Sepotong Hujan di Senja Itu
Senja datang dengan warna jingga yang menguar hangat. Rintik hujan mulai turun, mengguyur jalan setapak yang menuju ke rumah tua di ujung desa. Di sana, seorang pria tua duduk di kursi kayu, menatap jauh ke halaman.
Namanya Pak Rahman. Ia sudah melewati banyak senja seperti ini, namun hari ini terasa berbeda. Di tangannya, sebuah surat lusuh yang baru diterima pagi tadi. Tulisan tangan yang dikenalnya dengan baik tertera di sana: "Ayah, aku akan pulang."
Pak Rahman hampir tidak percaya. Sudah sepuluh tahun sejak anaknya, Dani, meninggalkan rumah tanpa pesan. Ia pergi dengan ambisi besar ke kota, meninggalkan ayahnya yang hanya seorang petani kecil. Tak ada kabar sejak itu, hanya keheningan yang menjadi teman Pak Rahman. Namun, surat itu membangkitkan harapan yang hampir padam.
Senja mulai bergulir ke kegelapan. Suara derap langkah terdengar dari kejauhan, semakin mendekat. Pak Rahman berdiri, hatinya berdebar. Sosok pria muda dengan jaket kusam muncul dari balik kabut hujan. Wajahnya lelah, namun senyumnya lebar.
"Ayah," suara itu pecah di antara suara hujan.
Pak Rahman terdiam sejenak, matanya basah. Bukan oleh hujan, tapi oleh kerinduan yang akhirnya terjawab. Ia merentangkan tangannya, dan Dani berlari memeluknya.
Hujan terus turun, membasahi mereka berdua. Tapi di hati Pak Rahman, hujan itu seperti berkat. Senja itu menjadi saksi, bahwa cinta seorang ayah selalu mampu menunggu, tak peduli berapa lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H