Mohon tunggu...
Lisa Aprilia Gusreyna
Lisa Aprilia Gusreyna Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Pembelajar Ilmu Hukum. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Diskursus Demokrasi dan Hukum

6 Februari 2021   11:42 Diperbarui: 6 Februari 2021   18:29 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Berbagai kebijakan hukum yang ada diharuskan untuk tidak hanya mampu "mengutopiakan" kehidupan demokrasi yang berkualitas, namun juga mencegah terjadinya berbagai upaya pencideraan terhadap demokrasi dan konstitusi."

Ketika merefleksikan kembali kepada esensi pentingnya ruang manifestasi bagi gagasan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, maka frasa "demokrasi" saya kira akan menjadi konsep utama yang muncul dan ditawarkan dalam diskursus-diskursus itu. Hal ini tentu berkaitan dengan realita kehidupan bernegara saat ini dimana demokrasi tidak hanya ada sebagai suatu ide intelektualitas, namun juga lambang legitimasi kekuasaan politik yang determinan terhadap berbagai bidang kehidupan lainnya (Dunn, 2005).

Konsekuensi dari simbolisme deterministik ini tentu mengakibatkan hampir seluruh permasalahan dan isu-isu yang terjadi, khususnya dalam ranah sosio-politik memiliki pertalian dengan gagasan-gagasan demokrasi. Sebagai suatu konsep besar, ide demokrasi bukanlah suatu buah pikiran baru. Ide demokrasi telah ada sejak abad ke-5 SM, tepatnya di era Yunani Kuno, dan bermakna kekuasaan rakyat/rule of the people yang dipersandingkan dengan frasa "aristokrasi" (kekuasaan elit/rule of an elite) (Wilson, 2006).

Pada masa itu, kota-kota di Yunani seperti Athena menjalankan demokrasi dalam bentuk langsung (direct democracy), dimana masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung dalam wujud majelis legislatif yang terdiri dari semua warga negara-kota Athena (Grinin et al, 2004).

Konsep dan mekanisme dasar ini kemudian terus berkembang seiring dengan perubahan kebutuhan, munculnya berbagai kritik dan kelahiran gagasan baru. Pada masa Rennaisance di Eropa (abad ke-14 hingga ke-17), dunia intelektual diwarnai oleh argumen atau kritik dari berbagai filsuf politik besar barat yang terus bermunculan, seperti Rousseau yang memandang demokrasi secara pesimistis karena konsep demokrasi dianggap tidak mampu melalui proses intergrasi ke dalam suatu representative institutions, sehingga kemudian ia berasumsi bahwa demokrasi lebih sesuai dengan bentuk negara-negara atau kekuasaan kecil seperti aristokrasi atuapun monarki (Wade, 1976).

Selain Rousseau, filsuf politik lain di masa yang sama misalnya Locke melihat secara lebih luas konsep mayoritas dalam demokrasi dari tiga sudut pandang terkait relasi mayoritas terhadap legitimasi pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya terhadap masyarakat (Marini, 1969). 

Klimaks dari proses berpikir ini kemudian terwujud paska berakhirnya era Rennaisance tepatnya melalui Revolusi Prancis yang terjadi pada tahun 1789-1799, dimana peristiwa itu memberikan gagasan fundamental bagi demokrasi liberal yang menjadi salah satu bentuk dominan demokrasi modern (Livesey, 2001).

Kehadiran gagasan-gagasan kontemporer terkait demokrasi di abad ke-20 seperti demokrasi agregratif, demokrasi deliberatif maupun demokrasi radikal menjadi suatu sinyal berseminya pembaharuan maupun sumbangsih pemikiran-pemikiran bagi ruang intelektualitas demokrasi. Terlebih paska berakhirnya Perang Dunia 2, penetrasi demokrasi dalam kehidupan bernegara mencapai kejayaannya terutama di kawasan-kawasan yang sebelumnya menjadi basis fraksi-fraksi anti-demokrasi.

Seperti Eropa Barat yang sebelumnya di dominasi kelompok-kelompok fasis totalitarian, paska berakhirnya Perang Dunia 2, wilayah tersebut telah berubah menjadi "laboratorium demokrasi" dengan terwujudnya berbagai konstruksi demokrasi yang memiliki karakteristik khusus akibat dibentuk oleh berbagai pengaruh seperti aspek historis dan kesadaran-kesadaraan kebangsaan yang dimiliki negara tersebut (Conway, 2002). 

Gambaran-gambaran singkat perjalanan demokrasi tersebut telah menunjukan bahwa perkembangan demokrasi tidak terjadi dalam ruang institusi intelektual yang tertutup, namun juga terjadi akibat penretrasi berbagai aspek-aspek lain yang memainkan peran dalam membentuk mekanisme maupun tujuan dari demokrasi tersebut.

Aliran-aliran pemikiran demokrasi diatas kemudian kembali bermuara pada wadah besar konsep demokrasi dengan nilai-nilai maupun prinsip yang berperan sebagai kerangka utama penopang kristalisasi ide demokrasi ke dalam praktik kehidupan bernegara. Pada posisi paling esensial, demokrasi dihidupkan dengan nilai utama yang menjadi semangatnya yakni partisipasi dalam pemerintahan dan kebebasan kehendak dalam berpolitik atau freedom of political self-determination (Kelsen, 1955).

Nilai yang memberikan demokrasi karakteristik khusus tersebut kemudian dikonkritisasi melalui berbagai upaya reformatif yang menjadi alat bantu dalam memahami gerak atau pola demokrasi.

Upaya-upaya tersebut diintergrasikan kedalam elemen penting yakni hak asasi sebagai suatu respon atas kebutuhan pengakuan atas kebebasan/kemerdekaan (freedom), hal ini kemudian yang mendorong Beetham untuk memproyeksikan keberadaan suatu relasi mandatori antara hak asasi dan demokrasi dengan menyatakan bahwa, "The guarantee of civil and political rights provides an essential foundation for all the other dimensions of democracy" (Beetham, 2004).

Sehingga dalam pembahasan selanjutnya di dalam tulisan tersebut ia mengidentifikasikan sejumlah hak-hak sipil yang menjalin hubungan esensial dengan demokrasi, salah satunya yakni kebebasan berserikat dan berkumpul.

Menyadari keberadaan interaksi antar hak asasi dan demokrasi tersebut, maka yang akan menjadi pertanyaan selanjutnya yakni sejauh mana peran atau pengaruh keberlangsungan kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut terhadap proses demokrasi suatu negara?

Salah satu analisis paling awal dan mendalam yang memberikan fondasi bagi pemahaman akan konsep "berserikat & berkumpul" disampaikan oleh seorang ilmuwan politik asal Prancis yakni Alexis de Tocqueville melalui buku fenomenalnya dengan judul "Democracy in America" yang secara umum mengkaji peningkatan standar hidup (living standards) dan kondisi sosial serta hubungannya dengan pasar dalam masyarakat barat.

Ia memberikan definisi terhadap "association" sebagai kumpulan individu yang mematuh suatu doktrin atau pemahaman tertentu dan berupaya untuk memperjuangkan doktrin atau pemahaman tersebut dengan cara-cara tertentu (Tocqueville, 2002). Dari definisi yang luas dan umum tersebut, Tocqueville melihat keberadaan perkumpulan sipil-politik memiliki peran yang vital dalam kehidupan politik negara demokrasi.

Hal ini yang kemudian membuat sejumlah tulisan lain yang berlandaskan dari gagasan Tocqueville, seperti yang dijelaskan oleh Craiutu bahwasannya demokrasi sangatlah bergantung terhadap suatu "vibrant associational life", dan perkumpulan merupakan salah satu perwujudannya sekaligus variabel utama yang dapat meningkatkan maupun menentukan kualitas demokrasi, seperti misalnya melalui deliberasi ruang-ruang-ruang musyawarah publik (Craiutu, 2008).

Selain pendapat Craiutu tersebut, pendapat lain seperti yang diungkapkan oleh Levy yang mengkonstruksikan argumennya dengan melihat lebih jauh substansi yang terdapat di dalam relasi demokrasi dengan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai suatu "intermediate groups" yang memberikan ruang alternatif bagi interaksi masyarakat dan negara sekaligus manifestasi perlawanan terhadap berbagai tindakan yang mengancam kebebasan sipil maupun pribadi yang datang dari penguasa (Levy, 2015).

Sehingga dapat saya katakan bahwa kedalaman hubungan antara demokrasi dengan kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sebatas hubungan sepihak dimana kebebasan berserikat dan berkumpul semata yang membutuhkan ekosistem demokrasi untuk bertahan hidup (proses konkritisasi nilainilai demokrasi) melainkan demokrasi itu sendiri secara nyata membutuhkan keberadaan maupun praktik kebebasan berkumpul sebagai indikator demokrasi yang sehat.

Gagasan-gagasan tersebut mendorong negara untuk melakukan berbagai upaya yang dapat menjamin keberlangsungan kebebasan berserikat dan berkumpul dalam kehidupan demokrasi, salah satu bentuk upaya yang ditawarkan adalah dengan menggunakan hukum sebagai elemen utama yang dimiliki negara berdaulat dan beradab. Peran hukum dalam proses demokrasi negara digambarkan oleh Habermas sebagai suatu interelasi atau hubungan timbal balik yang bersifat esensial.

Ia mendasarkan argumen tersebut dengan melihat dari perspektif normatif bahwasannya terdapat suatu hubungan konseptual yang tidak hanya bersifat historis antara hukum dan demokrasi, melainkan jika ditelaah lebih jauh maka dapat diketahui bahwa hubungan tersebut merupakan dampak dari konsep hukum modern dan keberadaan suatu realita yang melihat bahwa hukum positif tidak lagi mampu memperoleh legitimasinya hanya dari hukum yang lebih tinggi (Habermas, 1995).

Tesis yang diajukan oleh Habermas tersebut menunjukan legitimasi hukum yang bersumber dari hukum positif tidaklah cukup bagi hukum itu sendiri, namun juga harus dilengkapi dengan suatu legitimasi yang bersumber dari suatu moralitas otonom.

Berangkat dari argumen tersebut, maka dapat saya simpulkan bahwa kebutuhan hukum akan legitimasi moralitas otonom yang mampu dihasilkan oleh demokrasi harus dilakukan dengan memanfaatkan peran yang dimiliki hukum yakni sebagai instrumen otoritatif maupun imperatif, dalam hal ini, konsep hukum yang dikonstruksikan harus mampu mengakui dan menjamin pelaksanaan wujud-wujud demokrasi dalam kehidupan bernegara, termasuk salah satunya yakni kebebasan berserikat dan berkumpul.

Berbagai kebijakan hukum yang ada diharuskan untuk tidak hanya mampu "mengutopiakan" kehidupan demokrasi yang berkualitas, namun juga mencegah terjadinya berbagai upaya pencideraan terhadap demokrasi dan konstitusi. Pada tahap ini negara diharapkan mampu lebih jeli dalam melihat berbagai potensi terjadinya degradasi praktik demokrasi baik yang bersifat praktis maupun substantif, termasuk dengan upaya-upaya yang dibenarkan oleh konstitusi.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Referensi bacaan:

-Effendi, M., & Evandri, T. S. (2014). HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, Dan Sosial. Bogor: Ghalia Indonesia.

-https://doi.org/10.22146/jf.23231 (ETIKA DISKURSUS BAGI MASYARAKAT MULTIKULTURAL: Sebuah Analisis dalam Perspektif Pemikiran Jrgen Habermas)

-Sajipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun