Mohon tunggu...
Apriliyantino
Apriliyantino Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pendidik, penulis dan editor

Hidup telah mengajarkan seorang lelaki asal Lubuk Seberuk ini untuk yakin pada satu hal, yaitu takdir. Ia tertulis dan fixed sejak sebelum segala kejadian terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menulis Pentigraf, Meringkas Semesta dalam Kata

28 April 2020   09:15 Diperbarui: 5 September 2020   09:28 3642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Apriliyantino*

Bagi sebagian orang, mungkin istilah pentigraf ini baru didengar. Benar, pentigraf ini memang jenis atau genre baru di dalam dunia kepenulisan. Penemunya adalah Prof. Tengsoe, pendiri Kampung Pentigraf. Berawal dari fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, orang-orang semakin sibuk dan dunia yang terus menuntut seseorang untuk bergerak cepat, maka muncullah ide pentigraf ini. Mereka yang sibuk, tentu tidak punya waktu untuk membaca novel yang tebal-tebal. Untuk mencapai ending, harus membaca sekian ratus halaman.

Kadang pembaca baru sadar maksud bacaan setelah membaca sekian puluh halaman. Ini coba disiasati oleh para pentigrafis. Mereka mengembangkan pola cerita singkat (3 paragraf)  yang merangkum sebiah cerita utuh dengan latar, tokoh, alur,  dan konflik yang jelas. Tanpa bertele-tele, pentigrafis ingin membuat kejutan dan sensasi yang berbeda di dalam sebuah cerita pentigraf yang hanya tiga paragraf tersebut. Ci Luk Ba dalam pentigraf memiliki efek yang tak kalah greget dengan sebuah cerpen atau novel sekalipun. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menulis sebuah pentigraf:

-Langkah Menulis Pentigraf-


1. Memukan ide.

Ide adalah modal utama sebuah tulisan. Tulisan apapun yang kita baca, pasti berawal dari sebuah ide. Bagaimana menemukan ide ini? Ide sebenarnya bertebaran di sekitar kita. Ia terbentang di penjuru semesta. Akan tetapi, meskipun demikian, seringkali orang mengatakan, "Saya tak punya ide, ide saya mentok, saya mengalami writer block," dan seterusnya. 

Caranya bagaimana agar kita tidak kehabisan ide? Pertama, kita harus belajar untuk peka terhadap lingkungan sekitar kita. Kedua, kita aktifkan seluruh indera kita dan mengemasnya dalam kata-kata. Apa yang lihat, dengar dan rasakan, sesegera mungkin diikat kedalam tulisan singkat, bisa dalam bentuk narasi atau kalimat sederhana. Jika tak sempat menulis, pastikan kita bisa mengingat setiap kejadian, suasana dan apapun yang berlintasan di sekitar kita. Kita rekam dalam memori otak kita. Itulah sumber ide dari tulisan kita. 


2. Tuliskan kalimat utama.

Setelah ide kita temukan, selanjutnya kita ramu menjadi kalimat utama di dalam cerita kita. Seorang pentigrafis, harus mulai terbiasa dengan permainan premis cerita dan kuncinya ada di kalimat utama ini. Kegagalan menyusun kalimat utama, adalah kegagalan menuliskan sebuah cerita seluruhnya. Kalimat utama adalah sel pertama yang harus ada dan dilahirkan. Sependek atau sepanjang apapun tulisan, ia tak akan lahir tanpa kalimat utama. 


3. Masukkan Ci yaitu pembuka cerita.

Ketika kita mulai menuliskan kalimat utama, sesungguhnya kita sedang berproses di tahap 'Ci' atau orientation. Di tahap ini kita sedang membuka cerita kita dengan sebuah prolog. Cerita mukai dibangun ditahap ini, sehingga sebagai sebuah pembuka, bagian ini harus menarik bagi pembaca.


4. Masukkan Luk yaitu konflik cerita.

Selanjutnya, kita masuk ke tahap 'Luk' atau complication. Di tahap ini, seorang penulis harus mulai menciptakan masalah atau sesuatu yang wajib diselesaikan oleh tokoh di dalam cerita. Tanpa ini, cerita kita tidak akan menarik. Konflik yang dibangun menjadi penentu yang memiliki andil besar terhadap keberhasilan sebuah cerita. Kata orang,  cerita tanpa konflik ibarat raga tanpa nyawa. Ibarat masakah, ia adalah masakan hambar yang tanpa bumbu. Kepiawaian penulis mengolah konflik, membuat pembaca memperoleh kenikmatan mereka dalam membaca sastra. 


5. Akhiri dengan Ba, kejutan tak terduga.

Ini adalah tahap akhir dari cerita pentigraf kita. Dalam bahasa lain, ia disebut sebagai klimaks, yang di dalamnya memuat satu ending cerita. Keberhasilan pentigraf juga ditentukan di sini. Efwk kejut atau tamparan kesan terjadi di bagian ini. Orang akan mengatakan, "Wah, ceritanya seru!" atau "Duh, apaan sih ini?" di bagian ini. Tanpa penutup yang baik, sebuah pentigraf yang hanya tiga paragraf ini hanya menjadi cerita pendek yang biasa saja.

Berikut ini contoh pentigraf saya, di dalam The Red Circle:

Malam Terakhir di Wamena

Oleh: Apriliyantino* dalam "The Red Circle"


Udara dingin pegunungan begitu menusuk, tembus hingga ke tulang. Ini malam terakhirku di Wamena. Meninggalkan semuanya. Tujuan kami adalah Jayapura, di sana kami punya seorang mamak. Selanjutnya kami berencana pulang ke Pariaman. Kerusuhan yang terjadi beberapa hari ini telah membuat kami mengambil keputusan sulit. Sebuah pertimbangan yang berat. Tidak ada yang bisa kami pertahankan di Wamena.

Jacob beserta tiga orang anak laki-lakinya mengantarkan kami. Dia adalah tetangga kami yang sangat baik. Belasan tahun hidup berdampingan, menjadikan kami seperti keluarga. Meskipun kami berbeda. Mama Theresia menangis melepaskan kepergian kami. Tetapi mereka tahu bahwa kami harus pergi. Setelah memastikan keluarga kami aman, mereka pulang. Begitu banyak kenangan di Wamena. Rumah Makan Bundo Kanduang yang kami besarkan, berantakan. Asap tipis masih mengepul dan terlihat dari radius pandangan.

Fajar belum menyingsing ketika pesawat jenis Twin Otter yang kami tumpangi mendarat di bandara Sentani, Jayapura. Di sudut-sudut kota pos-pos pengamanan dijaga 24 jam. Dari keterangan para prajurit, suasana mulai kondusif. Mereka bilang, semua terkendali. Dari kejauhan aku melihat segerombolan orang berlarian. Kemudian desing peluru menghujani pesawat yang kami tumpangi. Dor! Dor! Dor!

***

Contoh Pentigraf yang lainnya seperti pentigraf berikut ini:

Suwung

Oleh: Apriliyantino, dalam "The Red Circle"

Alya masih sendiri. Ruang di hatinya masih kosong. Ia sengaja menutup rapat pintunya. Sengaja membiarkannya tanpa penghuni. Suwung. Bertahun-tahun kini, musim berganti berulang kali, hatinya tetap terkunci. Tak ingin mengulang kidung lama yang membawa luka, Alya memilih berkelana.

Entah keberapa kalinya Alya singgah di rumah kami. Ia merasa nyaman mampir di desa kami,  katanya. Udara yang sejuk, penduduk kampung yang ramah dan aneka kuliner khas Palembang yang memanjakan siapapun dia yang datang. “Saya mau menetap di sini suatu hari nanti,” ujarnya suatu sore yang sepi. “Oh ya? Kamu mau pindah ke sini,  di kota Pempek ini?” kucoba memastikan kesungguhan rencananya. Alya mengangguk. Kulihat pandangannya menerawang jauh. Di kejauhan, pulau Kemarau tampak terapung sendirian di tengah sungai Musi. “Aku ingin punya suami orang sini,” ia bergumam pelan. Lalu menyeruput kopi asli Pagaralam dan menghabiskan pempek yang kusuguhkan.

Alya semakin sering ke rumah kami. Semakin akrab dengan keluarga besar kami. Aku pun, sebagai sahabat lamanya, telah menganggapnya sebagai saudara, menjadi bagian dari keluarga kami. Setiap kedatangannya, kami sambut dengan senang hati. Hari ini dia bercerita, bahwa hatinya telah terbuka untuk menerima cinta dari seorang lelaki. Sambil memelukku, ia membisikkan sesuatu ketelingaku. “Maafkan aku kak, lelaki itu Johan.” Kau tahu, dia suamiku.

***

Oh ya, saya juga akan sertakan PENTIGRAF yang ditulis oleh Prof. Tengsoe berikut ini:

#Rumpun Bambu Tepi Sungai, karya Tengsoe Tjahjono#

Pak Kamdi terdiam menatap buldoser yang dengan pasti dan dingin merobohkan rumpun bambu di tepi sungai itu. Rumpun bambu itu telah puluhan tahun hidup di situ. Kabar burung mengatakan akan dibangun sebuah apartemen di tempat itu. Apartemen yang akan menjulang 30 lantai. 

Penduduk di bantaran sungai itu sangat akrab dengan rumpun bambu itu. Dinding, tiang rumah, pintu, jendela, bahkan ranjang mereka terbuat dari bambu yang dipotong dari rumpun yang teduh. Bahkan, mereka sangat dekat dengan musik alam yang disebabkan oleh desir angin yang menyentuh daun-daun, yang membuat tubuh bambu saling bergesekan. Alam di sekitar bantaran sungai menjadi ruang yang sangat damai. 

Pak Kamdi menarik napas panjang. Dia tidak akan bisa lagi berjalan keliling desa demi desa sambil membawa tangga bambu di pundaknya. Pak Tukijan, tetangganya, tidak akan terlihat lagi memikul kursi dan meja bambu lalu menawarkan kepada mereka yang membutuhkan. Rumpun bambu yang dirobohkan, ikut merobohkan masa depan ekonomi mereka. Sampai nanti. 

***

Nah, bagaimana menurut kalian? Saya yakin, semua bisa menulis pentigraf. Tanpa memerlukan banyak waktu dan energi, penulis dan pembaca bisa menikamati sastra dengan cara yang lebih instant. Kesibukan kerja, membuat sebagain kita tak punya waktu untuk membaca tulisan cerita ratusan halaman. Hadirnya pentigraf menjadi suatu hal baru yang sangat "one bite" sekali gigit. Dengan pentigraf, sekali lagi saya katakan bahwa seolah kita bisa meringkas semesta. Terima kasih, semoga bermanfaat. 

*Penuis merupakan penulis buku "The Red Circle" dan "Menuju Kesejatian" seorang pendidik di SMPIT Madani Kayuagung OKI Sumatera Selatan. Penulis bisa dihubungi di email: aprliyantinosukses@yahoo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun