Ridwan Kamil, sebagaimana diketahui adalah tokoh politik yang sedang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat masa bakti 2018-2023. Namun demikian jika dilihat dari konteks politik, khususnya dimensi elektoral, Ridwan Kamil adalah salahsatu kandidat Presiden Republik Indonesia (RI) 2024 potensial. Adapun agar tidak kehilangan konteks, ada baiknya tulisan ini dibaca terlebih dulu. Juga tulisan ini.
Faktanya, nama Ridwan Kamil hampir selalu berkibar di 5 (lima) besar survei nasional Capres 2024. Terbaru, merujuk pada hasil temuan yang disampaikan oleh Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia pada Minggu, 5 Desember 2021, elektabilitas Ridwan Kamil dalam simulasi 10 kandidat mencapai 6,2% dan oleh karenanya berada di peringkat ke-4 di bawah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Adapun sumbernya bisa dirujuk ke sini.
Dampaknya, Ridwan Kamil jadi berkepentingan untuk melakukan kalkulasi-kalkulasi tertentu untuk menghadapi situasi politik teraktual. Di satu sisi, elektabilitas yang diperoleh perlu sebaik-baiknya dimaksimakan karena tidak ada jaminan bahwa persentasenya akan stabil setinggi hari ini di kemudian hari (yang berarti potensi menjadi Presiden bisa lepas begitu saja). Tetapi di sisi lain, Ridwan Kamil juga tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi politik karena masih/akan berhadapan dengan situasi-situasi yang bukan hanya rumit, melainkan juga dilematis.
Tulisan ini lantas berupaya untuk mengulas situasi-situasi dilematis tersebut, baik yang sedang maupun akan dihadapi Ridwan Kamil jika benar-benar terpilih menjadi Capres, atau bahkan Presiden RI 2024.
Situasi Politik Ridwan Kamil
Pertama, dari sisi regulasi, khususnya mengenai aturan pencapresan terbaru. Draft terbaru RUU Pemilu, sebagaimana diketahui, mulai didisain agar Capres dan Cawapres (dan pejabat politik lainnya sampai tingkat tertentu) hanya bisa diakses oleh anggota partai politik peserta Pemilu. Situasi yang dialami oleh KH Ma'ruf Amin, yang terpilih menjadi Wakil Presiden pada 2019 tanpa menjadi anggota parpol, dengan demikian berpotensi tidak terjadi kembali.
Akibatnya, dengan asumsi bahwa RUU Pemilu tersebut akhirnya benar-benar digunakan untuk menjadi rujukan hukum bagi penyelenggaraan Pilpres, tidak ada jalan lain bagi Ridwan Kamil untuk bisa maju Capres selain menjadi anggota parpol terlebih dulu.
Masalahnya, hampir semua parpol yang memiliki kursi di parlemen telah memiliki Capresnya masing-masing. Tentu, para parpol tersebut akan terlebih dulu mengajukan kadernya. Ridwan Kamil, dengan demikian jadi menghadapi situasi sulit pertamanya : mencari parpol yang bersedia mengusungnya, meski sebenarnya, para parpol tersebut sudah memiliki Capresnya sendiri.
Kedua, dari tingkat Pemilunya. Situasi selanjutnya adalah munculnya 2 (dua) pilihan bagi Ridwan Kamil untuk berkontestasi; mencalonkan diri menjadi Capres pada 2024 atau mencalonkan diri kembali pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar 2023. Adapun di kedua tingkat tersebut, Ridwan Kamil sebenarnya sama-sama memperoleh elektabilitas yang baik. Bedanya, di tingkat PilGub, elektabilitas Ridwan Kamil konsisten berada di 3 (tiga) besar dan bahkan hampir selalu menjadi nomor satu. Sementara di tingkat nasional, elektabilitasnya masih berkisar di 5 (lima) besar.
Padahal, Pilpres di Indonesia masih (berpotensi) diselenggarakan di atas trasehold yang tinggi, yaitu 20-25 persen (jika aturan belum diubah) yang akan berdampak pada eliminasi terhadap begitu banyak kandidat. Jumlah paslon, dengan demikian, jadi harus dipertimbangkan secara seksama oleh kandidat dan tim sukses di belakangnya. Berarti, berada di peringkat 4 atau 5 dalam survei nasional justru menunjukkan bahwa posisi Ridwan Kamil sebagai (bakal) Capres belum benar-benar aman.