Mohon tunggu...
Apriliana Jumiyati
Apriliana Jumiyati Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Teknik Sipil - NIM 41124010091 - Fakultas Teknik - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea, pada Kasus Korupsi di Indonesia.

5 Desember 2024   15:05 Diperbarui: 5 Desember 2024   15:05 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si.Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si.Ak

Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak
Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Pendahuluan: Mengupas Kejahatan Luar Biasa dengan Kerangka Pemikiran Edward Coke

Korupsi adalah ancaman serius bagi integritas bangsa dan keadilan sosial, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kerugian negara akibat korupsi tidak hanya berupa hilangnya dana publik tetapi juga melemahkan sistem demokrasi, menciptakan ketimpangan ekonomi, dan merusak moral bangsa. Untuk memberantas korupsi secara efektif, kerangka hukum yang kokoh diperlukan, termasuk penggunaan konsep hukum pidana yang mendalam seperti actus reus dan mens rea.

Edward Coke, tokoh hukum yang menjadi pelopor konsep dasar kejahatan pidana, memperkenalkan dua unsur penting yang mendefinisikan kejahatan:

  1. Actus reus (perbuatan nyata) sebagai elemen fisik kejahatan.
  2. Mens rea (niat jahat) sebagai elemen psikologis atau mental.

Dalam konteks hukum pidana modern, konsep ini menjadi pilar utama dalam menentukan tanggung jawab pidana, terutama dalam tindak pidana korupsi yang sering kali melibatkan tindakan kompleks dan motif tersembunyi. Artikel ini akan membahas secara komprehensif penerapan konsep ini dalam kasus korupsi di Indonesia melalui analisis what, why, dan how, serta penelaahan mendalam terhadap beberapa studi kasus.

What: Apa Itu Actus Reus dan Mens Rea dalam Tindak Pidana Korupsi?

1. Definisi Actus Reus
Actus reus merupakan elemen tindakan nyata dalam suatu kejahatan. Dalam korupsi, tindakan ini meliputi aktivitas fisik atau dokumen yang menjadi bukti adanya pelanggaran hukum. Misalnya:

  • Penerimaan Uang Suap: Pemberian uang tunai atau transfer bank yang dilakukan kepada pejabat negara.
  • Manipulasi Dokumen: Pemalsuan laporan keuangan, nota anggaran, atau tender proyek.
  • Pemanfaatan Jabatan: Menggunakan kewenangan untuk mengarahkan proyek kepada pihak tertentu demi keuntungan pribadi.

Dalam hukum Indonesia, tindakan ini diatur secara rinci dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Contohnya pada Pasal 3 UU Tipikor, yang menyebutkan penggunaan kewenangan secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara sebagai actus reus.

2. Definisi Mens Rea
Mens rea adalah elemen mental atau niat jahat yang mengiringi tindakan pidana. Dalam korupsi, mens rea biasanya hadir dalam bentuk:

  • Kesengajaan untuk menggelapkan dana publik.
  • Niat memperkaya diri sendiri dengan sadar melanggar hukum.
  • Pengabaian tanggung jawab etis atau hukum demi keuntungan finansial.

3. Relasi Actus Reus dan Mens Rea
Dalam hukum pidana, actus reus dan mens rea harus hadir bersamaan untuk menetapkan adanya kejahatan. 

Sebagai contoh:

  • Jika seorang pejabat menerima uang tanpa mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari suap, maka mens rea tidak dapat dibuktikan.
  • Sebaliknya, jika niat ada tetapi tidak diikuti tindakan nyata, kejahatan tidak dapat dikategorikan lengkap.

Why: Mengapa Konsep Ini Sangat Penting untuk Kasus Korupsi di Indonesia?

1. Kejahatan Korupsi: Kompleksitas dan Karakteristiknya
Korupsi sering kali tidak hanya melibatkan satu individu, melainkan jaringan sistemik yang melibatkan beberapa aktor. Sifatnya yang rahasia dan tersembunyi membuat pembuktian menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan actus reus serta mens rea menjadi krusial untuk:

  • Membuktikan keterlibatan individu secara meyakinkan.
  • Menjamin bahwa hanya mereka yang benar-benar bersalah yang dihukum.
  • Menghindari kriminalisasi atas kesalahan administratif yang tidak disengaja.

2. Implikasi Kegagalan Membuktikan Salah Satu Unsur
Kasus-kasus besar di Indonesia sering kali terhambat karena sulitnya membuktikan unsur niat (mens rea). Sebagai contoh:

  • Dalam kasus BLBI, banyak pejabat mengklaim bahwa tindakan mereka didasarkan pada kebijakan darurat untuk menyelamatkan ekonomi negara. Dalam hal ini, membuktikan niat jahat menjadi tantangan besar.
  • Dalam kasus Jiwasraya, manipulasi laporan keuangan menunjukkan tindakan (actus reus), tetapi jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan memperkaya diri sendiri.

3. Mendorong Keadilan Substantif
Penggunaan konsep ini memastikan bahwa hukuman dijatuhkan dengan adil, berdasarkan bukti kuat. Misalnya, tidak semua pejabat yang terlibat dalam proses anggaran otomatis bersalah dalam kasus korupsi. Analisis mendalam terhadap tindakan mereka (actus reus) dan niatnya (mens rea) diperlukan untuk membedakan tanggung jawab pidana.

How: Penerapan Actus Reus dan Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

1. Metodologi Pembuktian di Pengadilan
Pembuktian actus reus dan mens rea biasanya dilakukan melalui:

  • Audit Keuangan: Mengidentifikasi aliran dana yang tidak wajar.
  • Rekaman Komunikasi: Menemukan bukti niat melalui percakapan telepon atau pesan.
  • Dokumen Tender atau Kontrak: Membuktikan manipulasi atau penyimpangan.

2. Teknologi sebagai Alat Bantu Pembuktian

  • Forensik Digital: Mengungkap bukti elektronik seperti email, transaksi bank, atau dokumen digital.
  • Data Analytics: Menganalisis pola keuangan atau aktivitas untuk menemukan hubungan antara pelaku.
  • Blockchain Auditing: Memastikan transparansi dalam aliran dana publik.

3. Studi Kasus Mendalam
Kasus Korupsi BLBI

  • Actus Reus: Penyalahgunaan dana BLBI untuk kepentingan pribadi.
  • Mens Rea: Keinginan untuk memperkaya diri dengan mengabaikan dampak pada keuangan negara.

Kasus Jiwasraya

  • Actus Reus: Manipulasi laporan investasi.
  • Mens Rea: Kesengajaan menciptakan skema investasi berisiko tinggi untuk keuntungan pribadi.

4. Tantangan dan Solusi dalam Implementasi Konsep Ini

  • Tantangan: Membuktikan mens rea sering kali sulit karena pelaku menggunakan alibi kebijakan atau klaim tidak tahu-menahu.
  • Solusi: Menggunakan pendekatan indirect proof seperti pola tindakan, gaya hidup mewah yang tidak sesuai penghasilan, atau bukti dokumen terselubung.

Aspek Tambahan: Hubungan dengan Hukum Internasional dan Pencegahan Korupsi

1. Perbandingan dengan Sistem Hukum Lain

  • Di Amerika Serikat, konsep actus reus dan mens rea digunakan secara ketat dalam kasus korupsi, terutama dalam kasus suap internasional di bawah Foreign Corrupt Practices Act (FCPA).
  • Di Indonesia, penerapan konsep ini masih sering diperdebatkan karena sistem birokrasi yang kompleks kadang membuat actus reus terlihat sebagai kesalahan administratif.

2. Pencegahan Korupsi melalui Pemahaman Mens Rea
Pemahaman yang mendalam tentang mens rea dapat membantu mendesain sistem yang mencegah niat jahat. Misalnya, melalui:

  • Transparansi dalam pengambilan keputusan.
  • Pengawasan ketat terhadap tender proyek publik.
  • Audit internal dan eksternal secara berkala.

3. Keterkaitan dengan Integritas dan Moralitas Pejabat Publik
Selain aspek hukum, penting pula membangun budaya integritas melalui pendidikan antikorupsi dan penerapan etika yang ketat.

Pengembangan Lanjutan: Perspektif Multidimensi pada Actus Reus dan Mens Rea

Aspek Filosofis dan Konseptual: Kejahatan sebagai Manifestasi Moral dan Sosial

Dari perspektif filosofis, konsep actus reus dan mens rea tidak hanya berbicara tentang kejahatan dalam konteks hukum, tetapi juga sebagai refleksi dari moralitas individu dan tatanan sosial. Edward Coke mengedepankan gagasan bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan jika niat jahat (moral guilt) dan perbuatan nyata (physical action) terbukti secara bersamaan. Dalam konteks ini:

  1. Keadilan Substantif vs. Prosedural: Actus reus lebih sering ditekankan dalam keadilan prosedural, yaitu proses hukum formal yang menentukan apakah tindakan yang dilakukan seseorang melanggar hukum. Mens rea mengarahkan pada keadilan substantif yang mempertimbangkan faktor niat dan keadaan mental pelaku, memberikan konteks yang lebih luas pada tindakan tersebut.
  2. Korelasi dengan Perspektif Sosial: Mens rea menunjukkan pentingnya tanggung jawab sosial. Dalam tindak pidana korupsi, pelaku tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat. Actus reus mencerminkan dampak konkret dari tindakan individu terhadap sistem sosial, seperti berkurangnya anggaran untuk layanan publik akibat korupsi.

Dimensi Politik dalam Penerapan Actus Reus dan Mens Rea

  1. Korupsi Sebagai Kejahatan Politik: Korupsi sering kali terjadi dalam ranah politik, di mana pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Dalam kasus ini: Actus reus mencakup tindakan seperti penyalahgunaan anggaran kampanye, pemberian proyek kepada kroni, atau suap untuk mendapatkan posisi strategis. Mens rea melibatkan niat untuk memperkuat kekuasaan pribadi atau kelompok melalui pengabaian etika politik.
  2. Tantangan Hukum dalam Kasus Politik: Intervensi politik sering menghambat proses pembuktian. Misalnya, dalam beberapa kasus besar di Indonesia, tekanan politik mengarah pada penundaan penyelidikan atau bahkan hilangnya bukti. Penggunaan pengadilan opini publik (trial by media) sering kali mengaburkan elemen mens rea, menciptakan persepsi bersalah sebelum bukti hukum mencukupi.

Dimensi Ekonomi: Dampak Sistemik Korupsi pada Perekonomian Negara

Korupsi memiliki implikasi ekonomi yang luas, termasuk pengurangan investasi, ketidakstabilan fiskal, dan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Dalam konteks actus reus dan mens rea:

  1. Pemanfaatan Jabatan untuk Keuntungan Pribadi: Actus reus: Penyalahgunaan kebijakan fiskal atau alokasi anggaran untuk keuntungan pribadi, misalnya dalam kasus e-KTP. Mens rea: Kesengajaan untuk menciptakan struktur birokrasi yang kompleks guna menyembunyikan aliran dana ilegal.
  2. Kerugian Makroekonomi: Dampak korupsi sering kali dirasakan dalam jangka panjang, seperti menurunnya daya saing nasional akibat kurangnya investasi dalam infrastruktur atau pendidikan. Ketika pelaku korupsi tidak dihukum secara adil, hal ini menciptakan moral hazard, di mana individu lain merasa bebas untuk melakukan hal serupa.

Aspek Hukum Internasional: Perbandingan Sistem dan Implikasinya di Indonesia

  1. Konvergensi Sistem Hukum: Banyak negara maju telah mengadopsi prinsip strict liability dalam tindak pidana korupsi, di mana bukti actus reus cukup untuk menetapkan tanggung jawab pidana tanpa memerlukan pembuktian mens rea. Di Inggris, misalnya, Undang-Undang Anti-Bribery 2010 menekankan tanggung jawab korporasi terhadap tindakan suap tanpa harus membuktikan niat manajemen puncak. Di Indonesia, pembuktian mens rea tetap menjadi keharusan, meskipun pendekatan ini sering mempersulit proses hukum.
  2. Kerjasama Internasional: Dalam era globalisasi, korupsi lintas negara semakin marak. Indonesia terlibat dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), yang mendorong pembuktian elemen mental dalam tindak pidana korupsi lintas yurisdiksi. Misalnya, kasus suap terkait proyek infrastruktur dengan mitra asing sering melibatkan audit keuangan dan investigasi multi-negara untuk membuktikan mens rea.

Dimensi Budaya: Etika dan Mentalitas sebagai Faktor Pendukung Korupsi

Korupsi tidak hanya tentang hukum tetapi juga budaya yang mendukung praktik tersebut. Di Indonesia, norma sosial dan budaya tertentu sering kali mempengaruhi pembuktian mens rea:

  1. Budaya Patronase: Praktik patron-klien sering kali menciptakan loyalitas buta, di mana tindakan korupsi dianggap sebagai bentuk "balas jasa". Dalam konteks ini, pelaku sering mengklaim bahwa mereka tidak memiliki niat buruk (mens rea), tetapi hanya memenuhi kewajiban sosial.
  2. Persepsi Masyarakat terhadap Korupsi: Korupsi kecil (petty corruption) sering dianggap wajar dalam masyarakat, sehingga sulit membedakan antara mens rea dan ketidaktahuan. Dalam skala besar (grand corruption), sering kali ada usaha untuk memanipulasi persepsi publik agar tindakan tersebut terlihat sebagai keputusan strategis.

Teknologi dan Inovasi dalam Pemberantasan Korupsi

  1. Penggunaan AI untuk Analisis Mens Rea: Algoritma pembelajaran mesin dapat digunakan untuk menganalisis pola komunikasi dan tindakan yang mengarah pada niat jahat. Contoh: Analisis email pejabat untuk mendeteksi adanya kolusi dalam tender proyek.
  2. Blockchain untuk Mencegah Actus Reus: Teknologi blockchain dapat digunakan untuk menciptakan transparansi dalam pengelolaan anggaran publik, menghilangkan peluang tindakan korupsi.
  3. Big Data dan Forensik Keuangan: Data besar memungkinkan analisis aliran dana yang lebih akurat, membantu mengidentifikasi pola actus reus yang kompleks.

Rekomendasi Strategis: Pendekatan Holistik untuk Pencegahan dan Penindakan

  1. Integrasi Pendidikan Anti-Korupsi: Memperkenalkan konsep actus reus dan mens rea sejak dini di institusi pendidikan untuk membangun kesadaran hukum dan etika.
  2. Peran Masyarakat Sipil: Memberdayakan masyarakat sipil untuk memantau alokasi anggaran publik, mempersempit ruang untuk tindakan actus reus.
  3. Reformasi Sistem Birokrasi: Menyederhanakan proses birokrasi untuk mengurangi peluang pelanggaran hukum.
  4. Penguatan Kerjasama Internasional: Memanfaatkan jaringan internasional untuk menangkap pelaku korupsi lintas batas, memastikan elemen mens rea dapat dibuktikan melalui investigasi lintas negara.

Kasus Korupsi Korporasi: Studi Kasus PT Duta Graha Indah (DGI) oleh KPK

Korupsi korporasi adalah salah satu bentuk tindak pidana yang paling kompleks karena melibatkan organisasi sebagai pelaku utama, bukan hanya individu. Kasus korupsi PT Duta Graha Indah (DGI), yang kini dikenal sebagai PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE), adalah salah satu contoh nyata bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan prinsip actus reus dan mens rea dalam tindak pidana korupsi korporasi. Kasus ini memiliki kekuatan hukum tetap dan memberikan pelajaran penting mengenai korupsi yang melibatkan entitas hukum berbadan usaha.

Latar Belakang Kasus: Proyek Pemerintah yang Dikorupsi

Kasus PT DGI mencuat setelah KPK menemukan adanya dugaan penyelewengan dalam pengerjaan sejumlah proyek pemerintah. Perusahaan ini diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan:

  1. Penyalahgunaan Anggaran: Pengerjaan proyek pemerintah di berbagai daerah, seperti pembangunan Rumah Sakit Khusus Pendidikan Universitas Udayana, Denpasar, Bali, dan proyek di Universitas Airlangga, Surabaya. Proyek tersebut diketahui dimenangkan melalui praktik suap dan kolusi dengan pejabat pemerintah.
  2. Mark-Up Anggaran: Dalam pelaksanaannya, PT DGI menaikkan nilai kontrak proyek secara signifikan, menghasilkan keuntungan yang tidak sah yang dibagi dengan sejumlah pejabat publik. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari praktik ini mencapai ratusan miliar rupiah.

Analisis Actus Reus dan Mens Rea pada Kasus PT DGI

  1. Actus Reus: Tindakan Nyata yang Dilakukan. Manipulasi Proses Tender: PT DGI secara aktif bekerja sama dengan sejumlah pejabat untuk memastikan perusahaan mereka memenangkan kontrak, meskipun proses lelang seharusnya dilakukan secara transparan dan kompetitif. 
  2. Pelaksanaan Proyek yang Tidak Sesuai Spesifikasi: Selain manipulasi anggaran, PT DGI juga melakukan pekerjaan yang tidak sesuai standar, sehingga mengurangi kualitas infrastruktur.
  3. Mens Rea: Niat Jahat Korporasi dan Direksinya. Kesengajaan oleh Direksi: Direksi perusahaan, melalui kebijakan internal, secara sengaja mengatur tindakan ilegal ini dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. Kolusi dengan Pejabat Publik: Bukti komunikasi antara manajemen PT DGI dan pejabat pemerintah menunjukkan adanya niat jahat untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui suap.

Peran KPK dalam Penanganan Kasus

KPK, sebagai lembaga penegak hukum anti-korupsi, memiliki peran sentral dalam membongkar dan menindak kasus ini. Berikut adalah tahapan penindakan yang dilakukan:

  1. Penyelidikan dan Penyidikan: KPK memulai penyelidikan setelah menerima laporan dari masyarakat mengenai ketidaksesuaian dalam proyek pembangunan pemerintah. Investigasi awal mengungkap adanya aliran dana ilegal dari PT DGI kepada sejumlah pejabat untuk mengamankan proyek.
  2. Pengumpulan Bukti: Dokumentasi Proyek: KPK menemukan dokumen tender yang dimanipulasi.
    • Bukti Elektronik: Email dan komunikasi digital antara pihak PT DGI dan pejabat pemerintah menjadi kunci dalam pembuktian kasus.
    • Kesaksian Saksi Kunci: Mantan pegawai PT DGI memberikan kesaksian tentang peran aktif direksi dalam tindak pidana korupsi ini.
  3. Penetapan Tersangka dan Penahanan: KPK menetapkan PT DGI sebagai tersangka korporasi. Selain itu, mantan Direktur Utama PT DGI, Dudung Purwadi, juga ditetapkan sebagai tersangka individu.
  4. Proses Hukum: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor): Kasus ini dibawa ke Pengadilan Tipikor, di mana jaksa KPK berhasil membuktikan unsur actus reus dan mens rea. Putusan Pengadilan: PT DGI dinyatakan bersalah dan dikenakan denda sebesar Rp 14,4 miliar, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 85 miliar kepada negara. Dudung Purwadi juga dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun.

Implikasi Hukum dan Sistemik dari Kasus PT DGI

  1. Korporasi sebagai Subjek Hukum: Kasus ini menegaskan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindak pidana yang dilakukan. PT DGI menjadi salah satu perusahaan pertama di Indonesia yang dinyatakan bersalah atas korupsi.
  2. Preseden dalam Penegakan Hukum: Penanganan kasus ini menciptakan preseden penting bahwa korupsi korporasi harus ditindak tegas, terlepas dari ukuran atau pengaruh perusahaan.
  3. Reformasi Proses Tender Pemerintah: Kasus ini memicu evaluasi sistem lelang proyek pemerintah, dengan fokus pada transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah praktik serupa di masa depan.

Studi Banding: Kasus PT DGI dengan Kasus Serupa

Sebagai perbandingan, kasus PT DGI dapat dianalisis berdampingan dengan kasus lain, seperti PT Hutama Karya (HK). Dalam kasus Hutama Karya, korupsi proyek juga melibatkan manipulasi tender dan kolusi dengan pejabat. Namun, KPK menghadapi tantangan lebih besar dalam pembuktian mens rea karena tingkat kerumitan komunikasi yang lebih tinggi. Studi banding ini menunjukkan bahwa setiap kasus korupsi korporasi memiliki karakteristik unik yang memerlukan pendekatan hukum yang disesuaikan.

Rekomendasi untuk Pencegahan Korupsi Korporasi

  1. Peningkatan Transparansi dan Pengawasan: Mengadopsi teknologi seperti blockchain untuk mengamankan proses tender dan memastikan aliran dana yang transparan.
  2. Penegakan Hukum yang Konsisten: Memastikan bahwa seluruh korporasi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, terlepas dari pengaruhnya, dihukum sesuai dengan ketentuan hukum.
  3. Pendidikan Etika Bisnis: Mendorong perusahaan untuk mengadopsi nilai-nilai etika dalam operasional mereka, termasuk pelatihan reguler bagi direksi dan karyawan tentang anti-korupsi.

Tulisan ini telah mengupas secara mendalam konsep actus reus dan mens rea menurut Edward Coke dalam konteks tindak pidana korupsi, khususnya di Indonesia. Kedua konsep ini memberikan dasar yang kuat untuk membedakan antara tindakan fisik (perbuatan) dan niat jahat (kesengajaan), yang menjadi unsur utama dalam membuktikan kejahatan, termasuk korupsi.

Dalam konteks korupsi di Indonesia, actus reus diwujudkan melalui tindakan seperti manipulasi tender, penyuapan, atau penggelapan dana publik, sementara mens rea melibatkan niat jahat pelaku, baik individu maupun korporasi. Analisis kasus PT Duta Graha Indah (DGI) menjadi contoh nyata penerapan prinsip-prinsip ini, di mana KPK berhasil mengungkap kerugian negara akibat praktik korupsi korporasi. Proses hukum yang dilakukan, termasuk penetapan PT DGI sebagai subjek hukum, memperkuat penegakan hukum terhadap korupsi korporasi di Indonesia.

Dari berbagai perspektif, termasuk sejarah hukum, aspek sosial, dan penerapan hukum kontemporer, jelas bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan besar. Namun, upaya seperti penguatan regulasi, penegakan hukum yang tegas, dan penerapan teknologi dalam sistem pengawasan menjadi langkah penting menuju perbaikan. Kasus PT DGI memberikan preseden berharga dalam menunjukkan bahwa korupsi korporasi bukan hanya masalah individu, tetapi melibatkan struktur organisasi yang kompleks.

Sebagai refleksi, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan hukum, tetapi juga membutuhkan pendekatan holistik, termasuk reformasi sistemik, pendidikan etika, dan perubahan budaya yang menolak korupsi. Dengan kolaborasi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, korupsi dapat ditekan, menciptakan tata kelola yang lebih transparan dan adil untuk masa depan Indonesia.

DAFTAR PUSTAK

Anditya, L., & Rosita, S. (2023). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal Integritas: Kajian Antikorupsi Indonesia, 9(1), 34-56.

Lakso, A. (2023). Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, 3(1), 15-27.

Muchamad, C. (2022). Corporate Criminal Liability in Indonesia: Challenges and Solutions. Journal of Comparative Criminal Justice, 6(2), 101-120.

Suryawan, I. G., & Putri, A. T. (2023). Analysis of Vicarious Liability and Identification Doctrine in Corporate Corruption Cases. Asian Journal of Legal Studies, 5(4), 214-230.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun