Politik dan pemerintahan adalah 2 (dua) kelompok ilmu yang, dalam beberapa situasi, sering dibicarakan dalam 1 bingkai. Dalam konteks formal, 1 (satu) bingkai nya politik dan pemerintahan tersebut misalnya bisa dilihat dari profil negara yang konon merupakan hasil dari interseksi antara negosiasi (politik) dan seperangkat aturan (pemerintahan).Â
Sementara dalam konteks informal, politik dan pemerintahan misalnya bisa dilihat dari proses decision making yang pasti memuat kepentingan pemilik kuasa (politik) dan panduan pengesahan kebijakan (pemerintahan).
Tentu, masih ada contoh-contoh lainnya. Namun demikian, rasanya, 2 (dua) contoh di atas sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa politik dan pemerintahan memang terkait dan terikat dengan demikian erat dan kuatnya. Sampai-sampai, ada dari sebagian khalayak yang menyebut bahwa keduanya memang tidak bisa dipisahkan.
Namun demikian, di sisi lain, harus diakui pula bahwa politik dan pemerintahan tetap memproduksi berbagai perbedaan. Tetapi tulisan pendek ini lantas ingin fokus hanya pada perbedaan politik dan pemerintahan yang dikaitkan dengan objek-objek operasional. Termasuk di dalamnya adalah mengenai perbedaan dari politik dan pemerintahan dalam memandang jam kerja.
Politik
Politik, sebagaimana diketahui, akan selalu mendokumentasikan tingkah laku aktor dalam mengakses kekuasaan. Mulai dari persiapan-persiapannya, cara meraihnya, metode-metode mempertahankannya, hingga strategi-strategi untuk mengembangkannya. Tujuan politik, dengan demikian jadi jelas. Yaitu melakukan analisis atas semua upaya aktor untuk menuju kekuasaan tersebut.
Dampaknya, muncul 2 (dua) aktor yang saling berhadap-hadapan. Yaitu aktor yang memiliki kuasa, sehingga mampu menguasai, di satu sisi. Dan aktor yang tidak memiliki kuasa, sehingga harus bersedia dikuasai, di sisi lainnya.Â
Belakangan, aktor yang menguasai tersebut lantas dipanggil sebagai negara. Sementara aktor yang dikuasai dikenal dengan sebutan masyarakat. Elaborasi mengenai bagian ini telah dilakukan pada tulisan sebelumnya di sini.
Politik, dengan demikian, merupakan eksekusi ide. Atau praktik pemikiran. Atau apapun istilahnya yang lantas menjadi induk dari seluruh upaya yang bisa dilakukan untuk membaca tingkah laku kekuasaan yang tidak terbatas. Khususnya mengenai relasi antara negara sebagai pemilik kuasa dan masyarakat sebagai yang dikuasai.
Berarti, jam kerja adalah objek yang tidak terlalu relevan bagi politik. Jam kerja, yang terasosiasi dengan upaya-upaya membatasi, jadi bertolak belakang dengan politik, yang justru tidak terbatas.Â
Secara praktikal misalnya, sulit untuk membayangkan bahwa aktivitas-aktivitas politik harus diatur agar diselenggarakan hanya di jam-jam operasional tertentu.
Sementara pemerintahan, secara sederhana bisa dimaknai sebagai tata kelola atas penyelenggaraan urusan-urusan publik yang lantas dominan direpresentasikan oleh birokrasi.Â
Akibatnya, politik --sebagai sebuah ide- tidak lagi dipandang dalam rupanya yang abstrak. Sebaliknya, ia telah dioperasionalkan sedemikian rupa ke dalam petunjuk-petunjuk teknis dengan demikian rincinya.
Birokrasi memecah urusan-urusan publik sesuai dengan sektornya masing-masing sampai menghasilkan, misalnya Dinas-Dinas, Badan-Badan atau Biro-Biro yang berkewajiban untuk mengelola sektor-sektor tertentu. Peran pegawai pemerintah, dengan demikian, jadi sangat krusial.
Secara praktikal, urusan-urusan masyarakat yang perlu diatur oleh birokrasi tersebut lantas dipilah-pilah ke dalam spesialisasi-spesialisasi tertentu.Dampaknya, muncul disiplin atas jam kerja. Mengikuti aturan keumuman pegawai pemerintahan pada umumnya, jam kerja birokrasi biasanya teratur dari pagi hingga siang/sore. Juga dari Senin sampai Jumat/Sabtu. Tentu, terdapat pula jadwal-jadwal lain sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Tetapi secara umum seperti itu.
Sehingga tujuan pemerintahan, dengan demikian, ikut menjadi jelas. Salahsatunya adalah untuk menunaikan hak dan kewajiban dari masing-masing aktor. Khususnya untuk membuat negara bekerja, lalu membuat masyarakat sejahtera.
(Di Luar) Jam Kerja
Urusan-urusan politik, dengan demikian, secara netral tidak bisa begitu saja disamakan dengan urusan-urusan pemerintahan. Urusan politik lebih lekat dengan karakter-karakter cair, fleksibel, abstrak dan dinamis. Sementara urusan pemerintahan lebih condong pada karakter-karakter yang kaku, pasti, prosedural dan statis.
Apalagi jika dikaitkan dengan jam kerja yang lantas membuat perbedaannya jadi semakin tampak. Politik, sebagai induk dari urusan-urusan dinamis, tentu tidak bisa hanya ditunaikan di hari dan jam kerja yang terbatas. Sebaliknya, pemerintahan, sebagai induk dari urusan-urusan prosedural, justru perlu ditunaikan di hari dan jam kerja yang jelas agar tidak membingungkan masyarakat.
Akhirnya, kategorisasinya jadi bisa dituntaskan. Bahwa bagi pegawai pemerintahan, jam kerja memang perlu menjadi acuan. Tetapi bagi "orang-orang politik", bekerja di luar "jam kerja" justru dibutuhkan. Ringkas kata, alih-alih bergerak di dalam prosedur, dunia politik justru menunggu notif di luar jam kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H