Setelah 3 tahun, aku kembali dipertemukan dengan Anjas. Ia adalah mantan kekasihku semasa kuliah di Yogyakarta dulu. Anjas bekerja di Brisbane, Australia. Dan ia sedang liburan di Jakarta saat ini.Â
"Jihan faradila, " Anjas bangkit dari kursinya menyambutku, "apa kabar? "
"Baik, Anjas," aku tersenyum dan menarik kursi di hadapannya, lalu duduk.Â
Kami janjian untuk bertemu di cafe bernuansa etnik Jawa tak jauh dari kediamanku. Suasana cafe ini kental dengan budaya khas Jawa. Di pintu masuk cafe, tepat di sisi kanan kirinya terdapat sepasang patung Loro Blonyo, yakni patung dewi Sri dan dewa Wisnu yang merupakan simbol kemakmuran dan keturunan. Lalu sebuah dinding berhiaskan gebyok kayu berukir yang eksotik berada di satu sisi cafe. Dan taplak-taplak meja yang digunakan juga kain motif batik, serasi dengan meja dan kursi kayunya yang model lawasan. Desain interiornya menghadirkan suasana Jawa yang teduh dan tenang. Suasana yang selalu kurindukan.Â
"Bapak dan ibu sehat, Jihan?" suara bass Anjas memecah pikiranku.Â
"Sehat, Anjas. Om dan tante juga sehat, Anjas? " aku balik bertanya.Â
Om dan tante yang kumaksud adalah papa dan mama Anjas.Â
"Sehat, Jihan. Papa sudah pensiun. Sekarang kesibukannya memelihara ayam dan ikan di rumah, "Anjas tertawa. "Oya, mas Haikal putranya berapa sekarang, Jihan? "
"Dua. Dulu kamu ke rumahnya, Abigail masih anak tunggal. Sekarang dia sudah punya adik, namanya Yodi, "jawabku.
Mas Haikal adalah kakakku. Abigail dan Yodi adalah anak-anaknya. Dulu, Anjas dekat dengan keluargaku. Ia bukan hanya piawai mengambil hati bapak ibu dan kakakku, melainkan juga pakde, bude dan para sepupuku. Dengan kharismanya, ditambah kepribadian sanguinis yang dimilikinya, menjadikannya begitu mudah memikat hati banyak orang. Untunglah Anjas adalah cowok tampan yang setia. Kalau tidak, dulu bisa berabe. Pasti banyak wanita yang ingin jadi kekasihnya. Untungnya lagi, dulu ia kuliah di fakultas teknik jurusan teknik industri yang cukup jarang ceweknya, jadi aman, hahaha...Â
"bagaimana karirmu, Anjas? semoga karirmu tambah maju ya, "ujarku seraya tulus mendoakannya.Â
"Berkat doamu, aku berhasil mencapai tujuanku seperti cita-citaku saat dulu berangkat ke Brisbane, " Anjas berkata. "Tapi itu belum sepenuhnya membuatku bahagia, Jihan. Kebahagiaanku belum lengkap karena aku belum berumah tangga."
Kue jahe yang belum sempat ku kunyah meluncur ke tenggorokanku, nyaris membuatku tersedak. Anjas belum menikah? di usianya yang sudah matang dengan karir yang menjulang? tapi kenapa?Â
"Kau mau tahu kenapa, Jihan? " ia sepertinya bisa membaca apa yang ada di otakku. "Itu karena aku masih mencintaimu, Jihan."
Mulutku berhenti mengunyah kue. Entah kenapa rahangku jadi terasa kaku untuk digerakkan.Â
Tiba-tiba ponsel milik Anjas berbunyi. Anjas meminta izin padaku untuk menerima panggilan yang ternyata dari mamanya. Setelah menutup panggilan tersebut Anjas mohon pamit padaku, karena mamanya mengingatkannya ada acara keluarga sore ini. Dan Anjas sudah terlambat 30 menit.Â
"Maaf Jihan, pertemuan kita harus terputus dulu," ujar Anjas padaku.Â
Sepeninggalan Anjas, ingatanku membawaku mengembara ke kejadian beberapa tahun silam, saat Anjas pamit berangkat ke Brisbane untuk mengejar impiannya. Kala itu, aku tak menyangka kisah LDR alias Long Distance Relationship yang kuketahui dari kisah di novel percintaan ternyata juga menjadi kisah di percintaanku sendiri.Â
Tak mudah buatku kala itu, melihat teman-teman se gengku yakni Vella dan Rara diapeli cowok masing-masing dan aku hanya bisa berkomunikasi dengan Anjas melalui ponsel. Saat teman-temanku bisa nonton atau jalan-jalan berdua cowok masing-masing, aku harus puas nonton bioskop sendirian. Sesekali aku memaksa Vella atau Rara untuk absen malam mingguan dengan pacar mereka dan hahahihi bersama denganku. Kami ke mall atau ke cafe.
Yang coba-coba mendekatiku waktu itu ada beberapa. Ada Haris, tetangga jarak 5 rumah dariku, yang notabene kakak kelasku di SMA. Lalu ada Erwin, teman kerjaku di kantor yang selalu perhatian padaku. Mereka rupanya tahu kalau aku dan Anjas LDR, jadi pakai jurus 'siapa tahu rezeki'. Banyak cinta yang datang mendekat, tapi aku menolak. Semua kulakukan karena aku menjaga hatiku hanya untuk Anjas ketika itu.Â
Tahun-tahun awal LDR kami, semua masih dapat di handle atas nama cinta. Namun lambat laun, usiaku semakin bertambah dan tatkala aku meminta kepastian Anjas, ternyata ia belum siap berkomitmen untuk sebuah pernikahan. Anjas masih berambisi membangun karirnya di Australia, sementara aku ingin membangun sebuah rumah tangga. Ibu bapakku juga semakin tua umurnya dan aku belum juga memberikan cucu bagi keduanya.
Dan, karena tujuan hidupku dan Anjas ketika itu berbeda, meski besar cintaku padanya aku pun memutuskan hubungan kami. Setelah putus, kami tak lagi saling terhubung. Komunikasi terputus. Aku tak tahu kabarnya, demikian pula sebaliknya ia tak mengetahui kabarku.Â
***
Rabu sore.Â
Pulang kantor, Anjas kembali memintaku untuk bertemu lagi dengannya. Aku mengiyakan, karena ada yang ingin kukatakan juga kepadanya. Dan kuharap, ini adalah waktu yang tepat untuk bicara padanya.Â
Kami bertemu di taman dekat perbatasan kota. Ada sebuah danau indah di sana dengan beberapa ekor angsa putih cantik. Juga terdapat beberapa bangku besi vintage di tepi danau. Kami memilih duduk di sebuah bangku yang berhadapan dengan tanaman bunga lily nan cantik. Bunganya berwarna-warni, ada kuning, merah dan putih. Sungguh panorama yang menyejukkan mata. Rasa penatku karena pekerjaan di kantor luruh seketika, berganti dengan rasa sukacita.Â
"Jihan, maafkan aku jika dulu mengulur waktu untuk menikahimu. Ternyata mencapai karir impian tak membuatku sepenuhnya menjadi bahagia. Setelah kehilanganmu, aku baru menyadari bahwa aku sangat mencintaimu. Dan aku menyesal telah membuatmu terlepas dari hidupku, " Anjas berkata.Â
Bilur-bilur penyesalan terlukis di kedua bola matanya.Â
Anjas mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya dilipat dan ditumpukan pada pahanya. Anjas masih terlihat tampan seperti saat terakhir kali aku berjumpa dengannya.Â
"Seharusnya dulu aku mendengarkan nasehat Iqbal. Iqbal bilang, karirku sudah cukup mapan dan aku juga bisa mengembangkan karir bersamaan dengan menikahimu. Iqbal bilang, kamu wanita baik. Dan aku ....pasti akan menyesal bila membiarkanmu pergi, " Anjas melanjutkan ucapannya. "Kamu ingat Iqbal kan, Jihan ? sahabatku waktu SMA. beberapa kali kita pernah jalan bersama waktu itu. Aku putus kontak dengannya lama, Jihan. Yah, aku terlalu sibuk dengan egoku mengejar karir, sehingga putus kontak denganmu dan juga Iqbal."
Aku menarik nafas panjang dan hendak bersuara, namun Anjas lebih dulu berbicara.Â
"Kau tahu Jihan, Iqbal adalah sahabat terbaikku. Ia pria yang matang secara emosional dan bertanggung jawab. Hatinya baik. Dan ia memiliki effort kerja yang bagus. Sungguh bahagia wanita yang menjadi istrinya. Sebab, aku percaya ia bisa membahagiakan pasangannya," Anjas berkata padaku sambil tersenyum, "apa kabar Iqbal sekarang ya?"
Aku terdiam sejenak, kembali menarik nafas dan menatap Anjas.Â
"Ya, kau benar Anjas. Iqbal memang pria yang baik. Dan kau juga benar, ia lelaki hebat yang bisa membahagiakan istrinya," ucapku.
Air muka Anjas nampak berubah. Ia terlihat kaget bercampur bingung mencerna perkataanku.
"Akulah yang ternyata menjadi jodoh Iqbal, sahabatmu itu," aku berkata lirih, seraya menatap mata Anjas.Â
"Kalian... menikah ? " suara bass Anjas terdengar sedikit bergetar.
Anjas nampak shock. Matanya menatapku bingung seakan tak mempercayai kisah yang kuceritakan padanya.
"Ya. Kami dipertemukan oleh takdir tepat setahun setelah kita putus. Kami lalu menjadi dekat, awalnya kami dekat karena ada persamaan yakni kami sama-sama orang terdekatmu. Kami sering membicarakanmu, mengenangmu. Hingga kemudian kami mendapati bahwa kami memiliki kesamaan tujuan hidup. Iqbal melamarku. Dan kami pun menikah," aku menuturkan kisah yang terjalin antara aku dengan Iqbal kepada Anjas.Â
Wajah Anjas terlihat menegang. Entah apa yang berkecamuk di pikirannya saat ini. Namun ia terlihat berusaha mengatur perasaannya.Â
"Yah, Iqbal pria baik, lebih baik dariku kukira, " ujarnya sejurus kemudian. "Jadi dulu aku 5 tahun pacaran denganmu, itu aku jagain jodoh orang ternyata ya? "
Anjas tertawa, tawa pahit kurasa. Jujur aku tidak tega dengan posisinya saat ini.Â
"Maafkan aku Anjas, aku tidak tahu jika takdirku adalah menjadi jodoh sahabatmu, " ujarku dengan perasaan tidak enak.Â
"Itulah rahasia hidup, Jihan, "Anjas menghela nafas panjang, "ku ucapkan selamat atas pernikahan kalian, semoga langgeng dan bahagia. Oya, di mana Iqbal? "
"Ia sedang ada tugas kantor di Bandung, malam nanti pulang. Tapi aku sudah izin padanya untuk bertemu denganmu dan menceritakan semua padamu, "sahutku.Â
Aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah tiba waktuku untuk pamit pada Anjas.Â
"Anjas, aku pulang dulu. Aku ada acara sebentar lagi. Senang bisa bertemu denganmu, " aku bangkit dari tempat  duduk.Â
"Baik, Jihan. Tolong sampaikan salamku untuk Iqbal. Besok pagi aku pulang ke Brisbane, " ujar Anjas.Â
Aku mengangguk, lalu berjalan keluar taman. Sesampai di pintu taman, aku menoleh ke tempat yang kutinggalkan tadi. Anjas masih duduk di sana. Ia terpekur menatap bunga lily yang berada di hadapannya. Sepasang angsa putih melintas dan menari berputar-putar di danau, namun mata Anjas tak memperhatikan satwa cantik itu. Mata pria yang dulu pernah kucintai itu nampak redup, tak lagi bersinar cemerlang ,seperti kemarin saat kami bertemu pertama kali di cafe.Â
Aku mengalihkan tatapanku kembali ke depan, lalu berjalan meninggalkan taman. Aku tahu, hati Anjas pasti tengah lara dengan kenyataan hidupnya saat ini.Â
Maafkan aku, mantan kekasihku.Â
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H