Tangannya cekatan, membolak-bolik ikan di penggorengan. Langkahnya gesit. Tidak bisa berhenti. Sebentar menyalakan Rice Cooker. Langsung mengambil sapu lantai. Membersihkan isi ruangan rumah. Lanjut ngepel. Setelah semua ini selesai, tugas selanjutnya adalah mencuci baju.
Mumpung anak masih tidur. Tugas ini harus selesai. Buburnya juga belum disiapkan. Mulai dari shubuh, menyiapkan sarapan, sampai anak tidur lagi. Selalu dia kerjakan aktivitas rutin tersebut.
"Pa, sebentar lagi, mama berangkat, tolong motornya disiapkan," pinta istrinya.
"Nanti kalau sudah siap buburnya, jangan lupa kompornya dimatikan. Colokan-colokan listrik yang sudah tidak dipakai lagi, dicabut. Mama hari ini, pulang telat. Karena ada kegiatan supervisi kantor. Jaga anak baik-baik ya," tambah istrinya meninggalkan rumah.
Dunia ini semakin tidak adil. Nasib Pak Tomo, tak kunjung berubah. Untuk bertahan hidup, ia hanya mengadalkan dari pekerjaan istrinya. Sebenarnya sebagai seorang lelaki, aib baginya untuk meminta. Usaha ke sana kemari tak membuahkan hasil. Ternyata lulusan sarjana tak menjamin masa depan cerah. Kini, rizqi tetap seret.
Dia membandingkan dengan apa yang diperoleh istrinya. Tidak usah sekolah. Tak punya ijazah. Bermodal ayu. Sudah mendapatkan pekerjaan mapan. Dekat dengan bos lagi.
"Berapa lama kamu sudah seperti ini bro?" tanya temannya.
"Sudah hampir lima tahun."
"Wah hebat benar, ente memang juara. Saya akui hebat."
"Juara?, juara apaan?"
"Juara bertahan," tertawa cekikikan. Tertawa nyengir mencibir.
"Tinggalkan saja, cari yang lain. Sekarang sudah tidak zamannya lagi hidup melarat. Ini Zaman now bro! Hidup harus dinikmati. Ini sudah jaman android. Tinggal pencet jadi."
"Sebenarnya saya sudah punya niatan untuk itu, tapi bagaimana dengan anakku?"
"Aaah. Masalah anak gampang. Berikan saja ke Panti Asuhan. Beres. Ente bisa tinggal kerja, uang jajan disiapkan. Ayo ikut guwe jadi TKI."
Tawaran untuk menjadi TKI ke luar negeri. Memang sudah berkali-kali. Tomo selalu menolaknya. Masak di negeri sendiri tidak dapat rizki. Ini kan negeri zamrut katulistiwa. Ijo royo-royo. Makmur. gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Tapi lama-lama dia mulai berpikir. Entah setan apa yang merasukinya. Pikirannya liar. Imajinasinya terbang.
Dalam rumah tangga ini, seharusnya saya yang menjadi kepalanya. Kenapa malah istriku. Apakah semuanya kalau sudah diukur dengan uang, semuanya bisa terbalik. Mulai dari keputusan-keputusan rumah tangga, sekarang istriku lebih berani. Dan lebih merasa unggul di depanku. Unggul dalam segala hal. Tentunya unggul karena punya duit. Asem.!
Kepala Tomo, mulai nyut-nyutan. Seharian penuh dia berpikir, sambil menunggu istrinya pulang. Daripada seperti ini terus. Saya harus bisa berubah. Aku kan laki-laki. Setidaknya punya harga diri dan wibawa di depan perempuan. Nasib ada ditangaku sendiri. Pokoknya tahun depan harus berubah. Tahun depan ganti istri. Titik.
"Tapi siapa penggantinya? Siapa yang mau menjadi istri dari seorang pengangguran ini," pikirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H