Jika mereka fokus dari satu topik kajian saja, maka mereka mengabaikan hukum-hukum Islam lainnya. Padahal saat seseorang telah baligh, maka ia menjadi mukallaf, yakni ia ditaklif (dibebankan) semua hukum Islam dipundaknya tanpa terkecuali. Ia harus paham sabar, seperti ia juga harus paham bahwa riba haram. Ia harus paham tidak dengki, seperti ia harus paham bahwa menutup aurat wajib. Ia harus paham bersikap jujur, seperti ia harus paham bahwa menerima korupsi/komisi adalah haram. Ia harus paham senyum adalah shadaqah, seperti ia harus paham bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bernegara, dst-nya.
Mengaburkan pemamahan umat tentang nilai ruhiyah dari akhlaq
Terlalu sering kita mendengar ceramah tentang akhlaq dengan kata-kata: "Jika seorang pedagang bersikap jujur, ramah, senyum maka ia memperoleh keuntungan yang besar. Karena pembeli menjadi loyal dan akan kembali lagi membeli kepadanya" atau "Jika seorang dokter murah senyum dan ramah, maka dokter akan beruntung. Karena mempunyai banyak pasien, dan para pasien akan menceritakan lagi kepada pasien lainnya".
Penjelasan seperti diatas tidak salah, tetapi mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah sebuah amal perbuatan. Seseorang yang berbuat karena mencari ridha Allah atau ikhlas karena Allah, ia bersikap jujur karena Allah memerintahkan, ia tidak berbohong karena Allah melarangnya, ia murah senyum karena sunnah Rasul karena senyum itu shadaqah, maka disinilah letak nilai ruhiyahnya dan ia memperoleh pahala karenanya. Tetapi jika ia berakhlaq baik, agar pasiennya lebih banyak, pembeli lebih banyak, memperoleh pujian orang, dst-nya, maka ia hanya memperoleh nilai materi (keuntungan duniawi) semata, ia tidak memperoleh pahala dari Allah.
Khatimah
Keterpurukan umat saat ini bukan disebabkan oleh akhlaq semata, tetapi akibat terlalu jauhnya umat dari pemikiran-pemikiran Islam. Dalam mu'amalah, aqidah, akhlaq, ibadah, math'umat, malbusat dan 'uqubat tidak lagi mengunakan standar (miqyas) Islam. Berekonomi menghalalkan riba, berpolitik machievalis, berpakaian telanjang, berideologikan demokrasi/kapitalis, berakhlaq jahiliyah, berhukum peninggalan Belanda, dan lain-lain. Sehingga sulit bagi kita membedakan seseorang, apakah Islam atau kafir, ucapan dan perilakunya sama saja dengan orang-orang kafir. Padahal Islam adalah agama yang khas dan akan memancar pada pribadi seorang muslim/muslimah.
Kebangkitan umat (an-nahdah) tidak ditentukan oleh akhlaq, tetapi tergantung pada sejauh mana pemikiran-pemikiran umat tentang Islam (qiyadah fikriyah). Jika umat dalam setiap gerak langkahnya selalu mengacu kepada qiyadah fikriyah yang dipunyainya, yakni Islam, maka umat ini akan bangkit. Saat ia akan berumah tangga, ia pahami bagaimana Islam mengatur sebuah keluarga sakinah (ijtima'i), misal: kewajiban sebagai suami dan istri. Saat ia melakukan transaksi perdagangan, ia pahami bagaimana Islam mengatur transaksi perdagangan (iqtishadi), misal: haramnya riba. Saat ia menjadi karyawan, ia pahami bagaimana Islam mengatur perjanjian kerja (aqad ijarah), misal: haramnya korupsi, komisi, hadiah, dan lain-lain. Dalam semua hal, umat dalam setiap gerak langkah kehidupannya selalu mengacu kepada aturan mulia dari Allah swt, maka saat itulah kebangkitan umat yang sebenarnya telah terjadi. Dengan kondisi itu, tentu ia ingin Islam diterapkan dalam seluruh sisi kehidupannya, tanpa terkecuali. Baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara.
Karena sebuah masyarakat Islam, bukan ditentukan oleh penduduknya yang mayoritas Islam, bukan karena dinamakan republik/kerajaan/negara Islam, bukan karena diterapkan sebagian hukum Islam dalam hal waris, nikah/rujuk/talak. Tetapi, sebuah masyarakat dapat dikatakan Islam, disaat PEMIKIRAN, PERASAAN dan ATURAN yang berlaku adalah Islam. Jika masyarakat telah mempunyai tolok ukur Islam (pemikiran), tetapi saat ada sekelompok orang berjudi dan mabuk-mabukkan ia masih ridha (perasaan), maka ini bukan masyarakat Islam. Jika ia tidak ridha terhadap perjudian dan mabuk-mabukkan (perasaan) dan tolok ukur ukurnya hanya Islam (pemikiran), tetapi hukum yang berlaku tidak Islam, maka ini juga bukan masyarakat Islam.
Seseorang bersikap jujur, sabar, tidak berbohong, murah senyum, menolong tetangga, dan lain-lain, karena Allah memerintahkannya dan dicontohkan oleh rasul-Nya. Begitulah pemahaman yang harus diberikan kepada umat. Bukan akhlaq yang bersifat universal dan bernilai materi, karena bisa jadi orang-orang kafir juga mempunyai akhlaq yang baik, mereka jujur, senyum, tidak bohong, tetapi karena landasan aqidahnya telah rusak maka ia tidak bisa dikatakan sebagai individu yang shalih. Apakah kita mau dikatakan: "Dia itu akhlaqnya baik, tetapi tidak shalih"
Wallahua'lam
Maraji':
1. Tafsir Ibnu Katsir
2. Poitik partai, meretas jalan baru perjuangan partai politik Islam - Muhammad Hawari
3. 37 soal jawab tentang ekonomi, politik dan dakwah Islam - Abu Fuad