Baruklinting benar-benar sedang memateg suatu ajian penarikan barang pusaka dari alam gaib. Ajijaya kawijayan tingkat tinggi itu amat jarang dilakukan oleh para spiritualis di tanah Jawa. Hanya sedikit orang yang mampu menguasai ilmu penarikan benda pusaka dari alam gaib. Memang sulit dicerna oleh nalar, tetapi hal ini nyata. Semua benda-benda tosan aji berukuran besar dan kecil itu, dalam jumlah puluhan bahkan mungkin ratusan keping, kini telah menggeletak nyata di tanah beberapa depa jaraknya dari tempat Baruklinting bersila.
Belum usai sampai di situ, sejurus kemudian Baruklinting merapal suatu mantera. Itu adalah cara Baruklinting memasukkan tuah dan pamor kedalam setiap benda pusaka tarikan itu, sehingga semua barang tarikan itu menjadi wujud benda pusaka sakti yang sempurna.
Tiba-tiba semua benda pusaka tarikan itu dikelilingi oleh suatu kabut putih bercahaya biru. Beberapa kali dari dalam kabut putih itu memancarkan sinar-sinar kecil bercabang-cabang, seperti rangkaian cahaya kilat yang ujungnya retak-retak, sebelum suara geledeg menyambar bumi.
Tepat sebelum senja benar-benar tenggelam digantikan malam, Baruklinting menyudahi ritualnya. Semerbak bau wewangian kembang tujuh rupa menyeruak di sekitar tempat duduknya bersila. Tak lama berselang sesudah itu, Baruklinting menggerakkan tangannya sekali lagi ke arah sekumpulan benda-benda tosan aji bertuah di depannya.
Lalu secara ajaib benda-benda itu bergerak dengan sendirinya, melesat pergi dari hadapannya. Bunyinya berdesing kencang di udara yang dilewati. Benda-benda itu terbang sendiri-sendiri, lalu mendarat dalam beberapa kelompok, ke beberapa titik tempat jauh di seputaran Gunung Merapi. Baruklinting menarik napas dalam.
Di kejauhan Pulanggeni telah mempersiapkan barisan pasukan Bayangan Hitam ke dalam beberapa kelompok kecil. Mereka adalah pasukan khusus kelompok Nogo Kemuning. Jumlah seluruhnya sekitar limapuluh orang prajurit. Pulanggeni tahu apa yang selanjutnya harus dilakukannya. Dia memerintah pasukan Bayangan Hitam, untuk bergerak dalam beberapa kelompok, dan mengambil semua pusaka yang telah ditempatkan oleh Baruklinting dalam beberapa lokasi di seputaran Merapi itu.
Dalam remang-remang gulita malam, pasukan Bayangan Hitam itu pun bergerak cepat. Mereka memakai ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Sebuah ilmu serupa yang dipakai oleh Margopati, telik sandi Nogo Kemuning saat meninggalkan Salengker, di kala itu,
Barisan pasukan itu lalu tampak berkelebat seperti gerakan sekumpulan siluman yang mengambil dan membawa benda-benda pusaka dan pergi jauh ke segala arah, mengelilingi Gunung Merapi. Benda-benda pusaka itu kemudian mereka tanam di berbagai tempat, di bebatuan besar, di celah pepohonan besar, di sumber air dan lembah, ngideri atau mengelilingi Merapi.
Malam bertambah malam di seputaran Merapi. Tiba-tiba asap kelabu tampak mengepul dari puncak kawah gunung berapi itu. Asap itu membentuk awan panas yang bergulung-gulung bentuknya membubung ke udara. Bunyi bergemuruh terdengar dari perut gunung berapi itu. Mungkin itu adalah reaksi alam atas tindakan Baruklinting menanam segala tosan aji dibantu pasukan Bayangan Hitam ngideri Merapi.Â
Di sisi sebelah Barat Daya gunung itu, tampak beberapa guguran lahar panas meleleh dan turun melalui celah-celah jalur lahar lalu turun ke sungai yang terbentuk alami, tampak dari kejauhan. Semak-semak dan rerumputan kering segera terbakar oleh terjangan aliran lahar panas yang meleleh itu. Seketika itu juga hawa panas menyelimuti puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah itu. Hawa panas itu turun perlahan ke arah lembah.
***