"Di dekatmu, selalu saja membuatku grogi. Sama seperti dulu," Zain mengakui perasaannya sendiri. Ia memang tak biasa menutupi perasaannya. Rindu tersenyum simpul. Suasana terjeda hening beberapa saat ketika pramusaji kedai martabak datang membawa nampan dengan dua porsi martabak telor yang mereka pesan.
"Akhirnya datang juga. Ayo kita makan. Ini kesukaanmu, kan?" Rindu memulai kembali percakapan di antara mereka.
"Apa yang kau suka, tentu akupun suka. Masih seperti dulu, tenang saja." Keduanya kemudian larut dalam kesibukan menghadapi martabak menjelang zuhur itu. Beberapa gigitan, mereka berhenti dan saling pandang lagi.
"Rasanya agak aneh," Rindu menilai martabak yang dimakannya. Beberapa potongan martabak ia orak-arik.
"Tidak boleh mencela makanan, pamali!" Zain mencoba merespons dengan bijak apa yang dinyatakan oleh Rindu. Kemudian ia mencoba merasa-rasakan dengan lebih cermat layaknya juri master chef. Ia mengeryitkan kening. Sesuatu yang tak biasa memang terasa di lidahnya yang lumayan sensitif.
"Begitulah sesuatu seharusnya dirasakan. Penuh perhatian dan kecermatan agar tidak ada yang terlewatkan," Rindu berfilosofi. Zain menunggu. Ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan oleh Rindu.
"Maksudnya?" Zain mengeryitkan kening. Sambil mencoba mencerna apa makna di balik kalimat yang disampaikan Rindu itu.
"Seperti kita berdua. Begitulah juga seharusnya dulu kita menjalani hubungan ini. Nyatanya, kita berdua melewatkannya begitu saja. Kita telah abai pada hal besar yang kita inginkan bersama.
"Terus, kita mau menyalahkan siapa? Kau menyalahkanku? Atau aku harus menyalahkanmu?" Zain mencoba menyampaikan pembelaan.
Sebentuk hening memenuhi ruangan itu. Zain meletakkan garpu. Rindu menatap ke luar jendela.
"Baiklah. Kita mulai berpikir jernih tentang semua ini. Masing-masing kita telah dewasa, kan? Inilah saatnya untuk menyelesaikan apa yang seharusnya selesai sejak dulu. Tentang kau dan aku." Zain memberondong Rindu dengan kalimat yang sebenarnya tak ingin ia dengar.