"Wahai kalian orang-orang Puserwening. Kemarilah kalian para pejabat desa, atau penduduk biasa, para lelaki yang sakti, atau siapa saja. Ikutilah sayembaraku ini. Barang siapa mampu mencabut lidi Galih Sodo Lanang yang kutancapkan ke tanah ini, dialah orang yang kuanggap paling sakti di tempat ini. Majulah kalian", kata Baruklinting sambil menancapkan kayu lidi itu ke tanah. Separuh lidi Galih Sodo Lanang itu tertancap ke tanah.
Orang-orang yang berkerumun di situ, tertarik pada tantangan permainan Baruklinting. Satu demi satu orang maju ke depan dan mencoba mencabut kayu lidi itu tetapi tak berhasil. Maka semakin banyak orang antusias dan penasaran, mencoba mencabut lidi Galih Sodo Lanang itu. Bahkan dengan sekuat tenaga, tetapi kayu lidi itu tak bergerak, tetap bertahan kokoh tertancap separuh kedalam tanah.
Mereka adalah para tetua desa, pejabat praja Kademangan Puserwening, para pemuda dan anak-anak, bahkan perempuan dan ibu-ibu telah mengikuti sayembara itu. Tak satu pun yang berhasil mencabut kayu lidi itu dari tanah. Banyak orang merasa heran melihat kejadian itu.
Maka akhirnya semua mereka menyerah. Dan Baruklinting pun maju ke depan. Dengan suara lantang dia berkata pada kerumunan orang banyak di sekitarnya itu.
"Wahai kalian semua, sayembaraku adalah pepeling. Jangan pernah ada lagi orang yang merendahkan martabat liyan, hanya karena derajat, pangkat lebih tinggi atau sebab penampilan yang lebih buruk. Hargailah orang lain. Janganlah saling membenci. Jangan ada lagi orang umuk, karena di atas kesaktian ada kesaktian yang lebih tinggi. Aku adalah anak kecil buruk rupa yang mengemis makanan kepada kalian karena aku lapar. Tetapi kalian tak ada yang memberiku makanan. Sedangkan tubuhku sendiri yang seekor ular, telah kalian santap beramai-ramai dan pesta pora di tempat ini. Kalian semua tak tahu diri.  Uripmu koyo wit gedhang. Duwe jantung ora duwe ati. Kalian tak punya hati. Tak punya perasaan", ujar Baruklinting murka pada semua orang itu.
"Sekarang giliranku. Dan terimalah kini ganjaran kalian!", teriak Baruklinting lantang. Suaranya bagai si Gelap Ngampar, bunyi geledek di tengah siang.
Belum lagi orang banyak itu sempat bereaksi, Baruklinting tiba-tiba mencabut lidi Galih Sodo Lanang itu. Kemudian dia merundukkan sedikit tubuhnya, lalu menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika itu pula tubuhnya melenting ke angkasa, sambil membawa kayu lidi yang berhasil dia cabut itu pada genggaman tangannya.
Mendadak bumi bergetar hebat di tempat itu. Di bekas tempat tertancapnya lidi itu, tiba-tiba memuntahkan air yang banyak. Kekuatan air itu begitu dahsyat. Air itu membubung tinggi seperti memancar sangat kuat ke langit, dan membentuk tiang air dengan bentuk mirip payung di puncaknya. Belum lagi orang banyak itu menyadari apa yang sedang terjadi, bencana itu pun terjadi. Tiang air yang semakin membesar garis tengahnya, dan semakin deras daya pancarnya ke angkasa, tiba-tiba meledak dengan mengeluarkan bunyi yang sangat keras.
Maka desa Pathok dan Pademangan Puserwening mendadak tersapu oleh airbah. Air itu semakin banyak jumlahnya, membentuk gelombang besar di tempat itu, memicu angin ribut danÂ
langit berubah menjadi gelap. Cahaya kilat yang gerakan ujungnya bercabang cabang biru menyambar sampai ke permukaan air yang kini telah berubah menjadi danau besar itu.
Peristiwa bencana itu terjadi begitu cepat, tak ada yang mampu menyelamatkan diri. Pademangan Puserwening yang terdiri dari sedikitnya 12 desa-desa di wilayahnya, lenyap terendam seluruhnya oleh gelombang besar yang kini telah menjadi sebuah danau luas itu.Â