"Tinggalkan saja, cari yang lain. Sekarang sudah tidak zamannya lagi hidup melarat. Ini Zaman now bro! Hidup harus dinikmati. Ini sudah jaman android. Tinggal pencet jadi."
"Sebenarnya saya sudah punya niatan untuk itu, tapi bagaimana dengan anakku?"
"Aaah. Masalah anak gampang. Berikan saja ke Panti Asuhan. Beres. Ente bisa tinggal kerja, uang jajan disiapkan. Ayo ikut guwe jadi TKI."
Tawaran untuk menjadi TKI ke luar negeri. Memang sudah berkali-kali. Tomo selalu menolaknya. Masak di negeri sendiri tidak dapat rizki. Ini kan negeri zamrut katulistiwa. Ijo royo-royo. Makmur. gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Tapi lama-lama dia mulai berpikir. Entah setan apa yang merasukinya. Pikirannya liar. Imajinasinya terbang.
Dalam rumah tangga ini, seharusnya saya yang menjadi kepalanya. Kenapa malah istriku. Apakah semuanya kalau sudah diukur dengan uang, semuanya bisa terbalik. Mulai dari keputusan-keputusan rumah tangga, sekarang istriku lebih berani. Dan lebih merasa unggul di depanku. Unggul dalam segala hal. Tentunya unggul karena punya duit. Asem.!
Kepala Tomo, mulai nyut-nyutan. Seharian penuh dia berpikir, sambil menunggu istrinya pulang. Daripada seperti ini terus. Saya harus bisa berubah. Aku kan laki-laki. Setidaknya punya harga diri dan wibawa di depan perempuan. Nasib ada ditangaku sendiri. Pokoknya tahun depan harus berubah. Tahun depan ganti istri. Titik.
"Tapi siapa penggantinya? Siapa yang mau menjadi istri dari seorang pengangguran ini," pikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H