Beberapa masyarakat Indonesia mungkin tidak mengetahui bagaimana sejarah kelam para eksil -- eksil Indonesia, namun sebelumnya saya mau menjelaskan siapa itu eksil -- eksil yang saya maksud tersebut.Â
Kata Eksil sendiri berasal dari kata bahasa Inggris exile yang berarti terasing, atau dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumahnya.
Eksil yang saya maksud di sini adalah mereka orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965.
Ketika itu Soekarno semasa masih menjabat sebagai presiden mengirimkan putra terbaik bangsa Indonesia untuk belajar ke luar negeri.
Mahasiswa Indonesia tersebut dikirim untuk belajar di berbagai bidang studi, antara lain teknik, kedokteran, pertanian, hingga sastra.Â
Mereka dikirim ke negara-negara yang memiliki kedekatan hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Soviet, Cina dan negara-negara Eropa Timur seperti Ceko, Rumania, dan Albania.Â
Namun pasca kejadian 65 dan naiknya rezim Orde Baru para mahasiswa yang dikirim ke luar negeri tersebut dianggap komunis dan Pro Soekarno hingga status kewarganegaraan mereka dicabut.Â
Tercatat sebanyak 1.500 orang yang dianggap eksil 65 dicap komunis oleh rezim Soeharto saat itu. Mereka tidak bisa pulang ke Indonesia. Selain itu para mahasiswa tersebut juga dicabut beasiswanya oleh Indonesia. Mereka menghidupi diri sebagai orang pelarian (eksil) di negara asing.
Hingga pada 1967, tercapailah sebuah kompromi. Dimana para eksil dibiarkan hidup di luar negeri, dengan menanggung biaya hidup sendiri.
Atas kompromi tersebut, pemerintah Indonesia menuntut para eksil agar tidak berpolitik dan tidak menentang pemerintahan Soeharto, serta wajib mempromosikan nama baik Indonesia.Â
Meski dibiarkan hidup, para eksil tetap merasa hidup tidak tenang dalam bayang -- bayang Orde baru. Gerak-geriknya diawasi agar tak bersentuhan dengan politik. Setiap tahun mereka harus melaporkan diri ke kantor kedutaan guna memperpanjang izin tinggal.Â
Di kantor kedutaan, mereka diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Dicecar pertanyaan oleh Minister Conselor dan sering kali diinterogasi oleh atase militer.
Padahal, beberapa dari mahasiswa tersebut di antaranya sedang menghadiri konferensi atau sekadar belajar tanpa tendensi ideologi. Banyak juga para eksil 65 yang sebenarnya berseberangan dengan PKI. Namun, mereka tetap diasingkan karena dianggap ancaman.
Salah satu kisah eksil tersebut pernah diabadikan salam sebuah film layar lebar pada tahun 2016 lalu.
Film dari Angga Sasongko yang berjudul "Surat dari Praha" kisah salah satu eksil tersebut diangkat kedalam layar lebar. Ialah Ronny Surjomartono alias Ronny Marton sedang berada di Ceko saat kudeta 1965 terjadi di Indonesia.Â
Pemuda Solo, Jawa Tengah, itu tengah berjuang menuntaskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Praha. Dia berangkat pada 1963, saat itu dirinya berstastus mahasiswa UGM namun ia memilih untuk melanjutkan tawaran beasiswanya keluar negeri sehingga membawanya hingga ke Praha.Â
Baru semester dua, ia mendengar kabar duka dari tanah kelahirannya. Jutaan orang dihilangkan hanya karena cap komunis. Ronny sendiri bukanlah komunis tapi dirinya tidak dapat menolak jika disebut Soekarnois. Dirinya sangat mengidolakan Soekarno.
Setelah mendapat kabar tersebut, status kewarganegaraan dan mahasiswanya dicabut. Saat itu dirinya mendengar kabar bahwa Orde Baru banyak menjebloskan orang tak berdosa ke penjara, bahkan tanpa diadili.Â
Keinginannya untuk pulangpun sirna terlebih apabila dirinya pulang akan dihadapkan dengan konsekuensi menjadi tahanan politik kategori C karena dianggap komunis dan pendukung Soekarno.Â
Akhirnya ia memutuskan untuk menetap di Praha dan berlindung di bawah palang merah internasional selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya rezim Ceko berubah menjadi demokrasi dan dirinya berhasil mendapatkan kewarganegaraan Ceko pada tahun 1991. Kisah hidupnya tersebut diangkat kedalam layar lebar yang dibungkus dengan kisah cinta.
Satu lagi mungkin yang masih hangat dalam ingatan kita yaitu seorang mantan eksil yang kini hidup sebagai pemulung. Soesilo Ananta Toer atau Soesilo Toer seorang doctor lulusan Rusia yang merupakan adik dari penyair ternama Indonesia Pramoedya Ananta Toer.Â
Soesilo Toer merupakan salah satu orang Indonesia yang sudah menapakan kaki di Kutub Utara. Dirinya berangkat ke Rusia saat itu untuk memenuhi tugas belajar yang difasilitasi oleh pemerintahan Soekarno pad 1962. Dalam gejolak Orde Baru dirinya masih melanjutkan kuliah hingga pada 1971 lulus dengan gelar doktor filsafat.
Setelah lulus dirinya bermaksud pulang ke tanah air, namun kedutaan Indonesia di Moskow melarangnya. Hingga dirinya diperintahkan oleh Kedubes saat itu untuk wajib lapor. Hal tersebut berlangsung hingga 2 tahun. Karena cintanya kepada Tanah Air niat untuk kembali ke Indonesia kembali hadir.Â
Sampai akhirnya dirinya kembali ke Indonesia pada 1973. Padahal sebelumnya banyak rekan -- rekannya yang menawarinya untuk bekerja di Rusia dan Belanda, posisinya sebagai anggota Amnesty Internasional juga sangat menguntungkan untuk bekerja di luar negeri, namun rasa cintanya pada Indonesia lah yang membuatnya kembali ke tanah air.
Padahal saat itu dirinya masuk kedalam data tahanan politik (Tapol) sehingga setibanya di Indonesia dirinya langsung dipenjara. Selama 6 tahun Soesilo Toer dipenjara, dan akhirnya dibebaskan.Â
Setelah menjalani masa hukuman, Soes banyak hidup di jalanan. Dia bekerja serabutan di luar kompetensinya sebagai doktor filsafat. Tanpa canggung dia berjualan pakaian dalam secara berkeliling.Â
Meski dengan penghasilan tak menentu, profesi itu tetap dilakoninya. Hingga akhirnya dirinya mendapat kenikmatan hidup sebagai seorang pemulung.
Sebenarnya para eksil tersebut sebelum berangkat ke luar negeri telah menandatangani sebuah perjanjian dengan pemerintah Soekarno. Yaitu wajib kerja selama 10 tahun kepada pemerintah.
Namun apalah daya ketika rezim telah berganti, status kewarganegaraan mereka dicabut dan ijazah yang mereka dapatkan selama di luar negeri tidak diakui oleh pemerintah.
Saat ini para eksil tinggal di negara negara eks komunis seperti Rumania dan Albania. Ada pula yang tinggal di Rusia, Cina, dan Kuba. Beberapa eksil juga hidup di Perancis, Belgia, Jerman Swedia, dan Belanda. Mereka yang telah resmi melepas status kewarganegaraannya tersebut kini mendapatkan status kewarganegaraan di Negara tempat mereka tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H