Aku terdiam. Selama ini, aku selalu merasa bahwa Rudi yang tidak adil. Tapi sekarang, mendengarnya mengatakan hal yang sama membuatku berpikir ulang. Mungkin, kami berdua sama-sama tidak adil. Kami sibuk memperjuangkan kepentingan masing-masing tanpa benar-benar memikirkan satu sama lain.
“Aku nggak mau kita begini terus,” kataku akhirnya, seraya menundukkan kepala.
Rudi mengangguk pelan. “Aku juga nggak mau. Aku capek berantem terus sama kamu.”
Keheningan menyelimuti kami lagi, kali ini terasa lebih ringan. Akhirnya, aku mengulurkan HP itu ke arahnya.
“Kamu duluan deh. Aku bisa nunggu,” kataku dengan berat hati, tapi juga dengan perasaan lega. Mungkin, inilah saatnya aku belajar mengalah.
Rudi tampak terkejut mendengar tawaranku. Matanya membelalak, seolah tak percaya aku benar-benar menawarkan HP kepadanya tanpa perlawanan.
Namun, aku bisa melihat ada kebingungan dalam tatapannya, seperti ia merasa aneh dengan kebaikan yang tiba-tiba muncul dari diriku.
“Kamu serius?” tanyanya, suaranya agak ragu.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum meskipun rasanya sedikit canggung. “Iya, aku serius.”
Dia meraih HP dari tanganku dengan gerakan hati-hati, seolah takut kalau aku berubah pikiran dan tiba-tiba menariknya kembali. Tapi aku tetap diam, membiarkannya memegang HP itu. Ada perasaan hangat yang mulai merayap dalam diriku, sebuah perasaan lega karena akhirnya aku bisa mengalah tanpa merasa kalah.
Rudi menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Makasih Ra,” ucapnya dengan tulus. Itu pertama kalinya dalam beberapa waktu aku mendengar suara lembut darinya, tanpa nada marah atau kesal.