Mohon tunggu...
D. Wibhyanto
D. Wibhyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Sandhyakalaning Baruklinting - Tragedi Kisah Tersembunyi (Episode #4)

14 April 2023   10:38 Diperbarui: 22 April 2023   12:10 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Image episode #4 by D.Wibhyanto / Dok.pri 

Orang Kalap Kesurupan (#4) 

Salengker, Sepakung Lembah Gunung Telomoyo

            Gerakan ular itu membuat bumi sekitarnya bergemuruh. Tubuh raksasanya menerabas ke dalam lapisan permukaan tanah, membuldoser apasaja yang ada di hadapannya. Banyak pohon besar dan kecil bertumbangan, kemerosak bunyinya. Dan bebatuan berukuran besar pecah berantakan rata dengan tanah. Lapisan kulitnya yang sekeras besi baja membuat benda apa saja di hadapan ular itu seperti menyingkir dan tersibak dengan amat mudah.

Bekas jalur yang telah dilaluinya membentuk suatu cekungan alur sungai lebar yang meliuk liuk, mulai dari Kawasan Sumowono hingga turun ke arah lembah di Ambarawa. Kelak alur itu berubah sebagai jalur sungai yang dikenal sebagai sungai Kali Panjang, melewati Desa Kerep, Desa Panjang Lor dan membelah Ambarawa, seperti kukisahkan di awal cerita ini.

            Di dalam gulita malam, Baruklinting bergerak mencari bapanya. Atas suatu wisik gaib keris pusaka Bethok Budho yang menyatu dalam dirinya, dia berhenti di suatu tempat bernama Salengker di Sepakung lembah Gunung Telomoyo. Gerakan hatinya merasakan getaran bahwa di tempat itu ada seseorang yang sedang bertapa.     

Benar saja, tak jauh dari tempatnya merayap dan melingkar, seseorang tampak sedang bersila di atas sebuah batu besar di bawah sebuah pohon rindang yang sulur-sulurnya tampak menjulur sampai menyentuh tanah. Orang itu memakai pakaian kain serba putih melilit pada badannya seperti seorang resi atau biksu Budha. Baruklinting menyangka bahwa dia adalah bapanya. Dia lalu mendesis. Bunyinya keras seperti hembusan angin yang mengerisik pepohonan besar di tempat itu.

            "Szzzz.... Wahai pertapa, siapakah dirimu dan apakah tempatmu ini berada di Gunung Merapi?", tanya Baruklinting sambil mendesis mendekati pertapa yang sedang duduk bersila di sebuah batu besar tempat itu. Kepalanya yang besar dan lidahnya yang merah menjulur-julur keluar, mengejutkan si pertapa itu. Orang yang bersila itu membuka matanya, terkejut, dan meringsut tubuhnya ke belakang. Sesaat kemudian dia mengatur posisi duduknya dan menarik napas dalam.

            "Siapa kamu wujud yang nggegirisi, menyeramkan. Mengapa kamu mengusik tapa brataku", kata lelaki pertapa itu kemudian. "Tempat ini bukan Gunung Merapi, melainkan Sepakung -Telomoyo. Dan aku, orang menyebutku Ki Ismaya", ujar pertapa itu kemudian.

            "Szzz.... Maafkan aku mengejutkan dan mengusik tapa bratamu. Aku Baruklinting, putra Dewi Ariwulan di Desa Aran Jalegong. Aku ingin menemui bapaku pertapa di Merapi", kata Baruklinting. Baruklinting teringat pada pesan ibunya kala itu: "Bapamu adalah orang penting di suatu perdikan pantai Laut Selatan. Temuilah. dia sedang bertapa di Merapi". 

            "Kamu datang dari jauh. Kalau tidak salah konon Jalegong adalah tempat pasraman di mana Ki Hajar Salokantoro tinggal. Apakah kamu mengenalnya?", tanya lelaki itu. Baruklinting terkesiap. Dia mendesis dan menarik tubuhnya sedikit ke belakang. Dia heran ketika si pertapa itu menyebut nama orang yang sangat dikenalnya itu.

            "Szzz.Hmmm. Ki Hajar Salokantoro adalah orang yang kusebut orangtuaku sendiri. Dia guruku. Dia kerabat ibuku. Bagaimana panjenengan bisa mengenalnya?" tanya Baruklinting keheranan.

            Lalu sesaat kemudian pertapa bernama Ki Ismaya itu bercerita. Bahwa dirinya adalah kerabat jauh dari Ki Hajar Salokantoro. Mereka pernah bersama hidup di jaman akhir keruntuhan Majapahit.

            "Karena kekacauan di kala itu, aku memilih pergi meninggalkan keraton dan bertapa di Sepakung. Aku tak pernah lagi mendengar kabar di mana saudaraku itu kini berada", ujar Ki Ismaya.

        "Kami termasuk bagian Wong Kalang dan sisa-sisa laskar pasukan khusus bersandi Bhayangkara di Majapahit. Betapa senang hatiku bahwa kamu adalah murid dari saudaraku itu".

Baruklinting senang hatinya sebab sempat bertemu lelaki pertapa itu. Setidaknya dia bisa meminta suatu tanda di mana bapanya kini berada.

            "Jika tempat ini adalah Telomoyo bukan Merapi. Ke mana lagi arah menuju Merapi. Mohon panjenengan memberiku suatu pertanda", ujar Baruklinting kemudian.

            "Setahuku, Merapi berada di balik gunung Telomoyo ini bersebelahan dengan gunung Merbabu. Aku tak bisa memberimu tanda lebih jauh tentang siapa bapamu dan persisnya dia bertapa di sebelah mana. Kecuali engkau menemukan tanda dari caramu sendiri, yakni bertapalah di Salengker untuk memperoleh petunjuk dari Gusti Hyang Maha Kuasa sendiri", kata Ki Ismaya.

            "Selain itu. Oleh sebab kamu adalah kerabat Ki Hajar Salokantoro. Sejak saat ini kamu kuanggap sebagai putraku sendiri. Walau tubuh fisikmu sebagai seekor ular, aku tak peduli. Kelak jika sudah pada waktunya, jika kamu memerlukan kehadiranku ucapkanlah namaku sebanyak tiga kali dan gedruk bumi tiga kali. Aku akan datang", pungkasnya kemudian. Baruklinting menyimak ucapan orang tua itu.

            "Maturnuwun Ki Ismaya. Aku gembira kau angkat sebagai putramu. Aku ikuti saranmu untuk bertapa di Salengker", kata Baruklinting. Lalu ular besar itu berpamitan meninggalkan Ki Ismaya. Dia beringsut menuju tempat yang disebut Salengker, yaitu sebuah lembah di kaki Gunung Telomoyo tak jauh dari Sepakung.

            Baruklinting melingkarkan tubuhnya di rerimbun pohon-pohon besar. Telah bulat tekadnya untuk bisa menemukan keberadaan bapanya. Dia bertapa dan manekumg, manembah kang linangkung, artinya merendahkan diri sedalamnya ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia memohon suatu petunjuk nyata, di mana bapanya kini berada.

            Waktu kemudian tumbuh lurus di tempat itu, tak terasa sudah semusim panen Baruklinting menjalankan tapa bratanya. Tubuhnya telah ditumbuhi lumut hijau. Seluruh sisiknya tak lagi nyata sebagai sisik seekor ular, melainkan lebih mirip sebagai sosok pohon besar yang telah tumbang di tempat itu. Baruklinting benar-benar larut dalam tapa bratanya yang dalam.

            Tetapi di suatu hari, sekelompok orang sedang mencari kayu bakar untuk acara sebuah hajatan Merti Desa datang ke tempat itu. Mereka adalah warga Desa Pathok, Kademangan Puserwening dekat Banyubiru. Seseorng di antara mereka terkejut ketika menemukan batang kayu yang mengeluarkan darah ketika terkena parang. Maka dia memanggil semua kawannya dan melihat bahwa batang kayu itu adalah bagian tubuh seekor ular yang melingkar. Itu adalah tubuh ular Baruklinting yang sedang bertapa.

            Orang-orang Desa Pathok itu gembira luar biasa, sebab ular itu bisa menjadi santapan enak untuk seluruh warga desa yang sedang berpesta. Maka mereka membunuh ular itu dengan mengeroyok dan membacok. Tubuh ular itu dibawa pulang ke desa dan dijadikan lauk santapan semua penduduk desa. Sementara itu tubuh fisik ular itu telah disantap oleh semua orang, tetapi daya hidup Baruklinting tiba-tiba mewujud sebagai sosok anak kecil. Anak kecil itu tampak kumuh, tubuhnya kurus dan dipenuhi luka.

            Dalam wujud anak kecil itu, Baruklinting pergi sebagai Krido lumahing asto, pengemis meminta-minta makanan ke rumah warga desa yang sedang mengadakan hajatan itu. Namun tak seorang pun tergerak hati untuk memberinya makanan. Hampir seluruh warga desa tak ada yang memberinya makanan. Sebab mereka jijik melihat penampilan anak kecil bertubuh kumuh dan penuh luka itu.

       Tetapi akhirnya, ada seorang perempuan, Rondo Kasihan namanya. Dia tinggal di rumah sendirian, dan memberi anak kecil itu makanan yang melimpah. Baruklinting memakan makanan itu. Lalu tiba-tiba saja seusai makanan itu habis, tubuhnya yang kecil kumuh itu berubah menjadi sosok seorang pemuda yang gagah bertubuh bersih dan berkulit kuning.

       Rondo Kasihan terkejut. Tubuhnya gemetar melihat keajaiban di depan matanya itu. Keadaan itu sulit untuk diterima nalar, tetapi keadaan itu nyata. Rondo Kasihan benar-bernar takjub sekaligus takut.

         "Siapa engkau anak muda?", tanya perempuan itu dengan gugup.

         "Janganlah takut, mbok. Inilah wujudku yang sekarang. Aku berterimakasih kepadamu", kata Baruklinting kemudian. Perempuan itu masih tak beringsut dari tempatnya. Tubuhnya masih gemetar. Dadanya masih berdegup kencang. Matanya masih tak percaya pada apa yang baru saja dilihatnya. Seorang anak kecil itu kini berubah wujud sebagai seorang pemuda. Itu kejadian yang tak terjangkau oleh nalarnya. Perempuan itu diam tak berkata-kata.

            "Sebelum aku pamit pergi. Pesanku kepadamu, ingatlah", ujar Baruklinting. "Siapkan sebuah lesung dan centong kayu. Jadikanlah lesung itu perahu dan centong sebagai dayung, jika waktunya tiba. Semoga kamu orang yang berbaik hati padaku, selamatlah hingga akhir hayatmu". 

            Rondo Kasihan hanya mampu menganggukkan kepala. Dia melepas kepergian anak muda itu yang meninggalkan rumahnya. Baruklinting lenyap di tikungan jalan di depan rumah perempuan itu. Dia menuju ke tempat pusat keramaian, sumber suara di mana sayup-sayup tetabuhan gamelan terdengar dari tempat rumah perempuan itu.

Desa Pathok, Kademangan Puserwening

            Bunyi tetabuhan gamelan terdengar sayup-sayup dari arah dekat kawasan Banyubiru, di lembah Telomoyo. Tepatnya di Desa Pathok, di wilayah Kademangan Puserwening. Seluruh warga desa Pathok sedang merayakan pesta Merti Desa. Merti Desa adalah acara tradisional bersih desa yang diadakan setiap usai masa panen. Tetabuhan gamelan ternyata berasal dari pertunjukan kesenian Kuda Lumping, Jathilan atau Jaran Kepang yang sedang berlangsung meriah, ditonton oleh banyak orang di tempat itu. Bunyi kenong, kempul, siter, seruling dan gong ditabuh bertalu-talu disela hentakan suara kendang dan nyanyian sinden kelompok kesenian rakyat itu.

        "Sigro sigro nayoko hangayahi karyo/Pakaryaning projo gumregut sengkut/Cancut tali wondo manunggal sedyo/Dampyak dampyak tinon asri/Swarane gumuruh samyo rebut ngarso/Ngestu podo rawuhnyo sang noto/Sajuru juru ngayahi karyo", suara sinden melantunkan tembang atau lagu Sigro-Sigro. Merdu suaranya.

        Para penari dalam ritme gerakan yang seragam mengikuti alur musik, menari tak berhenti sedari tadi. Para penari itu memakai genta krincingan pada semua pergelangan kaki mereka. Sehingga bunyi krincing-krincing berasal dari setiap gerakan kaki penari, menambah suasana pertunjukan itu kian meriah.  

        Uniknya pertunjukan Kuda Lumping ini, pemain atau para penarinya bisa lupa diri ndadi atau kesurupan. Pada hentakan bunyi tetabuhan gamelan yang semakin rancak, para penari kemudian tiba-tiba menari dalam gerakan tak lagi teratur, melainkan berubah sebagai serombongan orang yang njathil, bergerak kalap, aeng-aeng atau aneh-aneh.

       Itulah saat puncak pertunjukan Jathilan ini. Di mana setiap pemain atau penari kesurupan, ndadi lupa diri. Tandanya dukun atau pawang di arena melecutkan cemeti beberapa kali ke udara, sehingga timbul bunyi ledakan keras berulang-ulang. Maka beberapa orang yang memegang masing-masing kuda kepang, yaitu bentuk motif kuda dari anyaman bambu, mendadak menyebar berlarian secara liar mengelilingi seputaran arena pertunjukan.

        Dua orang yang tadinya memegang kepala topeng Barong dan ekor Barong, tampak bergelimpangan ke tanah. Lalu kejang-kejang, ndadi. Debu tanah mengepul di arena pertunjukan itu. Dua orang yang tadinya memegang kepang anyaman bambu motif celeng, berlarian kencang menerabas bagai babi liar hendak keluar arena pertunjukan.

       Akan tetapi usaha itu terhenti karena dicegat beberapa orang pawang yang berjaga di beberapa titik dekat penonton. Para penonton yang penuh mengelilingi arena pertunjukan itu bertepuk tangan.

            Di kawasan Puserwening, termasuk di Banyubiru, Rejoso, Bejalen, dan sekitarnya, semua orang tahu bahwa pertunjukan Kuda Lumping bisa menjadi sangat berbahaya jika dilanggar wewaler atau aturan pertunjukannya. Wewaler itu adalah: tidak boleh ada penonton yang memakai baju merah, dan tidak boleh ada yang menyuarakan siulan keras atau bunyi peluit. Jika wewaler itu dilanggar maka hal itu bisa memicu kemarahan dhanyang atau dhemit yang sedang menyurupi raga para penari.

            Seperti bisa diduga, bahwa di tengah pesta kesenian yang meriah selalu ada pihak yang usil mengacaukan suasana. Begitu juga di pertunjukan Kuda Lumping ini. Di tengah para pemain mulai kesurupan dan ndadi lupa diri, tiba-tiba dua tiga orang berbaju merah muncul di tengah penonton berjoget joget seolah mengejek para pemain. Sebagian penonton lainnya bersuit suit keras dan membunyikan peluit bambu. Tak ayal seketika itu juga, dalam sorot mata yang liar, beberapa pemain Kuda Lumping berlarian mengejar dan menubruk para pembuat onar itu. Gerakan mereka seperti tak bisa dikendalikan lagi.

*** 

(BERSAMBUNG ke Episode #5   )

( Sebelumnya, di Episode #3 )

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun