Bagas mengangguk dan mengunyah nasi di mulutnya. Ishan, dengan kasih sayang membawa piring di tangannya, menunggu memberikan suapan berikutnya untuk ayahnya.Â
Sore itu, Bagas terjatuh dari motor lantaran terkena serangan stroke mendadak. Terjadi pendarahan otak yang membuat ia harus menjalani operasi di bagian kepala. Bagas bersyukur ia masih bisa selamat, Tuhan masih memberinya kesempatan hidup di dunia ini.Â
Ketika itu, otak Bagas dalam pergumulan yang alot dan keras. Bagas tidak dapat menerima kenyataan atas semua yang dialaminya. Hatinya memberontak karena perceraian telah membuatnya kehilangan Aishwarya dan Divia putri kecilnya yang dibawa mantan istrinya. Ia tak rela kehilangan rumah dan mobilnya yang telah diambil oleh seorang wanita penipu. Bahkan, ia pun masih menyimpan dendam dan luka batin karena kemiskinan keluarganya sejak kecil. Begitu ruwet kondisi batin Bagas. Karena kencangnya pikiran dan amarah yang dipendamnya yang tak berkesudahan, tensinya meninggi hingga terjadilah peristiwa naas tersebut, Bagas terserang stroke.Â
Kini.
2 tahun sudah Bagas menjalani hidup dengan bantuan kursi roda. Ia hidup dalam kesunyian lantaran ia tak dapat berbicara dan sebagian tubuhnya mengalami kelumpuhan.Â
Dunianya menjadi gelap gulita pada awalnya. Ia jatuh di titik terendah dalam perjalanan hidupnya. Namun, perlahan ia pun ikhlas. Bisa menerima. Dan dalam kegelapan itu ia dapat melihat sebuah cahaya terang. Ia mulai bisa melawan dan menyingkirkan monster besar dalam dirinya, mengendalikannya sehingga ia menemukan kebenaran sejati.
Ia memaafkan dirinya dan orang-orang yang pernah menggoreskan luka pada batinnya. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, ia dapat merasakan damai dan ketenangan yang luar biasa. Ia dapat memahami semua hal yang dulu tak dapat dipahaminya sehingga kerap menyulut emosinya.Â
Saat kaya raya dulu, ia merasa dirinya tak pernah tentram. Emosinya naik turun dipicu kejadian di luar dirinya yang tak sesuai ekspetasinya. Tapi kini, dalam kondisi himpitan ekonomi sekalipun, Bagas Setya merasa jiwanya tentram dan berkelimpahan.Â
Saat badannya sehat dan bugar dulu, ia merasa jiwanya sempit. Tapi sekarang, dalam kondisi sakit, ia merasakan jiwanya justru begitu lapang.
Ia telah menyadari bahwa semua yang dialaminya adalah sebuah perjalanan jiwa untuk menyadarkan siapa sejatinya dirinya dan apakah itu hakikat hidup.Â
Selesai