Prahara di Puserwening (#5)Â
Desa Pathok, Kademangan Puserwening
Kerumunan penonton menjadi buyar seketika. Para perempuan dan ibu-ibu menjerit ketakutan. Anak-anak pergi menyelamatkan diri. Mereka takut diterkam oleh para penari yang telah kesurupan itu. Tiga orang yang berbaju merah tak sempat meninggalkan arena. Mereka ditubruk orang yang kesurupan celeng. Seketika itu juga tiga orang itu bergelimpangan ke tanah.
Anehnya permainan ini, tiga orang berbaju merah itu pun mendadak ikut kesurupan, ikut ndadi. Anehnya lagi, barisan penonton pun yang tersenggol atau sempat tersentuh tubuh para pemain Kuda Lumping, tiba-tiba tak sadarkan diri, kejang-kejang, ikut kesurupan.
Para pawang atau dukun kesenian itu jumlahnya terbatas, sehingga mereka benar-benar kewalahan untuk mengatasi kekacauan ini. Kesurupan, ndadi, lupa diri nyatanya bisa menular ke siapa saja, seperti rabies anjing gila.
Tetabuhan gamelan, terutama kendang dan gong, harus terus dibunyikan. Sebab jika tidak maka suasana pertunjukan itu akan sungguh-sungguh menjadi liar tanpa kendali. Barisan para penonton yang telah ikut kesurupan menjadi tak terhitung lagi. Sebab mereka saling bersenggolan dalam kerumunan, dan ikut kesurupan.Â
Sebagian besar penonton bercampur para penari bergelimpangan ke tanah. Sebagian bergerak liar sambil menari. Sebagian orang lainnya mencebur ke sawah dan bergulung-gulung di lumpur. Orang ndadi bisa bertindak aeng-aeng, aneh-aneh.
Tampak ada yang memanjat pohon kelapa dan turun dengan posisi tubuh terbalik seperti seekor cicak merayap. Ada pula yang memakan pelepah duri salak yang tajam, seolah seperti memakan kerupuk. Anehnya, tak ada darah yang mengucur dari mulut pemakan duri salak yang tajam itu.
Dalam tatap mata kosong, sebagian orang tampak sibuk menggerogoti dan mengupas sabut kelapa dengan mulutnya. Lalu memecah kelapa itu dengan kening kepalanya. Kelapa yang dibenturkan ke kening kepala itu kemudian pecah berantakan, mengeluarkan air kelapa yang membuncah ke mana-mana. Anehnya kening kepala orang itu tak terluka sama sekali.
Kekacauan kesenian rakyat itu bisa berlangsung lama, bahkan bisa menjelang senja atau malam hari. Sebab para dhanyang atau dhemit yang menyusup ke tubuh orang-orang, baik pemain dan para penonton itu, bisa sesuka hati mereka untuk menentukan waktu kapan harus pergi meninggalkan tubuh yang dirasuki.
Pesta kesenian itu akhirnya sungguh-sungguh berhenti, ketika semua tubuh telah sadar tak ada yang kesurupan lagi. Begitulah riuh dan meriahnya pesta kesenian Jathilan di desa Pathok, Kademangan Puserwening itu.
Namun belum lagi kerumunan penonton kesenian itu bubar, tiba-tiba di tengah-tengah arena pertunjukan itu Baruklinting tampil ke depan. Dia membawa semacam kayu lidi di tangannya. Dia berkata kepada orang banyak di tempat itu.Â
"Wahai kalian orang-orang Puserwening. Kemarilah kalian para pejabat desa, atau penduduk biasa, para lelaki yang sakti, atau siapa saja. Ikutilah sayembaraku ini. Barang siapa mampu mencabut lidi Galih Sodo Lanang yang kutancapkan ke tanah ini, dialah orang yang kuanggap paling sakti di tempat ini. Majulah kalian", kata Baruklinting sambil menancapkan kayu lidi itu ke tanah. Separuh lidi Galih Sodo Lanang itu tertancap ke tanah.
Orang-orang yang berkerumun di situ, tertarik pada tantangan permainan Baruklinting. Satu demi satu orang maju ke depan dan mencoba mencabut kayu lidi itu tetapi tak berhasil. Maka semakin banyak orang antusias dan penasaran, mencoba mencabut lidi Galih Sodo Lanang itu. Bahkan dengan sekuat tenaga, tetapi kayu lidi itu tak bergerak, tetap bertahan kokoh tertancap separuh kedalam tanah.
Mereka adalah para tetua desa, pejabat praja Kademangan Puserwening, para pemuda dan anak-anak, bahkan perempuan dan ibu-ibu telah mengikuti sayembara itu. Tak satu pun yang berhasil mencabut kayu lidi itu dari tanah. Banyak orang merasa heran melihat kejadian itu.
Maka akhirnya semua mereka menyerah. Dan Baruklinting pun maju ke depan. Dengan suara lantang dia berkata pada kerumunan orang banyak di sekitarnya itu.
"Wahai kalian semua, sayembaraku adalah pepeling. Jangan pernah ada lagi orang yang merendahkan martabat liyan, hanya karena derajat, pangkat lebih tinggi atau sebab penampilan yang lebih buruk. Hargailah orang lain. Janganlah saling membenci. Jangan ada lagi orang umuk, karena di atas kesaktian ada kesaktian yang lebih tinggi. Aku adalah anak kecil buruk rupa yang mengemis makanan kepada kalian karena aku lapar. Tetapi kalian tak ada yang memberiku makanan. Sedangkan tubuhku sendiri yang seekor ular, telah kalian santap beramai-ramai dan pesta pora di tempat ini. Kalian semua tak tahu diri.  Uripmu koyo wit gedhang. Duwe jantung ora duwe ati. Kalian tak punya hati. Tak punya perasaan", ujar Baruklinting murka pada semua orang itu.
"Sekarang giliranku. Dan terimalah kini ganjaran kalian!", teriak Baruklinting lantang. Suaranya bagai si Gelap Ngampar, bunyi geledek di tengah siang.
Belum lagi orang banyak itu sempat bereaksi, Baruklinting tiba-tiba mencabut lidi Galih Sodo Lanang itu. Kemudian dia merundukkan sedikit tubuhnya, lalu menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke angkasa, sambil membawa kayu lidi yang berhasil dia cabut itu pada genggaman tangannya.
Mendadak bumi bergetar hebat di tempat itu. Di bekas tempat tertancapnya lidi itu, tiba-tiba memuntahkan air yang banyak. Kekuatan air itu begitu dahsyat. Air itu membubung tinggi seperti memancar sangat kuat ke langit, dan membentuk tiang air dengan bentuk mirip payung di puncaknya. Belum lagi orang banyak itu menyadari apa yang sedang terjadi, bencana itu pun terjadi. Tiang air yang semakin membesar garis tengahnya, dan semakin deras daya pancarnya ke angkasa, tiba-tiba meledak dengan mengeluarkan bunyi yang sangat keras.
Maka desa Pathok dan Pademangan Puserwening mendadak tersapu oleh airbah. Air itu semakin banyak jumlahnya, membentuk gelombang besar di tempat itu, memicu angin ribut danÂ
langit berubah menjadi gelap. Cahaya kilat yang gerakan ujungnya bercabang cabang biru menyambar sampai ke permukaan air yang kini telah berubah menjadi danau besar itu.
Peristiwa bencana itu terjadi begitu cepat, tak ada yang mampu menyelamatkan diri. Pademangan Puserwening yang terdiri dari sedikitnya 12 desa-desa di wilayahnya, lenyap terendam seluruhnya oleh gelombang besar yang kini telah menjadi sebuah danau luas itu.Â
Kelak danau itu dinamai orang sebagai danau Rawapening, yang merupakan singkatan dari Raga Jiwa Pen ing Hning, artinya Raga jiwa sungguh-sungguh berada dalam hening. Maknanya bahwa untuk dapat mencapai suatu tujuan, segenap jiwa raga seseorang hendaknya berada sungguh-sungguh dalam kondisi keadaan hening.
Adapun sejurus kemudian, Baruklinting yang tengah melayang-layang bagai seekor elang, berada di angkasa, melemparkan lidi Galih Sodo Lanang yang ujungnya terdapat kotoran tanah. Kayu lidi itu meluncur ke tempat jauh, tertancap di sebuah tempat yang kemudian tempat itu berubah sebagai gundukan bukit.
Kelak orang menyebut bukit itu sebagai bukit Gunung Kendali Sodo, atau gunung Kendal ing sodo, artinya: kotoran di ujung sodo atau lidi. Gunung Kendali Sodo berada di perbatasan Ambarawa dengan Ungaran di Jawa Tengah. Kelak tempat itu dipercaya sebagai tempat pembuangan barang-barang sukerto, atau kotoran gaib, termasuk tempat melarung berbagai tosan aji yang dianggap tak lagi berguna bagi pemiliknya.
Sementara gelombang besar danau itu belum reda seutuhnya. Tampak di kejauhan seorang perempuan sedang naik sebuah perahu dari lesung kayu. Dia mendayung lesung memakai dayung centong nasi dari kayu. Bunyinya 'Tang, tung, tang, tung..tang". Maka demikianlah dituturkan, bahwa tempat di mana perempuan mendayung lesung dengan suara tang-tung itu, kelak dinamai desa Tuntang, letaknya di pinggir Rawapening dekat Salatiga.
Adapun perempuan itu adalah Rondo Kasihan, perempuan yang telah memberi makanan ke Baruklinting ketika anak itu masih bertubuh kecil dan kumuh, di kala itu, dan belum berubah wujudnya sebagai pemuda gagah tampan yang kini sedang terbang di angkasa sebelah sana itu.
Rondo Kasihan yang mendayung lesungnya, akhirnya tiba di suatu tempat suatu hutan kecil di lembah Gunung Telomoyo. Perempuan itu menetap di situ, kelak orang menamai tempat itu sebagai hutan Wono Kasihan. Kelak pada perkembangan jaman, hutan Wono Kasihan berubah sebagai desa yang berpenduduk makmur. Desa itu disebut desa Wono Kasihan, letaknya di dekat desa Jambu dan Bedono.
Sementara di ujung tepi Rawapening yang lain, sebagian penduduk desa lain yang terpaksa mengungsi akibat bencana alam itu, telah sampai di sebuah tempat Karanganyar namanya. Karang berarti tempat, anyar berarti baru. Karanganyar adalah tempat tinggal baru bagi para pengungsi itu. Karanganyar berada di dekat kota Ungaran, di Jawa Tengah.
Baruklinting yang melayang bagai burung elang terbang di angkasa, akhirnya tiba di bukit di tepi Rawapening, dekat Banyubiru. Bukit itu kelak dinamai orang sebagai Bukit Cinta. Di tempat  itu Baruklinting duduk bersila dan mengambil batu mustika Naga yang dahulu melekat pada keningnya.  Â
Kepada mustika Naga itu, dia berkata: "Wahai batu mustika, jadilah dirimu sebagai Naga seperti wujudku dahulu. Dan tinggalah di dasar danau ini, dan jagalah jangan sampai danau ini menimbulkan bencana lagi bagi orang-orang yang tinggal di sekitar danau ini".
Maka berubahlah batu mustika Naga itu menjadi mahkluk gaib sosok ular Naga seperti perwujudan Baruklinting dahulu. Ular itu menggeliat lalu melesat masuk ke dalam danau itu. Bunyinya bergemerincing akibat gerakan suara kelintingan atau genta yang melingkar di lehernya. Dia menjaga tempat itu dan para spiritualis Jawa menyebut bahwa ular itu hingga kini masih menjadi penunggu tempat itu. Keadaan ini mungkin sulit diterima oleh nalar, tetapi itu sungguh terjadi.Â
Sementara itu. Dari atas sebuah bukit, di Kawasan Salengker, Sepakung, secara diam-diam tampak sesosok orang berpakaian petani dengan ikat kepala berwarna kuning. Dia mengamati semua peristiwa dan kejadian alam itu dari tempatnya kini berdiri. Orang asing itu wajahnya begitu tegang, dadanya berdegup kencang. Sebab di kejauhan dia telah melihat wujud danau Rawapening itu kini begitu luas, berwarna biru kelabu seperti hamparan permadani di kaki langit. Kelak tempat itu disebut Desa Salengker, di lereng Telomoyo, di mana danau Rawapening tampak mempesona pemandangan alamnya terlihat dari desa itu.
Danau itu berada di cekungan antara Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Rawapening kelak disebut danau alami dengan luas sekitar 2.670 hektar. Dengan kedalaman 15meter dan sebagian dalamnya 3 meter.
"Hmmm. Baruklinting", desis orang asing itu kepada dirinya sendiri. Lalu dia bergegas beranjak pergi dari tempat itu. Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, lelaki berpakaian petani itu kemudian berkelebat seperti tertiup angin. Tubuhnya hinggap dari pohon ke pohon lain dengan sangat cepat dan ringan. Akhirnya dia lenyap di gerumbul hutan di balik Gunung Telomoyo. Lelaki misterius itu tak tampak lagi batang hidungnya di tempat itu.
Siapa dia gerangan orang asing itu? Â
***Â
(BERSAMBUNG ke Episode #6 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H