Satu jam berlalu. Pak Kades tak kunjung datang. Warga sedang menunggu kepastian, terkait tentang pembangunan jembatan desa. Alternatif itu, sudah lama diusulkan. Yang menurut kebanyakan warga, itu adalah solusi yang pas, untuk menghindari muter melewati sungai menuju jalan besar. Sampai ganti Kepala Desa yang ketiga kalinya, warga desa itu hanya bisa melihat solusi itu sebagai omong kosong.
Panas terik matahari mulai memanggang punggung mereka. Tutup teras pendopo tak cukup untuk menampung sebagian warga yang hadir. Beberapa Ibu yang membawa anak, membuat suasana  pertemuan itu, di iringi tangis anak kecil.Â
Pak Asikh, hanya mondar mandir cemas, sebab dia yang menjadi sebab semua orang kumpul. Itu semua adalah atas instruksi Pak Kades, mengundang warga, menyaksikan penjelasan kapan jembatan itu direalisasikan. Pak Kades ingin semua warga desa RT 02 RW 02, hadir menyaksikan.
"Pak ini gimana, kita sudah di sini sudah satu jam, tapi tak ada tanda-tanda Pak Kades muncul," seorang warga membuka percakapan dengan Pak Asikh.
"Tenang Pak, tenang! Saya juga sudah berusaha menghubungi Pak Kades. Tapi blm tersambung,"jawab Pak Asikh sambil pencet-pencet hapenya.
Di tempat yang sama, dipojok pendopo. Tukang Es Puter, menjajakan jajanannya. Kebanyakan yang nyerbu adalah anak kecil. Setengah jam berlalu kemudian, sampai tukang es puter itu pulang, Pak Kades masih belum juga datang.
Warga mulai gerah dan marah-marah. Ada yang usul, mau menyerbu langsung ke rumahnya Pak Kades. Ada yang tetap bersedia menunggu. Akhirnya Pak Asikh terpaksa mengambil keputusan
"Bapak-bapak dan Ibu-ibu, mari kita pulang dulu, biar saya dan Pak RT saja yang langsung bertandang ke rumah pak Kades.Â
Warga kecewa. Lalu pulang.
Dalam kondisi berbeda dan di tempat yang berbeda. Di rumah Pak Kades terjadi perdebatan, antara Pak Kades dan Bu Kades.
"Mengapa Bapak janjikan, sesuatu yang tidak bisa Bapak kerjakan?"
"Itu kan hanya kampanye politik Bu, untuk mendulang suara, kalau tidak, sekarang kamu tidak akan dipanggil Bu Kades."
"Iya sih Pak, tapi kalau sudah jadi begini bagaimana nasib kita? Warga akan rame-rame menuduh kita pembohong"
Pak Kades diam tidak menjawab pertanyaan istrinya. Tiba-tiba ada tamu yang datang. Rupanya Pak RT dan Pak Asikh.
Setelah mengucapkan salam dan berjabat tangan. Pak Kades mempersilahkan duduk. "Gimana Pak, apakah warga kemarin bisa dikondisikan? Masalahnya saya belum punya alasan yang tepat untuk menjelaskan jembatan itu tidak bisa direalisasikan. Bagaimana menurut Pak RT, apakah ada kata kata yang cocok, untuk meredam mereka?" tanya Pak Kades.
Pak Asikh dan Pak RT bingung, mereka saling memandang. Suasana menjadi beku. Kemudian mencair setelah beberapa lembar amplop disodorkan di depan mereka.
"Begini Pak, saya tidak bermaksud menyuap, tapi anggap saja ini hadiah dari saya. Hadiah kecil. Dan saya mohon Bapak menjelaskan mereka. Bapak tinggal cari kalimat yang pas, agar warga tidak bergejolak."
Mereka berdua tidak bisa menolak, lalu pulang dengan kondisi kebingungan.
Esoknya, Pak RT, mengumumkan kepada warga, bahwa jembatan tahun ini belum bisa di bangun karena bantuan dari pusat belum datang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H