Mohon tunggu...
Apriliyantino
Apriliyantino Mohon Tunggu... Editor - Filsuf Kampung

Life is a choice, so choose your best!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Rindu, Zain dan Masa Lalu

4 Juli 2022   13:01 Diperbarui: 4 Juli 2022   13:06 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Apriliyantino

Zain belum sepenuhnya percaya pada kenyataan yang sedang dihadapinya. Jauh-jauh dia ke Palembang hanya untuk memenuhi janji masa lalu. Bertemu Rindu di tempat biasa, seperti sepuluh tahun lalu. Ia pun tak benar-benar mengerti betapa kekuatan rasa mendorong dan memberinya energi sehingga niat menjelma gerak dan tindakan. Pertemuan pun terjadi.

Kini tepat di hadapannya, seorang wanita yang sangat dikenalnya, melambaikan tangan padanya. Masih dengan postur tinggi semampai yang sama, ia terpana. Ada getar yang tiba-tiba saja mendera hatinya. Sesuatu yang sepuluh tahun lalu berakhir sendu. Sesuatu yang ia sempat kubur sebagai debu.

"Apa kabar?" Zain mencoba memulai kata sebelum Rindu membuka suara. Dalam sekejap, mereka berdua bersitatap. Mencoba menemukan sisa-sisa masa lalu yang nyatanya tak banyak berubah. Sepuluh tahun terpisah jarak dan terjeda waktu sejak pertemuan terakhir di gedung perpustakaan kampus sore itu.

"Alhamdulillah, baik. Mas sendiri?" jawab Rindu sambil menunjuk ke arah bench kosong di di depan kompleks ruko di seputaran International Plaza (IP) Pelambang. Zain mengikutinya. Jelas di depannya, sosok yang selama sepuluh tahun ini tak pernah ia temui. Ia tetap dengan langkah gemulai yang khas. Sekilas saja, Zain bisa menilai jika Rindu tetap merawat tubuhnya dengan baik. Meskipun ia tahu jika wanita di dekatnya itu kini telah memiliki tiga orang anak.

Angin kering menerpa keduanya. Udara panas Kota Palembang seolah mendidihkan rasa di dalam dada mereka. Sesekali kedua saling pandang, lalu tersenyum ke arah lain. Ada sipu yang tak hendak mereka perlihatkan satu sama lain. Keduanya masih tak benar-benar percaya bahwa saling sapa di dunia maya membawa mereka pada nostalgia dan akhirnya mempertemukan mereka lagi.

"Yuk kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol. Kita makan martabak HAR, mau?" Rindu memecah suasana canggung yang meliputi keduanya. Di seberang jalan, sebuah gerai martabak telor, tempat yang tidak asing lagi bagi keduanya. Dulu, sewaktu mereka masih sama-sama dibangku kuliah, beberapa kali pernah makan martabak telor di tempat itu. Mereka akhirnya sepakat untuk ke lantai dua. Dari balik kaca jendela, keriuhan kota bisa dipantau di bawah sana.

"Kupikir dirimu akan berubah. Nyatanya, kau masih seperti dulu. Kenapa begitu?" Rindu mendesakkan tanya yang lumayan sulit untuk dijawab seketika. Zain menyeruput es teh yang mereka pesan. Sementara martabak HAR masih dalam proses penggorengan.

"Iyakah? Apa kau lupa kaidah lama, tentang manusia yang terus berubah? Man changed by the time, huh?" Zain buru-buru mencari kalimat sebagai tameng atas pertanyaan filosofis itu. Rindu mengulum senyum. Ia tampak menikmati percakapan itu. Sama seperti dulu ketika masih kuliah di Inderalaya. Momen ketika semesta memberi mereka berdua banyak kesempatan untuk bertemu.

"Aku percaya itu. Namun di mataku, tak banyak yang berubah pada dirimu," Rindu tetap pada sudut pandangnya sendiri. Zain tak berubah. Mereka berdua tertawa. Beberapa pasang mata para penjaga kedai mengarah kepada mereka. Suasana yang sepi sebab masih masa pandemi COVID-19, membuat sepelan apapun percakapan dilakukan, sejelas itu pula suaranya merambati udara dan mendarat ke berbagai telinga. Mereka berdua sukses mencuri perhatian.

Keduanya kembali bersitatap. Tetapi Zain, seperti dulu, tak berani berlama-lama. Sekejap saja ia sudah berpaling ke objek berbeda. Sementara itu, Rindu masih saja mengamati setiap detail dari lelaki itu.

"Di dekatmu, selalu saja membuatku grogi. Sama seperti dulu," Zain mengakui perasaannya sendiri. Ia memang tak biasa menutupi perasaannya. Rindu tersenyum simpul. Suasana terjeda hening beberapa saat ketika pramusaji kedai martabak datang membawa nampan dengan dua porsi martabak telor yang mereka pesan.

"Akhirnya datang juga. Ayo kita makan. Ini kesukaanmu, kan?" Rindu memulai kembali percakapan di antara mereka.

"Apa yang kau suka, tentu akupun suka. Masih seperti dulu, tenang saja." Keduanya kemudian larut dalam kesibukan menghadapi martabak menjelang zuhur itu. Beberapa gigitan, mereka berhenti dan saling pandang lagi.

"Rasanya agak aneh," Rindu menilai martabak yang dimakannya. Beberapa potongan martabak ia orak-arik.

"Tidak boleh mencela makanan, pamali!" Zain mencoba merespons dengan bijak apa yang dinyatakan oleh Rindu. Kemudian ia mencoba merasa-rasakan dengan lebih cermat layaknya juri master chef. Ia mengeryitkan kening. Sesuatu yang tak biasa memang terasa di lidahnya yang lumayan sensitif.

"Begitulah sesuatu seharusnya dirasakan. Penuh perhatian dan kecermatan agar tidak ada yang terlewatkan," Rindu berfilosofi. Zain menunggu. Ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan oleh Rindu.

"Maksudnya?" Zain mengeryitkan kening. Sambil mencoba mencerna apa makna di balik kalimat yang disampaikan Rindu itu.

"Seperti kita berdua. Begitulah juga seharusnya dulu kita menjalani hubungan ini. Nyatanya, kita berdua melewatkannya begitu saja. Kita telah abai pada hal besar yang kita inginkan bersama.

"Terus, kita mau menyalahkan siapa? Kau menyalahkanku? Atau aku harus menyalahkanmu?" Zain mencoba menyampaikan pembelaan.

Sebentuk hening memenuhi ruangan itu. Zain meletakkan garpu. Rindu menatap ke luar jendela.

"Baiklah. Kita mulai berpikir jernih tentang semua ini. Masing-masing kita telah dewasa, kan? Inilah saatnya untuk menyelesaikan apa yang seharusnya selesai sejak dulu. Tentang kau dan aku." Zain memberondong Rindu dengan kalimat yang sebenarnya tak ingin ia dengar.

"Hanya untuk ini kita kembali bertemu di tempat ini?" Rindu mulai larut dalam pusaran aneh yang tak dipahaminya.

"Untuk kebaikan kita bersama." Zain menatap wanita di sampingnya dengan tatapan serius yang belum pernah dia tampakkan sebelumnya kepadanya.

"Kebaikan apa yang kau kehendaki, Mas?" Rindu mencari-cari secarik jawaban di sudut mata lawan bicaranya. Ada sendu yang mulai mendung di mata Zain. Sesuatu yang ia pahami sebagai sebuah ketidakrelaan sekaligus kepasrahan. Lelaki itu dinilai telah menyerah. Kalah.

"Jauh-jauh aku dari Medan untuk mendengar sesuatu yang lebih dramatis dari semua ini Mas. Kau mulai ragu tampaknya. Baiklah." Rindu meraih tisu di depannya.

"Aku minta maaf. Semua ini tidak bisa kita teruskan lagi. Maafkan aku," Zain menghentikan kalimatnya. Sesuatu yang tak sanggup dia nyatakan, akhirnya terlontar juga.

"Begitu? Setelah apa yang kita lakukan selama ini?" Rindu mulai berkaca-kaca. Ia menggeleng pelan. Pertahanannya mulai goyah. Pendar harapan seketika memudar.

"Kita harus tetap menjaga kewarasan. Kita berdua telah sama-sama memiliki keluarga. Seharusnya kita setia." Zain mencoba mengeluarkan bisikan kalbunya yang selama ini ia pungkiri.

"Baiklah. Terima kasih, Mas. Terima kasih untuk semuanya. Mulai detik ini, anggap saja kita tidak pernah bertemu dan jangan sekalipun dirimu menghubungiku. Lupakan aku!"

"Seharusnya sejak dulu. Sebelum masa lalu bertaut erat dengan masa kini dan masa depan. Tetapi kita harus percaya bahwa berdamai dengan masa lalu adalah sebuah kebijaksanaan. Selamanya, kisahku dan kisahmu hanya sisa-sisa debu masa lalu."

Tanpa sepatah kata, Rindu meninggalkan tempat itu. Tinggallah Zain termangu, memungguti sisa-sisa kenangan yang kemudian ia pendam di dasar hati terdalam. Keduanya telah bertemu untuk menyelesaikan masa lalu. Membakar angan sehingga tinggal menyisakan debu. Debu-debu masa lalu.

Lubuk Seberuk, 10 April 2022
Pukul 21.30 WIB - 22.25 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun