Baruklinting tertegun sejenak mendengar ucapan lelaki itu. Lalu dia menghampirinya dan menyerahkan tombak pusaka itu. Ki Ageng Wanabaya tak kuat menahan rasa harunya yang menyeruak tiba-tiba dalam relung hatinya. Dia menjemput Baruklinting dalam beberapa langkah, menerima tombak itu dan memeluk tubuh Baruklinting.
 "Engkau putraku", ucapnya pendek. Baruklinting membalas pelukan Ki Ageng Wanabaya bapanya. "Panjenengan, bapaku", kata Baruklinting singkat.
Maka bapa dan anak itu pun diliputi keharuan yang dalam. Sejenak mereka berada dalam suatu keadaan pertemuan di satu ruang waktu. Jika keadaan itu adalah suatu rasa, maka rasa bahagialah yang tengah mereka alami bersama. Tak ada hal kebetulan, kecuali waktu yang menentukan.
Sejak itu Baruklinting diterima sebagai putra Ki Ageng Wanabaya. Dia membawa Baruklinting putranya itu ke Mangir, sebuah tanah perdikan di pantai Laut Selatan.
Adapun tombak pusaka yang berasal dari seekor ular ganas dari Merapi itu kemudian diletakkan di Ndalem Kapusakan Mangir, berada bersama koleksi pusaka-pusaka Mangir lain di tempat itu. Kelak orang menyebut tombak pusaka yang berasal dari lidah seekor ular ganas di Merapi itu sebagai Tombak Sengkelat Kyai Upas! Memang sulit dicerna oleh nalar, tetapi hal ini nyata.
***
(BERSAMBUNG Ke Episode #11 )
(Kisah Sebelumnya,  di Episode #9 )Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H