deepfake. Deepfake merupakan teknik sintetis citra manusia yang berdasarkan pada kecerdasan buatan atau AI. Teknologi ini digunakan untuk menggabungkan serta menempatkan gambar dan video yang ada ke sumber gambar atau video menggunakan teknik mesin belajar yang dikenal sebagai jaringan generatif adversarial (GAN). Hal ini menjadi ancaman serius bagi dunia jurnalisme, yang tugas utamanya adalah menyampaikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
Dalam era digital yang semakin maju, teknologi telah memberikan banyak manfaat, tetapi juga tantangan baru yang tidak bisa diabaikan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini adalah keberadaanLalu bagaimana jurnalisme dapat menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh deepfake? Apa langkah-langkah yang harus diambil para jurnalis untuk memastikan integritas media tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat tidak tergoyahkan? Solusinya adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip etika jurnalisme secara konsisten, sekaligus beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang.
Deepfake memiliki potensi untuk memanipulasi kenyataan dan menyebarkan informasi yang tidak benar. Dalam dunia jurnalisme, hal ini menjadi ancaman serius karena dapat dimanfaatkan untuk:
1. Pencemaran nama baik seseorang:
 Dengan memalsukan video atau audio, seseorang dapat dibuat seolah-olah mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
2. Menyebarkan disinformasi:
Deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan propaganda atau berita palsu yang bertujuan memanipulasi opini publik.
3. Mengaburkan batas antara fakta dan fiksi:
 Ketika masyarakat mulai kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan mana yang palsu, kepercayaan terhadap media akan menurun.
Jurnalisme, yang berfungsi sebagai pilar demokrasi, harus mampu menghadapi tantangan ini. Jika tidak, dampaknya bisa sangat merusak, baik bagi masyarakat maupun bagi profesi jurnalisme itu sendiri.
Prinsip Etika Jurnalisme dalam Menghadapi Deepfake
Untuk menghadapi tantangan deepfake, jurnalis harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika jurnalisme, yaitu:
1. Verifikasi Fakta
Salah satu prinsip utama dalam jurnalisme adalah verifikasi fakta. Dalam menghadapi deepfake, verifikasi menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Jurnalis tidak boleh langsung mempercayai video, audio, atau gambar tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut. Teknologi seperti analisis metadata, pemeriksaan sumber, dan penggunaan perangkat lunak pendeteksi deepfake harus menjadi bagian dari proses verifikasi.
2. Transparansi kepada Publik
Jurnalis harus jujur kepada audiens mereka. Jika ada keraguan tentang keaslian suatu materi, hal ini harus disampaikan secara terbuka kepada publik. Transparansi membantu membangun kepercayaan masyarakat terhadap media.
3. Mengutamakan Kepentingan Publik
Deepfake sering kali digunakan untuk tujuan sensasionalisme atau kontroversi. Jurnalis harus selalu bertanya apakah informasi yang mereka laporkan benar-benar bermanfaat bagi publik atau justru memperparah penyebaran disinformasi.
4. Pengembangan Literasi Digital
Selain melaporkan berita, jurnalis juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat tentang ancaman deepfake. Dengan meningkatkan literasi digital, masyarakat akan lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh manipulasi digital.
Langkah Praktis untuk Menanggulangi Deepfake
Selain berpegang pada prinsip etika, jurnalis dan organisasi media perlu mengambil langkah praktis untuk menghadapi ancaman deepfake:
1. Menggunakan Teknologi Deteksi Deepfake
Saat ini, sudah banyak pengembang yang menciptakan perangkat lunak untuk mendeteksi deepfake. Misalnya, algoritma berbasis AI yang dapat menganalisis pola-pola yang tidak alami dalam video atau audio. Media perlu berinvestasi dalam teknologi ini untuk memastikan keaslian materi yang mereka gunakan.
2. Membangun Jaringan Verifikasi
Organisasi media dapat bekerja sama dengan platform teknologi, akademisi, dan komunitas pemeriksa fakta untuk menciptakan jaringan verifikasi yang lebih kuat. Kolaborasi ini dapat membantu dalam mengidentifikasi dan membongkar deepfake dengan lebih cepat.
3. Pelatihan Jurnalis
Setiap jurnalis perlu memahami cara kerja deepfake dan bagaimana mendeteksinya. Pelatihan khusus tentang teknologi ini harus menjadi bagian dari kurikulum pelatihan jurnalisme modern.
4. Memperketat Standar Editorial
Redaksi media harus memberlakukan standar yang lebih ketat dalam mengevaluasi keaslian materi. Jangan hanya mengandalkan kecepatan dalam menyampaikan berita, tetapi prioritaskan akurasi.
5. Melibatkan Audiens
Masyarakat juga bisa menjadi mitra dalam melawan deepfake. Media bisa mengajak audiens untuk melaporkan konten mencurigakan dan memberikan panduan tentang cara mengenali deepfake.
Selain tanggung jawab jurnalis, pemerintah dan platform digital juga memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas tentang penggunaan teknologi deepfake, terutama jika digunakan untuk menyebarkan disinformasi atau melakukan kejahatan.
Sementara itu, platform digital seperti media sosial harus meningkatkan sistem moderasi konten mereka. Algoritma yang mampu mendeteksi dan menghapus deepfake sebelum menyebar luas perlu diimplementasikan. Platform juga harus bertanggung jawab untuk memberikan label pada konten yang diragukan keasliannya.
Kesimpulan
Deepfake adalah ancaman serius bagi dunia jurnalisme, tetapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Dengan berpegang pada prinsip etika jurnalisme, memanfaatkan teknologi pendeteksi, serta bekerja sama dengan berbagai pihak, jurnalis dapat melindungi profesi mereka dari manipulasi informasi.
Pada akhirnya, kunci utama dalam melawan deepfake adalah komitmen untuk selalu mencari kebenaran. Jurnalisme yang bertanggung jawab tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melindungi masyarakat dari kebohongan. Dengan begitu, media tetap bisa menjadi pilar yang kokoh dalam menjaga demokrasi dan keadilan di era digital ini.
Contoh Kasus Deepfake:
Beredar sebuah video di berbagai platform digital yang menunjukkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara dalam bahasa Mandarin dengan lancar. Video tersebut disertai narasi yang menyatakan, "Jokowi berbahasa Mandarin.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia mengonfirmasi bahwa video tersebut telah diedit dengan cara yang menyesatkan. Meskipun video itu mirip dengan video asli yang diunggah oleh kanal YouTube The U.S. - Indonesia Society (USINDO) pada 13 November 2015, video yang beredar saat ini telah dimanipulasi, kemungkinan menggunakan teknologi deepfake. Dalam pidato aslinya, Presiden Jokowi tidak berbicara dalam bahasa Mandarin, jadi video ini merupakan bentuk disinformasi. Kominfo mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati terhadap informasi yang bisa dimanipulasi atau diselewengkan dan selalu merujuk pada sumber yang dapat dipercaya, seperti situs pemerintah atau media yang kredibel.
(Sumber berita: Komdigi.go.id)
Penulis: Aqilla Barki Firdaus (11220511000136), Mahasiswi semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah JakartaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H