Mohon tunggu...
Apriliyantino
Apriliyantino Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pendidik, penulis dan editor

Hidup telah mengajarkan seorang lelaki asal Lubuk Seberuk ini untuk yakin pada satu hal, yaitu takdir. Ia tertulis dan fixed sejak sebelum segala kejadian terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hari Pendidikan, Momentum Perenungan

2 Mei 2020   12:21 Diperbarui: 2 Mei 2020   12:37 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Antara Akal, Akhlak, dan Tuntutan Zaman


Oleh: Apriliyantino, S.Pd.*

Benarkah ketika manusia lahir dalam bkondisi seperti tabularasa, kertas kosong dan/atau perangkat komputer yang kosong? Atau sebenarnya telah ter-install secara lengkap semua perangkat lunak (software) di dalam dirinya untuk mampu melanjutkan hidup dan kehidupannya? 

Jika demikian, hal selanjutnya yang perlu dilakukan oleh para orangtua terhadap anaknya adalah mengaktifkan software tersebut, mengopreasikannya sedemikian rupa agar bisa memenuhi fungsi dan tujuan penciptaannya. Untuk melakukan semua itu, tentu para orangtua, sekolah dan pemerintah harus mengikuti manual yang telah dibuat oleh Sang Pencipta. 

Tanpa merujuk kepada 'manual' yang orisinil sesuai spack atau kodrat kemanusiaan yang melekat pada diri setiap anak manusia, kekacauan---error---pasti akan terjadi. Jika ia bisa bisa hidup, pasti tidak akan sempurna sehingga ia tak akan mampu menjalankan instruksi dan fungsi yang seharusnya. 

Begitulah seharusnya kita memandang pendidikan, mengembalikan system yang ada sesuai dengan 'manual' atau petunjuk yang telah diberikan agar tujuan pendidikan benar-benar tercapai.

Negara dengan segenap perangkat hukum dan aturan yang ada, sejak bangsa ini merdeka, telah pula mengatur pola dan arah pendidikan ini ke mana. Bahkan di dalam UUD 1945, pada alinea keempat disebutkan, 'mencerdaskan kehidupan bangsa' merupakan salah satu tujuan bernegara dan berbangsa Indonesia. Merujuk pada pembukaan UUD ini, terlihat jelas adanya kesadaran untuk meletakkan 'kecerdasan' sebagai orientasi utama. 

Kecerdasan yang seperti apa yang dimaksud di dalam UUD tersebut? Apakah kecerdasan akal (IQ) semata? Ataukah meliputi seluruh aspek kecerdasan yang ada, yaitu IQ, EQ, dan SQ? Jangan-jangan, kita selama ini hanya terjebak pada satu frasa mekanik---IQ---yang kemudian diterjemahkan sebagai Kecerdasan Intelektual, sesuatu yang identik dengan matematika dan sains. 

Padahal ada aspek EQ dan SQ yang bisa saja luput atau tidak mendapatkan porsi yang semestinya. Ini yang hingga kini seringkali diperbincangkan, tetapi dalam prakteknya seringkali jauh panggang dari api.

Kehadiran sistem pendidikan islam yang dominan diwakili oleh pesantren---sejak dahulu---di Nusantara pasca kedatangan para da'i dari negeri-negeri jauh di Timur tengah dan sekitarnya, telah membawa pengaruh yang mengakar dan mewarnai pola pendidikan mayoritas masyarakat kita. 

Perkembangan zaman, yang terbentang jauh dari sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah membawa pasang surut system pendidikan di tengah-tengah masyarakat kita. 

Sebelum datangnya para penjajah Eropa, hampir sepenuhnya kita mengadopsi berbagai sistem pendidikan yang berasal dari pengaruh Islam---kecuali beberapa saja yang masih merujuk sistem kebudayaan lokal (animism-dinamisme-kejawen) atau ajaran dari Asia Selatan (paganisme). 

Ini dibuktikan dengan angka statistik yang hingga saat ini masih dominan (pengaruh dakwah Islam---dibuktikan dengan angka 80% lebih penduduk Indonesia memeluk Islam). Akan tetapi, yang kita temukan hingga kini, posisi tawar generasi muslim---meskipun tetap dominan---belum sepenuhnya bisa mewakili entitas kaum muslimin yang besar ini. 

Kalaupun ada, ia cenderung tidak sebanding dengan banyaknya jumlah. Ini dibuktikan dengan masih rendahnya Human Development Index kita dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, apalagi dunia. Meskipun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa telah ada sedikit kemajuan---akibat restrukturisasi sistem yang ada.

Dikotomi---pembedaan---yang terlanjur mengakar di masyarakat kita, yaitu pendidikan sekolah negeri dan pesantren, antara pelajaran umum dan agama, telah mengakibatkan polarisasi dan spesialisasi yang kadang sulit dipadukan. Di satu pihak, kemampuan sains dan teknologi didominasi sekolah negeri, di pihak yang lain dominasi pengetahuan agama di pesantren, telah nyata seringkali menjadi sesuatu yang anakronistik. 

Akibatnya, banyak lahir generasi melek sains, tetapi nihil dalam hal adab dan akhlak. Muncul pula generasi yang mumpuni dalam aspek akidah dan akhlak, tetapi nihil dalam hal sains. 

Alhasil, kalaupun ada, akan sangat langka kita temukan intelektual muda muslim sekelas alm. BJ Habibie. Sistem pendidikan seharusnya mampu mengakomodir fenomena ini sehingga memunculkan lebih banyak lagi bibit-bibit unggul yang tidak hanya cerdas secara IPTEK tetapi juga memiliki IMTAK yang kokoh.

Mengembalikan pendidikan sesuai dengan acuan dan orientasi kehambaan kepada Allah dan sekaligus khalifah fil 'Ard, menjadi sebuah keharusan. Pendidikan yang memberikan keseimbangan antara tujuan penciptaan sebagai hamba Allah, sekaligus pengemban amanah sebagai pengelola dunia mutlak perlu dipersiapkan. 

Perdebatan tentang akal dan ilmu pengetahuan dengan agama, mana yang lebih diutamakan selama ini masih saja terjadi. Padahal keduanya seharusnya diramu dan dipadukan sehingga menghasilkan sintesa yang paripurna; Insan Kamil. Pendidikan yang berorientasi kepada penguatan akal sudah saatnya disandingkan dengan pemupukan akidah dan akhlak. Keduanya tidak layak untuk dipertentangkan. 

Di dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang menaruh perhatian tentang 'akal' dan menghormati akal. Harun Nasution menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan Al-Qur'an untuk menunjukkan pentingnya akal yaitu kata nazara (QS. Al-Qaaf/50: 6-7, at-Thaariq/86: 5-7, Al-Ghasiya/88: 17-20), kata tadabbara (QS. Shaad/38: 29), Muhammad/47:24), kata tafakkara (QS. An-Nahl/16: 68-69, Al-Jasiyah/45: 12-13), kata faqiha (QS. Al-An'am/6: 25, 65, dan 98; Al-A'raf/7: 179), kata tadzakkara (QS. Al-Baqarah/2: 221, 235, dan 282; Al-An'am/6: 80, 152), Kata fahima (QS. An-Nisa/4: 78; Al-An'am/6: 25 dan 65), dan kata aqala (QS. Al-Baqarah/2: 73-76, Ali Imran/3: 65 dan 118).(1)    

Kehadiran Sekolah Islam Terpadu dalam dua puluh tahun terakhir, mencoba memberikan alternatif  jawaban dari kebuntuan akibat pengaruh dikotomi yang selama ini terjadi. Keterpaduan antara kurikulum Diknas dan Agama, ditambah dengan kurikulum Sekolah Islam Terpadu menjadikannya satu struktur kurikulum yang compatible untuk menjawab tantangan yang ada. 

Ke depan diharapkan, generasi muslim kita di tahun 2045 (tahun meledaknya jumlah angkatan kerja muda) mampu bersaing dan tampil sebagai pemimpin, para ahli di bidangnya, teknokrat, birokrat dan lain sebagainya dengan kapasitas muslim kaffah---yang tidak hanya cerdas, tetapi juga saleh. 

Untuk itu, diperlukan berbagai evaluasi yang terus-menerus, peningkatan mutu dan pemenuhan berbagai sarana penunjang. Jangan sampai kehadiran Sekolah Islam Terpadu hanya sebatas alternatif---ban serep---yang dipandang sebelah mata karena tidak tidak memiliki diferensiasi dan kapasitas yang memadai.

Melalui momentum Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020 ini, mari kita bersinergi untuk bangkit bersama. Sebagai apapun kita, ada banyak hal yang bisa kita lakukan. 

Berangkat dari skup terkecil yaitu keluarga, kita mulai bangun satu budaya literasi. Membiasakan mengadakan kajian keluarga, membaca buku dan terus meningkatkan kapasitas diri kita---long life education---sebab belajar itu dilakukan seumur hidup. Menakar akhlak kita masing-masing, sehingga apakah kita telah memberikan contoh yang baik di lingkungan keluarga kita atau belum. 

Memberikan keteladanan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kebaikan yang timbul tentu dari hal-hal kecil yang terus kita perhatikan, terutama akidah dan akhlak kita, selain juga upaya peningkatan kapasitas inteletual masing-masing. Semua akan memberikan dampak di masa yang akan datang. Kita bisa lakukan sekarang, dengan mengubah pola dan kebiasaan lama yang tidak berbobot menjadi lebih bermutu. 

Memberikan ruang untuk anggota keluarga memiliki kesempatan membaca buku, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan IQ, memberikan keteladanan sebagai wahana olah rasa dan emosi (EQ) dan menguatkan akidah sebagai bentuk perbaikan SQ. Jika semua hal tersebut bisa berjalan secara seimbang, maka genarasi yang terlahir dan terbentuk di lingkungan keluarga kita, kelak akan mampu memberikan warna khas: generasi muslim yang didambakan umat.

Pada akhirnya, segala sesuatu menuntut adanya keseimbangan. Tidak boleh ekstrim kanan dan/atau ekstrim kiri. Pintar saja tidak cukup. Saleh saja tidak cukup. Apalagi jika tidak pintar dan tidak pula saleh; ampas. Generasi yang tidak memiliki spack yang compatible dengan kemajuan zaman juga akan menimbulkan masalah baru. 

Mereka akan tumbuh menjadi generasi penggembira yang tidak mampu berkontribusi apapun. Ini bisa terjadi jika kita tidak merujuk pada 'manual' yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Al-Qur'an. Di tengah kondisi zaman yang kerap berubah seperti ini, hanya generasi yang memiliki kapasitas dan determinasi yang mampu survive di tengah goncangan apapun. 

Tidak hanya memiliki kapasitas inteletual, tetapi juga kualitas imana dan takwa yang unggul. Generasi seperti inilah yang akan mampu memberikan keberkahan dan pelaku utama sebagai penebar kebaikan. Merekalah yang akan mampu menumbuhkan harapan, menguatkan yang lemah dan menemukan solusi dari setiap persoalan. Bukan hanya intelek, sehingga membabi buta---menghalalkan segala cara. Melainkan yang intelek dan saleh yang tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi juga umat manusia seluruhnya. 

Kesempatan untuk me-restart sistem dan metode pendidikan untuk menumbuhkan generasi seperti itu, sangat terbuka lebar di tengah pandemic Covid-19 ini dengan cara mengaktifkan kembali madrasatul ula di bulan Ramadan---bulan tarbiyah ini. Selamat berpuasa dan Hari Pendidikan Nasional, wallahu 'alam.


*) Penulis adalah Kepala SMPIT Madani Kayuagung, Sumatera Selatan
Referensi:

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta, Universitas Indonesia: 1982
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur'an. Bandung, Alfabeta:2009
https://petikanhidup.com/bunyi-uud-1945-pasal-31-ayat-1-2-3-4-5-dan-penjelasannya.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun