Suasana mall yang semula ramai mendadak jadi sepi. Sekelilingku menjadi terlihat samar-samar. Mataku tiba-tiba terasa berat, namun perlahan dapat terbuka.Â
Ternyata aku bermimpi. Kusangka sungguhan yang kulihat tadi.Â
Semenjak mimpi itu, tak tahu mengapa hatiku jadi tak nyaman. Ada rasa kurang suka melihat Agam mesra dengan wanita berambut sebahu bertubuh semampai itu. Padahal itu hanya bunga tidur, bukan sungguhan.Â
Mendadak aku takut jika suatu hari nanti Agam benar-benar akan dimiliki oleh wanita lain dan mereka hidup bersama selamanya. Itu berarti ... tak akan ada kesempatan kedua untukku dan Agam.Â
Pipiku terasa hangat. Ada yang berdesir halus di relung hatiku. Ah, kenapa pula dengan diriku? apa peduliku jika pun itu terjadi ? itu hak Agam, kami kan sudah berpisah lama. Lalu kenapa pula aku keberatan ?
Ataukah mungkin aku cemburu? ukhh.... kutepis segera pikiran itu sejauh-jauhnya.Â
Terbayang di kepalaku, dulu aku sering bertengkar dengan Agam karena ia manja, anak mama, malas bekerja. Â 9 tahun tak ada perubahan, akupun membulatkan tekad bercerai. Walau Agam punya sisi tak baik, ada juga sisi baiknya, dimana ia lembut dan selalu ringan tangan dalam hal membantuku.
Ucapan Mela bergaung kembali di gendang telingaku,
"Ghea butuh figur seorang ayah. Dan kupikir, Agam juga sudah belajar dari kesalahannya dulu. Ia tentu berkembang, berubah lebih baik. "Â
Yah, mungkin Mela ada benarnya. Yang kutahu Agam kini telah bekerja dan ia giat. Dalam waktu 2 tahun, ia berhasil naik jabatan di kantornya yang bergerak di bidang industri farmasi. Agam telah berkembang, dari Agam yang anak mama kini menjadi Agam yang dewasa dan bertanggungjawab. Ia pun tak pernah absen memberikan uang nafkah bagi Ghea anak kami setiap bulannya. Mungkin ia berusaha membayar kesalahannya dimana dulu saat menjadi suamiku, ia tak menafkahi Ghea juga aku.Â
Lepas dari semua itu, aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri bahwa aku masih mencintainya. Bagaimanapun ia adalah pria sejatiku, karena ia ayah dari anakku.Â