Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Sandhyakalaning Baruklinting (Episode #9)

16 April 2023   13:13 Diperbarui: 21 April 2023   18:02 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persekutuan Terselubung (#9)

Maka ketika matahari masih tinggi dan senja belum mulai turun di kawasan Ketep, Baruklinting amateg suatu ajian telepati tingkat tinggi. Dengan kekuatan ajian itu, dia memanggil Pulanggeni untuk datang ke tempatnya itu. Ternyata tidak terlalu sulit bagi Pulanggeni untuk mampu menangkap sinyal telepati yang dikirimkan oleh Baruklinting kepadanya. Pulanggeni tahu bahwa Baruklinting mengundangnya untuk datang ke tempat bernama Ketep itu. Sebagai orang yang berilmu tinggi Pulanggeni serta merta tahu di mana Baruklinting berada.

Pulanggeni datang bersama beberapa orang kepercayaannya untuk menemui Baruklinting. Mereka adalah Margopati si telik sandi, Ki Argoseto ahli peracik racun dan gendam, dan Arya Jalu pemimpin divisi pasukan Bayangan Hitam. Mereka datang diiringi oleh angin ribut di tempat itu, sebab orang-orang berilmu tinggi dari gerombolan Nogo Kemuning itu datang dengan memakai ajian Kidang Kencana. Ajian Kidang Kencana adalah suatu ajian kuno tingkat tinggi, di mana orang yang memakai ajian itu mampu bergerak atau berlari sangat cepat bagai memiliki kekuatan seribu kijang emas. Gerakan yang sangat cepat itu, mampu membuat angin bergemuruh di sekitarnya.

Baruklinting gembira atas kedatangan Pulanggeni bersama rombongan kecilnya itu.

"Kuharap kamu sudah bertemu bapamu", kata Pulanggeni.

"Benar kawanku. Tetapi aku perlu bantuanmu sekarang", ujar Baruklinting.

"Bantuan? Bukannya telah kuberikan bantuan menunjukkan lokasi bapamu berada".

"Bukan itu maksudku. Jika kau bantu aku kali ini, sekali lagi mewujudkan keinginanku, maka imbalanmu bisa segera kuberikan kelak di Mangir", kata Baruklinting kemudian.

Mendengar hal itu, Pulanggeni berharap segera mendapatkan imbalan itu dari Baruklinting. "Tetapi bagaimana kamu mampu memberikan imbalan itu, sementara kamu masih berada di Merapi dengan persoalanmu sendiri?", pungkas Pulanggeni.

"Peganglah janjiku, kelak ketika aku telah hidup makmur di Mangir, kamu dan kelompokmu kuberi suatu tempat yang luas di Mangir, sehingga kamu tidak perlu hidup sengsara di kawasan Selo Merbabu itu. Aku mau berbagi hidup kemakmuran bersama gerombolanmu di Mangir", ujar Baruklinting. Lalu Pulanggeni tertarik dengan kata-kata manis Baruklinting itu. Dia bersama tiga orang kepercayaannya tidak menyadari bahwa sebenarnya Baruklinting telah merapal suatu ajian tingkat tinggi. Yaitu ajian Kencana Lathi, Kencana artinya emas, Lathi artinya lidah. Ajian Kencana Lathi adalah ilmu daya kekuatan untuk mempengaruhi lawan dengan memakai susunan kata-kata yang apik dan indah, bagaikan si Lidah Emas.

"Katakan segera, bantuan apa yang kau inginkan dari kami", ujar Pulanggeni kemudian. Maka dalam pada itu Baruklinting lalu menjelaskan, bahwa dia memerlukan bantuan tenaga pasukan Bayangan Hitam Nogo Kencono untuk menyebarkan tosan aji yang telah diisi oleh pamor dan memiliki daya kekuatan gaib ke seluruh penjuru pelosok mengelilingi Gunung Merapi.

"Aku inginkan bala pasukanmu untuk menanam semua tosan aji yang telah kuisi dengan semua pamor sakti. Mungkin jumlahnya puluhan atau mungkin ratusan tosan aji. Tanamlah di semua lembah, tebing, sungai, hutan, bebatuan, hingga mengelilingi Merapi", kata Baruklinting.

"Kapan kami harus memulai pekerjaan ini?".

"Waktumu hanya singkat. Semalam suntuk hingga dini hari pagi. Sebelum fajar menyingsing pekerjaan mu harus telah selesai. Dimulai nanti tepat saat senja mulai tenggelam di sisi sebelah Barat. Apakah kamu dan pasukanmu sanggup dan siap?", tanya Baruklinting.

"Jangan pernah ragukan gerombolan Nogo Kemuning. Kami siap", jawab Pulanggeni.

"Maka jangan berlama-lama lagi di sini. Biarkan kupersiapkan segalanya lebih dulu di tempat ini. Dan kalian persiapkanlah pasukan kalian. Ambillah semua tosan aji yang telah kupersiapkan di beberapa titik lokasi nanti. Dan tanamlah semua seperti telah kujelaskan tempatnya", kata Baruklinting kemudian.

"Budal!", jawab Pulanggeni singkat. Dia dan beberapa orang kepercayaannya lalu meninggalkan Baruklinting di tempat itu, untuk pergi mempersiapkan diri. Sedikitnya sekitar limapuluh pasukan Bayangan Hitam harus dipersiapkan malam itu, untuk suatu tugas yang diberikan oleh Baruklintinng.

Puncak Gunung Merapi tampak tertutup oleh kabut sebagian. Senja belum sempurna betul menjemput malam. Langit berwarna semburat kuning oleh candikolo di kawasan itu. Bunyi Tongeret terdengar di kejauhan. Burung-burung tampak terbang berseliweran di rerimbun pohon besar hendak pulang ke sarang. Angin gunung berhembus ke arah lembah, menerpa sebagian wajah Baruklinting yang sedang bersila di sebuah pelataran batu besar di Ketep.

Tak berapa lama kemudian, Baruklinting menggerakkan kedua tangannya ke udara, seperti gerakan mengambil sesuatu dari alam lain yang tak kasat mata. Gerakannya mirip seperti tarian kuno atau mirip gerakan orang yang memainkan jurus-jurus tangan kosong menarik sesuatu, dibantu olah pernapasan dan tenaga dalam tingkat tinggi berupa daya linuwih dari keris Bethok Budho yang menyatu dalam tubuhnya.

Mulut anak muda itu berkomat kamit merapal suatu mantera. "Selo watu, Watu selo. Wujud lan maujud, teko lan tumeko, siro nompo kanti lapanging samudro, saking kersaning Pangeran Gusti siro", ujarnya lirih berulang kali dalam tarikan napas dalam.

Tiba-tiba di sekitar tempatnya duduk bersila, bermunculan entah darimana percikan benda-benda mirip bentuk kembang api yang berpendar. Perwujudan yang semula mirip sebatas suatu kumpulan sinar seperti kunang-kunang yang berseliweran itu, lama-lama berubah wujud sebagai bentuk aneka ragam tosan aji yang berseliweran bergerak di sekitar tubuh Baruklinting.

Aneka ragam tosan aji itu antara lain berupa aneka benda keris, mata tombak, pedang, pisau, mata panah, yang jumlahnya semakin banyak dan terus bergerak dalam suatu pusaran angin yang semakin membesar tepat beberapa depa di depan Baruklinting. Sesekali terdengar bunyi berdenting di pusaran angin itu, sebab terjadi gesekan antara benda-benda itu di udara.

Baruklinting benar-benar sedang memateg suatu ajian penarikan barang pusaka dari alam gaib. Ajijaya kawijayan tingkat tinggi itu amat jarang dilakukan oleh para spiritualis di tanah Jawa. Hanya sedikit orang yang mampu menguasai ilmu penarikan benda pusaka dari alam gaib. Memang sulit dicerna oleh nalar, tetapi hal ini nyata. Semua benda-benda tosan aji berukuran besar dan kecil itu, dalam jumlah puluhan bahkan mungkin ratusan keping, kini telah menggeletak nyata di tanah beberapa depa jaraknya dari tempat Baruklinting bersila.

Belum usai sampai di situ, sejurus kemudian Baruklinting merapal suatu mantera. Itu adalah cara Baruklinting memasukkan tuah dan pamor kedalam setiap benda pusaka tarikan itu, sehingga semua barang tarikan itu menjadi wujud benda pusaka sakti yang sempurna.

Tiba-tiba semua benda pusaka tarikan itu dikelilingi oleh suatu kabut putih bercahaya biru. Beberapa kali dari dalam kabut putih itu memancarkan sinar-sinar kecil bercabang-cabang, seperti rangkaian cahaya kilat yang ujungnya retak-retak, sebelum suara geledeg menyambar bumi.

Tepat sebelum senja benar-benar tenggelam digantikan malam, Baruklinting menyudahi ritualnya. Semerbak bau wewangian kembang tujuh rupa menyeruak di sekitar tempat duduknya bersila. Tak lama berselang sesudah itu, Baruklinting menggerakkan tangannya sekali lagi ke arah sekumpulan benda-benda tosan aji bertuah di depannya.

Lalu secara ajaib benda-benda itu bergerak dengan sendirinya, melesat pergi dari hadapannya. Bunyinya berdesing kencang di udara yang dilewati. Benda-benda itu terbang sendiri-sendiri, lalu mendarat dalam beberapa kelompok, ke beberapa titik tempat jauh di seputaran Gunung Merapi. Baruklinting menarik napas dalam.

Di kejauhan Pulanggeni telah mempersiapkan barisan pasukan Bayangan Hitam ke dalam beberapa kelompok kecil. Mereka adalah pasukan khusus kelompok Nogo Kemuning. Jumlah seluruhnya sekitar limapuluh orang prajurit. Pulanggeni tahu apa yang selanjutnya harus dilakukannya. Dia memerintah pasukan Bayangan Hitam, untuk bergerak dalam beberapa kelompok, dan mengambil semua pusaka yang telah ditempatkan oleh Baruklinting dalam beberapa lokasi di seputaran Merapi itu.

Dalam remang-remang gulita malam, pasukan Bayangan Hitam itu pun bergerak cepat. Mereka memakai ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Sebuah ilmu serupa yang dipakai oleh Margopati, telik sandi Nogo Kemuning saat meninggalkan Salengker, di kala itu,

Barisan pasukan itu lalu tampak berkelebat seperti gerakan sekumpulan siluman yang mengambil dan membawa benda-benda pusaka dan pergi jauh ke segala arah, mengelilingi Gunung Merapi. Benda-benda pusaka itu kemudian mereka tanam di berbagai tempat, di bebatuan besar, di celah pepohonan besar, di sumber air dan lembah, ngideri atau mengelilingi Merapi.

Malam bertambah malam di seputaran Merapi. Tiba-tiba asap kelabu tampak mengepul dari puncak kawah gunung berapi itu. Asap itu membentuk awan panas yang bergulung-gulung bentuknya membubung ke udara. Bunyi bergemuruh terdengar dari perut gunung berapi itu. Mungkin itu adalah reaksi alam atas tindakan Baruklinting menanam segala tosan aji dibantu pasukan Bayangan Hitam ngideri Merapi. 

Di sisi sebelah Barat Daya gunung itu, tampak beberapa guguran lahar panas meleleh dan turun melalui celah-celah jalur lahar lalu turun ke sungai yang terbentuk alami, tampak dari kejauhan. Semak-semak dan rerumputan kering segera terbakar oleh terjangan aliran lahar panas yang meleleh itu. Seketika itu juga hawa panas menyelimuti puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah itu. Hawa panas itu turun perlahan ke arah lembah.

***

(BERSAMBUNG Ke Episode #10 ) 

(Sebelumnya di Episode #8 )

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun