Mohon tunggu...
Lisa Aprilia Gusreyna
Lisa Aprilia Gusreyna Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Pembelajar Ilmu Hukum. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi RUU Masyarakat Adat untuk Masa Depan

18 April 2021   19:17 Diperbarui: 18 April 2021   20:58 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture By www.jurnalponsel.com

Jimly Asshiddiqie mendefinisikan hak konstitusional sebagai hak yang dijamin di dalam dan oleh konstitusi negara. Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 menegaskan, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak -hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang." Penjelasan pasal tersebut menafsirkan bahwa masyarakat adat memiliki eksistensi dan haknya diakui oleh konstitusi. Frasa Masyarakat Adat dan masyarakat tradisional dalam konstitusi memiliki koherensi dengan nomenklatur masyarakat adat. Adapun hak masyarakat adat yang dimaksud ialah hak ekonomi, hak sosial, hak politik, hak budaya, dan hak mengelola hutan.

UUD NRI 1945 sebagai aturan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan memuat prinsip dasar hukum, sebagaimana disampaikan Gustav Radbruch, tentang kepastian, keadilan, dan kemanfataan. Kepastian hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, adalah jaminan bahwa hukum itu dijalankan dalam hal ini yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya. Ditambahkan oleh Radbruch bahwa prinsip kepastian hukum merupakan tinjauan dari sudut pandang yuridis yang koheren dengan aturan hukum.

Hak Konstitusional yang Diciderai
Kesenjangan das sollen dengan das sein rupanya niscaya terjadi. Meskipun undang-undang menjadi jaminan, namun kerap kali  pelaksanaannya tidak sesuai  dengan  tujuannya.  Dalam kondisi demikian, kepastian hukum terciderai. Sejalan dengan hal tersebut, masih ditemukan pengingkaran amanat konstitusi yang berkaitan dengan hak masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data YLBHI yang menunjukkan terjadi pelanggaran hak masyarakat adat di Indonesia tahun 2020. Terdapat 13% masyarakat  adat  menjadi  korban  pelanggaran  hak  hidup, perampasan tanah dengan presentase nilai 20% hingga 13 kasus kriminalisasi masyarakat adat dengan jumlah korban 55 orang. Selain itu, ditemukan 19 kasus dalam konflik agraria dengan kategori  perampasan  tanah,  pengrusakan  kebun, pengusiran paksa, dibangun kebun atau pabrik secara sepihak, menentukan kawasan sepihak, dan permintaan meninggalkan lahan.

Penjelasan di atas menggambarkan kondisi masyarakat adat mengalami gelombang permasalahan yang harus segera diatasi. Adapun terdapat RUU masyarakat adat yang mengalami proses legislasi cukup panjang. Telah ada pembahasan RUU tentang masyarakat adat dalam Pansus tahun 2014 namun tidak selesai. Pada tahun 2017 RUU ini masuk dalam program legislasi nasional  (prolegnas)  prioritas.  Namun  hingga  akhir  jabatan anggota DPR periode 2014-2019 pemerintah tidak menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada DPR, sehingga RUU tidak dapat dilanjutkan pembahasannya, RUU a quo kembali masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.

Sederet permasalahan tidak terpenuhinya hak masyarakat adat padahal telah diakui dan dilindungi oleh konstitusi, ditambah terjadi penundaan pembahasan RUU Masyarakat Adat secara berulang, menjadi urgensi untuk disahkannya RUU ini. Kedepan, regulasi ini dapat menjadi jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang berprinsip pada kepastian, keadilan, dan kemanfataan. Hal tersebut dapat bermuara kepada tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat adat karena di dalamnya juga mengatur tentang mekanisme penyelesaian konflik masyarakat adat.

Catatan atas Substansi RUU
Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa hukum bukan undang-undang saja, dan hukum bukan hal yang sama dengan resmi belaka. Dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan tiga aspek yang menjadi pertimbangan yakni yuridis, filosofis, dan sosiologis. Hal tersebut sejalan dengan aliran sociological jurisprudence yang memberikan penjelasan bahwa hukum hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat dan merefleksikan nilai hidup di masyarakat. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena apabila terjadi sebaliknya maka tidak akan dapat bekerja dan akan mendapatkan tantangan.

Begitu pula, dalam konteks RUU Masyarakat Adat, terdapat tiga landasan utama yang mendasari penyusunan RUU ini. Pertama, landasan yuridis yang memandang adanya relevansi bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi. RUU ini memiliki landasan yuridis seperti adanya nomenklatur Masyarakat Adat dan masyarakat tradisional dalam konstitusi. Kedua istilah tersebut juga berhubungan dengan istilah masyarakat adat. Lebih rinci, penyebutan kedua istilah tersebut dijelaskan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945.

Kedua, landasan filosofis terkait dengan pembentukan hukum yang mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum falsafah yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI 1945. Aspek ini dapat dihubungkan dengan negara Indonesia yang memegang konsep welfare state atau negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea ke-4. Selain itu, dijelaskan mengenai eksistensi dan pengakuan masyarakat adat dalam konstitusi. Perlu dipahami bahwasanya masyarakat adat merupakan penyandang hak dalam mengurus diri sendiri karena pada hakikatnya merupakan masyarakat yang memiliki sistem pengurusan sendiri.

Ketiga, landasan sosiologis memiliki kedalaman makna bahwa hukum dibentuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan berlakunya hukum juga diterima oleh masyarakat. Secara sosiologis, RUU ini menegaskan fakta Indonesia yang merupakan negara majemuk, yang di dalamnya terdiri atas masyarakat yang beragam. Dengan demikian, negara hendaknya mengambil peran untuk mengakomodir keberagaman itu untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan kepastian dalam pemenuhan hak masyarakat adat.

Namun demikian, dalam RUU ini masih ditemukan celah yang berpotensi membahayakan masyarakat adat itu sendiri. Sebut saja mengenai pengakuan masyarakat adat yang dijelaskan dalam Pasal 4 sampai Pasal 19 RUU Masyarakat Adat, dimana pengakuan diberikan dengan syarat pendataan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2), yakni memiliki komunitas tertentu dalam bentuk paguyuban, mendiami wilayah adat secara turun temurun, memiliki kearifan lokal dan identitas budaya, memiliki perangkat hukum yang ditaati masyarakat adat, dan memiliki kelembagaan adat yang diakui. Selain itu terdapat tahapan pengakuan berdasarkan Pasal 5 yang terdiri atas identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan.

Persyaratan dan tahapan pengakuan masyarakat adat masih sangat teknokratik dan birokratis. Hal tersebut disebabkan proses yang panjang dan rumit, yang khususnya karena penetapan keputusan Kepala Daerah diubah menjadi keputusan Menteri. Selain itu, pengakuan hak hanya bersifat deklaratif. Artinya, arah kebijakan yang baik dalam konteks ini adalah dengan mengutamakan multidimensi seperti subyek, objek, dan jenis hak yang dinamis dan relevan dengan masyarakat adat. Kemudian perlu adanya perubahan sifat deklaratif menuju ke mekanisme pengakuan berdasarkan aspek sosial-administratif.

Lebih lanjut, dibahas dalam rancangan mengenai bab evaluasi terhadap pengakuan Masyarakat Adat yang telah ditetapkan dan dilakukan dalam 10 tahun sekali. Pengakuan Masyarakat Adat akan dihapuskan oleh Menteri apabila dalam hasil evaluasi ditemukan persyaratan yang tidak terpenuhi. Hapusnya pengakuan tersebut berakibat kepada perubahan status tanah adat menjadi tanah negara. Hal tersebut tentu mengalihkan keberadaan masyarakat adat sebagai subyek hukum yang memiliki hak ulayat. Hal ini, bertentangan dengan pendapat Van Vollenhoven, yang menyatakan bahwa hak ulayat merupakan hak tertinggi terhadap tanah dalam hukum adat yang diberikan Masyarakat Adat untuk dapat menguasai dan mengambil manfaatnya. Menurut saya, Bab evaluasi perlu dihapus dalam RUU a quo dikarenakan justru menggerus hak masyarakat adat.

Pada dasarnya, masyarakat adat memerlukan payung hukum melalui berlakunya RUU Masyarakat Adat. Adanya regulasi ini di kemudian hari menjadi udara segar bagi masyarakat adat karena menjadi jaminan perlindungan sehingga mendapatkan kesejahteraan. Penundaan pembahasan RUU ini perlu diperhatikan kembali, terlebih karena penundaan tersebut tidak membahas pokok pengaturan RUU yang memperhatikan living law dan nilai hidup masyarakat adat.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Daftar Pustaka:
- Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
- Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Prof.Dr. B. Arief Sidharta, S.H.
- Pengantar Ilmu Hukum, Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmadja dan Dr.B. Arief Sidharta, S.H
- Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, S.H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun