Sebelum datangnya para penjajah Eropa, hampir sepenuhnya kita mengadopsi berbagai sistem pendidikan yang berasal dari pengaruh Islam---kecuali beberapa saja yang masih merujuk sistem kebudayaan lokal (animism-dinamisme-kejawen) atau ajaran dari Asia Selatan (paganisme).Â
Ini dibuktikan dengan angka statistik yang hingga saat ini masih dominan (pengaruh dakwah Islam---dibuktikan dengan angka 80% lebih penduduk Indonesia memeluk Islam). Akan tetapi, yang kita temukan hingga kini, posisi tawar generasi muslim---meskipun tetap dominan---belum sepenuhnya bisa mewakili entitas kaum muslimin yang besar ini.Â
Kalaupun ada, ia cenderung tidak sebanding dengan banyaknya jumlah. Ini dibuktikan dengan masih rendahnya Human Development Index kita dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, apalagi dunia. Meskipun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa telah ada sedikit kemajuan---akibat restrukturisasi sistem yang ada.
Dikotomi---pembedaan---yang terlanjur mengakar di masyarakat kita, yaitu pendidikan sekolah negeri dan pesantren, antara pelajaran umum dan agama, telah mengakibatkan polarisasi dan spesialisasi yang kadang sulit dipadukan. Di satu pihak, kemampuan sains dan teknologi didominasi sekolah negeri, di pihak yang lain dominasi pengetahuan agama di pesantren, telah nyata seringkali menjadi sesuatu yang anakronistik.Â
Akibatnya, banyak lahir generasi melek sains, tetapi nihil dalam hal adab dan akhlak. Muncul pula generasi yang mumpuni dalam aspek akidah dan akhlak, tetapi nihil dalam hal sains.Â
Alhasil, kalaupun ada, akan sangat langka kita temukan intelektual muda muslim sekelas alm. BJ Habibie. Sistem pendidikan seharusnya mampu mengakomodir fenomena ini sehingga memunculkan lebih banyak lagi bibit-bibit unggul yang tidak hanya cerdas secara IPTEK tetapi juga memiliki IMTAK yang kokoh.
Mengembalikan pendidikan sesuai dengan acuan dan orientasi kehambaan kepada Allah dan sekaligus khalifah fil 'Ard, menjadi sebuah keharusan. Pendidikan yang memberikan keseimbangan antara tujuan penciptaan sebagai hamba Allah, sekaligus pengemban amanah sebagai pengelola dunia mutlak perlu dipersiapkan.Â
Perdebatan tentang akal dan ilmu pengetahuan dengan agama, mana yang lebih diutamakan selama ini masih saja terjadi. Padahal keduanya seharusnya diramu dan dipadukan sehingga menghasilkan sintesa yang paripurna; Insan Kamil. Pendidikan yang berorientasi kepada penguatan akal sudah saatnya disandingkan dengan pemupukan akidah dan akhlak. Keduanya tidak layak untuk dipertentangkan.Â
Di dalam Al-Qur'an banyak sekali ayat yang menaruh perhatian tentang 'akal' dan menghormati akal. Harun Nasution menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan Al-Qur'an untuk menunjukkan pentingnya akal yaitu kata nazara (QS. Al-Qaaf/50: 6-7, at-Thaariq/86: 5-7, Al-Ghasiya/88: 17-20), kata tadabbara (QS. Shaad/38: 29), Muhammad/47:24), kata tafakkara (QS. An-Nahl/16: 68-69, Al-Jasiyah/45: 12-13), kata faqiha (QS. Al-An'am/6: 25, 65, dan 98; Al-A'raf/7: 179), kata tadzakkara (QS. Al-Baqarah/2: 221, 235, dan 282; Al-An'am/6: 80, 152), Kata fahima (QS. An-Nisa/4: 78; Al-An'am/6: 25 dan 65), dan kata aqala (QS. Al-Baqarah/2: 73-76, Ali Imran/3: 65 dan 118).(1) Â Â
Kehadiran Sekolah Islam Terpadu dalam dua puluh tahun terakhir, mencoba memberikan alternatif  jawaban dari kebuntuan akibat pengaruh dikotomi yang selama ini terjadi. Keterpaduan antara kurikulum Diknas dan Agama, ditambah dengan kurikulum Sekolah Islam Terpadu menjadikannya satu struktur kurikulum yang compatible untuk menjawab tantangan yang ada.Â
Ke depan diharapkan, generasi muslim kita di tahun 2045 (tahun meledaknya jumlah angkatan kerja muda) mampu bersaing dan tampil sebagai pemimpin, para ahli di bidangnya, teknokrat, birokrat dan lain sebagainya dengan kapasitas muslim kaffah---yang tidak hanya cerdas, tetapi juga saleh.Â