Pendek kata, pilihan untuk berkontestasi di 2 (dua) tingkat pemilu tersebut mendorong Ridwan Kamil untuk betul-betul mempertimbangkan untung-ruginya terlebih dulu. Di Jabar dulu (lagi) saja, dengan elektabilitas yang stabil di 3 besar sehingga potensi menangnya besar, atau agak nekat maju Capres padahal survei selama ini belum benar-benar melegakan.Â
Ketiga, dari sistem plutokrasinya. Dalam sesi Fisipol Leadership Forum yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM pada Kamis, 2 Desember 2021, Ridwan Kamil yang menjadi narasumber lantas secara jujur mengatakan bahwa ia belum memiliki cukup logistik untuk maju Pilpres dan baru bergantung pada elektabilitas.
Padahal, dalam pemilu di tingkat nasional, apalagi Pilpres, logistik tersebut merupakan "hal yang harus ada" sebagai konsekuensi dari masih plutokrat nya sistem politik elektoral kita. Plutokrat sendiri merupakan predikat bagi sistem politik yang hanya bisa diakses oleh orang-orang bermodal. Oleh karenanya, pernyataan bahwa Ridwan Kamil tidak memiliki cukup logistik untuk maju Pilpres justru bisa dimaknai sebagai "undangan" oleh para pemodal untuk "bergabung".
Di sinilah dilema tersebut muncul: siapkah Ridwan Kamil menjadi Presiden yang tetap memperjuangkan kepentingan rakyat, meski, kemungkinan besar, kampanyenya jadi dibiayai oleh aktor ekonomi yang bekerja di balik layar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H