Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanah Bertuah

25 Mei 2018   05:34 Diperbarui: 25 Mei 2018   05:48 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.lukisanindo.com/2011/07/lukisan-pisang.html

"Kalau sudah cocok, langsung hubungi saya."

"Ya, pak, saya rembukan dulu, dengan istri. Agar uangnya bisa dicairkan segera.!"

"Jadi totalnya 70 juta ya?"

"Ya, sesuai dengan ukuran dan harga kesepakatan kita."

Tanah dekat pesantren itu memang begitu menggiurkan. Luas. Dekat dengan jalan raya. Ditambah posisinya di dalam lingkungan pesantren, secara keamanan lebih terjamin. Lingkungan mendukung, harga sesuai. Akhirnya aku ceritakan pertemuan dengan Pak Samin, pemilik tanah itu, kepada istri.

"Menurut mama gimana? Apakah mama sudah cocok dengan tanah yang pernah kita lihat kemarin itu?"

"Kalau saya sih, sudah sangat cocok. Apalagi lingkungan itu adalah lingkungan pesantren. Meski pesantren baru, belum banyak santrinya. Saya yakin kedepannya, akan prospek. Harganya meroket. Apalagi PLN juga barusan masuk. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi Pa, lokasinya masih sepi. Masih seperti di alas, tidak ada siapa-siapa. Mungkinkah kita buat rumah di sana?"

"Emm.. menurutku. Uang 70 juga pemberian dari Bapakmu, saya rasa hanya cukup untuk beli tanah saja. Kan harga tanah memang pas segitu, sesuai dengan pemberian Bapak mertua. Sedangkan rencana untuk bangun rumah. Kita menabung dulu, bagaimana?"

"Okelah. Oya selama kita menunggu uang tabungan untuk bangun rumah, tanahnya kita apakan?"

"Bagaimana kalau kita manfaatkan?"

"Manfaatkan?"

"Ya,kita manfaatkan. Jangan sampai tanah yang begitu luas itu, menjadi mubazir. Kita bisa mulai bercocok tanam."

"Wah itu ide bagus. Saya suka cocok tanam, apalagi keluargaku semuanya adalah petani. Insya Allah saya siap."

"Tapi tanam apa ma? Lagi pula, papa kan ngajar, tidak bisa cocok tanam. Kita juga harus menyiram dan merawat tanaman itu setiap hari."

"Heem.. apa ya. Berarti tanamannya, jangan yang membutuhkan perawatan setiap hari."

"Contohnya?"

"Pisang, atau apalah," jawabku.

"Setuju banget, kalau tanam pisang. Kita juga bisa tanam mangga, tapi posisi pinggir saja, supaya nanti kalau bangun rumah, tidak usah nebang.  Karena tidak butuh perawatan setiap hari. Bagaimana setuju?"

"Sip," aku mengacungkan jempol isyarat setuju.

"Oya ma, saya kok lupa. Pisang kan butuh disiram juga. Darimana kita dapatkan air. Apakah kita harus minta saluran air dari pondok"

"Saya punya usulan. Kalau kita ambil dari pondok, berarti kita sewa selamanya. Bagaimana kalau kita ngebor sumur sendiri. Nanti juga toh, kita pakai untuk tempat tinggal. Sehingga besok tidak perlu ngebor lagi."

"Setuju banget."

Rencana itu sudah matang. Uang 70 juta dari Bapak mertua juga sudah cair. Tanah itu deal, kami beli. Kegiatan tanam-menanam kita mulai. Kita mulai tanam pisang, mangga, jeruk lemon, dan beberapa tanaman sayur-sayuran, seperti terong, waluh, cabe, tomat dan brokoli.

Itu cerita tiga tahun yang lalu. Kini kami sudah banyak panen pisang. Seluruh hasilnya tidak pernah kita jual. Kita bagikan ke tetangga, sanak saudara, bahkan kita kirim ke mertua. Semua orang menikmatinya. Tetangga tanah, pengurus pondok pun bahkan ikut menjaganya. Kini hanya tanah kami yang terlihat hjiau di musim kemarau. Sebab, kami siram terus karena kami punya sumber air sendiri. Semua orang mengaguminya. Karena buahnya tidak pernah berhenti.

"Kalau kau jual hasilnya. Kemungkinan tidak akan berkah seperti ini," kata Bapak memberi nasihat.

"Tanah itu bertuah, karena sedekah" batinku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun