Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) sudah mulai berjalan sejak Senin (6/1) lalu. Namun, belum semua sekolah di daerah melaksanakan PMBG ini. Contohnya di Blitar, baik kota maupun kabupaten belum ada realisasinya.
Meskipun demikian, di grup Facebook warga setempat, sudah mulai ramai perbincangan tentang PMBG. Sebuah postingan seorang warga net tentang video seorang anak yang sedang dimintai pendapat mengenai makanan yang diberikan di sekolah mengundang komentar pro dan kontra terhadap kebijakan.
Banyak ditemui komentar warga net yang 'menasihati' untuk bersyukur dengan makanan yang diterimanya. Ada juga yang membanding-bandingkan zaman ia kecil dulu yang hanya makan dengan nasi dan lauk seadanya. Bahkan ada yang sampai mencela sang anak dengan kata kasar.
Meski sedikit, masih ada warga net yang menanggapi keluhan anak di video dengan nada positif, seperti memahami bahwa zaman sudah berubah, tidak semua anak memiliki selera yang sama, dan bukan berarti anak yang tidak suka masakan PMBG ialah anak yang tidak memiliki rasa syukur.
Bahkan ada pertanyaan yang muncul, mengapa menu di setiap sekolah berbeda? Hal ini menarik untuk dibahas lebih lanjut.
Sebenarnya, program makan bergizi gratis untuk siswa sekolah merupakan hal yang umum di beberapa Negara.
Contohnya saja di Korea Selatan. Di Korsel, program ini sudah berjalan sejak 1953 dan masih bertahan hingga sekarang.
Lantas apakah Korsel hanya berfokus pada makanan bergizi dan tidak peduli dengan selera anak?
Pemerintah Korsel memiliki peraturan yang jelas. Menu utama yang disediakan sebenarnya sederhana, seperti nasi, masakan berkuah, kimchi, dan dua atau tiga jenis lauk pendamping. Namun, agar siswa tidak bosan terkadang disediakan juga pilihan menu lain yang disesuaikan dengan selera anak-anak, seperti mi atau masakan barat.
Memangnya mi bergizi? Jangan khawatir, semua menu makanan yang diberikan untuk siswa sudah didasarkan oleh saran ahli gizi dan nutrisi yang ada di setiap sekolah.
Para orang tua siswa di Korsel juga tidak akan merasa cemas karena menu makanan di sekolah selalu dilaporkan kepada mereka. Selain itu, pencegahan terhadap keracunan makanan sudah dipersiapkan dengan matang.
Jangan samakan dengan Korsel dong! Mereka kan memang negara maju.
Justru karena Korsel merupakan Negara maju, kita bisa banyak belajar dari sana. Korsel bahkan menggelontorkan 7,53 triliun won atau lebih dari 83 triliun rupiah termasuk bahan makanan, biaya-biaya operasional, para staf dan ahli gizi, serta seluruh perlengkapan dan fasilitas yang diberikan pada 2022.
Berbeda dengan Korsel, Indonesia saat ini masih belum ada ketentuan jelas tentang menu apa saja yang harus ada atau tidak, serta berapa macam masakan yang wajib disediakan dalam PMBG. Itulah kenapa masih ada sekolah yang mendapat menu 'enak' tetapi ada juga sekolah yang mendapat menu 'kurang sedap' dan 'seadanya'.
Jadi, kembali lagi, jangan salahkan selera anak yang bermacam-macam dan langsung memvonis mereka sebagai anak yang tidak pandai bersyukur.
Anak yang kurang suka masakan PMBG barang kali karena tidak tersedianya ahli gizi dan nutrisi yang dilibatkan. Hal ini menyebabkan masakan yang dibuat asal-asalan dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi serta alergi setiap siswa.
Pemerintah dan pihak sekolah juga perlu berikan jaminan kepada orang tua agar tidak cemas dengan makanan yang dikonsumsi anak mereka di sekolah. Jangan malah dilarang untuk mendokumentasikan menu yang mereka dapat.
Pemantauan yang ketat terhadap kelayakan dan kebersihan bahan masakan, alat masak, hingga cara penyajian perlu dilakukan untuk mengurangi risiko keracunan.
Bahan bacaan:
https://m.koreaherald.com/article/3277049
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H