Untuk itu, diperlukan berbagai evaluasi yang terus-menerus, peningkatan mutu dan pemenuhan berbagai sarana penunjang. Jangan sampai kehadiran Sekolah Islam Terpadu hanya sebatas alternatif---ban serep---yang dipandang sebelah mata karena tidak tidak memiliki diferensiasi dan kapasitas yang memadai.
Melalui momentum Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020 ini, mari kita bersinergi untuk bangkit bersama. Sebagai apapun kita, ada banyak hal yang bisa kita lakukan.Â
Berangkat dari skup terkecil yaitu keluarga, kita mulai bangun satu budaya literasi. Membiasakan mengadakan kajian keluarga, membaca buku dan terus meningkatkan kapasitas diri kita---long life education---sebab belajar itu dilakukan seumur hidup. Menakar akhlak kita masing-masing, sehingga apakah kita telah memberikan contoh yang baik di lingkungan keluarga kita atau belum.Â
Memberikan keteladanan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kebaikan yang timbul tentu dari hal-hal kecil yang terus kita perhatikan, terutama akidah dan akhlak kita, selain juga upaya peningkatan kapasitas inteletual masing-masing. Semua akan memberikan dampak di masa yang akan datang. Kita bisa lakukan sekarang, dengan mengubah pola dan kebiasaan lama yang tidak berbobot menjadi lebih bermutu.Â
Memberikan ruang untuk anggota keluarga memiliki kesempatan membaca buku, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan IQ, memberikan keteladanan sebagai wahana olah rasa dan emosi (EQ) dan menguatkan akidah sebagai bentuk perbaikan SQ. Jika semua hal tersebut bisa berjalan secara seimbang, maka genarasi yang terlahir dan terbentuk di lingkungan keluarga kita, kelak akan mampu memberikan warna khas: generasi muslim yang didambakan umat.
Pada akhirnya, segala sesuatu menuntut adanya keseimbangan. Tidak boleh ekstrim kanan dan/atau ekstrim kiri. Pintar saja tidak cukup. Saleh saja tidak cukup. Apalagi jika tidak pintar dan tidak pula saleh; ampas. Generasi yang tidak memiliki spack yang compatible dengan kemajuan zaman juga akan menimbulkan masalah baru.Â
Mereka akan tumbuh menjadi generasi penggembira yang tidak mampu berkontribusi apapun. Ini bisa terjadi jika kita tidak merujuk pada 'manual' yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu Al-Qur'an. Di tengah kondisi zaman yang kerap berubah seperti ini, hanya generasi yang memiliki kapasitas dan determinasi yang mampu survive di tengah goncangan apapun.Â
Tidak hanya memiliki kapasitas inteletual, tetapi juga kualitas imana dan takwa yang unggul. Generasi seperti inilah yang akan mampu memberikan keberkahan dan pelaku utama sebagai penebar kebaikan. Merekalah yang akan mampu menumbuhkan harapan, menguatkan yang lemah dan menemukan solusi dari setiap persoalan. Bukan hanya intelek, sehingga membabi buta---menghalalkan segala cara. Melainkan yang intelek dan saleh yang tidak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi juga umat manusia seluruhnya.Â
Kesempatan untuk me-restart sistem dan metode pendidikan untuk menumbuhkan generasi seperti itu, sangat terbuka lebar di tengah pandemic Covid-19 ini dengan cara mengaktifkan kembali madrasatul ula di bulan Ramadan---bulan tarbiyah ini. Selamat berpuasa dan Hari Pendidikan Nasional, wallahu 'alam.
*) Penulis adalah Kepala SMPIT Madani Kayuagung, Sumatera Selatan
Referensi:
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta, Universitas Indonesia: 1982
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur'an. Bandung, Alfabeta:2009
https://petikanhidup.com/bunyi-uud-1945-pasal-31-ayat-1-2-3-4-5-dan-penjelasannya.html