"Saya punya usulan. Kalau kita ambil dari pondok, berarti kita sewa selamanya. Bagaimana kalau kita ngebor sumur sendiri. Nanti juga toh, kita pakai untuk tempat tinggal. Sehingga besok tidak perlu ngebor lagi."
"Setuju banget."
Rencana itu sudah matang. Uang 70 juta dari Bapak mertua juga sudah cair. Tanah itu deal, kami beli. Kegiatan tanam-menanam kita mulai. Kita mulai tanam pisang, mangga, jeruk lemon, dan beberapa tanaman sayur-sayuran, seperti terong, waluh, cabe, tomat dan brokoli.
Itu cerita tiga tahun yang lalu. Kini kami sudah banyak panen pisang. Seluruh hasilnya tidak pernah kita jual. Kita bagikan ke tetangga, sanak saudara, bahkan kita kirim ke mertua. Semua orang menikmatinya. Tetangga tanah, pengurus pondok pun bahkan ikut menjaganya. Kini hanya tanah kami yang terlihat hjiau di musim kemarau. Sebab, kami siram terus karena kami punya sumber air sendiri. Semua orang mengaguminya. Karena buahnya tidak pernah berhenti.
"Kalau kau jual hasilnya. Kemungkinan tidak akan berkah seperti ini," kata Bapak memberi nasihat.
"Tanah itu bertuah, karena sedekah" batinku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H