting membalas pelukan Ki Ageng Wanabaya bapanya. "Panjenengan, bapaku", kata Baruklinting singkat.

Maka bapa dan anak itu pun diliputi keharuan yang dalam. Sejenak mereka berada dalam suatu keadaan pertemuan di satu ruang waktu. Jika keadaan itu adalah suatu rasa, maka rasa bahagialah yang tengah mereka alami bersama. Tak ada hal kebetulan, kecuali waktu yang menentukan.

Sejak itu Baruklinting diterima sebagai putra Ki Ageng Wanabaya. Dia membawa Baruklinting putranya itu ke Mangir, sebuah tanah perdikan di pantai Laut Selatan.

Adapun tombak pusaka yang berasal dari seekor ular ganas dari Merapi itu kemudian diletakkan di Ndalem Kapusakan Mangir, berada bersama koleksi pusaka-pusaka Mangir lain di tempat itu. Kelak orang menyebut tombak pusaka yang berasal dari lidah seekor ular ganas di Merapi itu sebagai Tombak Sengkelat Kyai Upas! Memang sulit dicerna oleh nalar, tetapi hal ini nyata.

***

(BERSAMBUNG Ke Episode #11 )

(Kisah Sebelumnya,  di Episode #9 ) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun