…..
Temanku, mempunyai project membuat sebuah pameran patah hati. Sesuatu yang erat dengan kesedihan yang ditimbulkan dari hati yang patah, akan ditunjukkan dan dipamerkan ke mata orang lain; ke dunia.
Hal-hal yang mungkin selama ini hanya aku tangisi sendiri, hanya aku bagi dengan orang terdekat, ia ajak untuk diperlihatkan pada orang-orang asing, orang yang mungkin tidak mengenalku. Tawaran itu membuat aku membongkar isi kamar. Mencari-cari benda apa yang masih ditinggalkan masa lalu. Barang apa yang menyisakan luka perasaan di tiap ruasnya. Proses ini yang membuat aku harus memiliki keberanian lebih. Keberanian untuk menatap lagi hal-hal yang tak ingin aku ingat. Tapi, apa benar aku benar-benar tak ingin ingat lagi? Sedangkan dalam kenyataannya ada banyak hal yang masih tersimpan di sana.
Dulu, aku pernah membersihkan kamar ini, dan sudah membuang sebagian besar barang peninggalan masa lalu yang sudah tidak penting dan tidak berguna. Namun, rupanya tidak segampang itu habis. Ada yang masih aku sisakan. Ada yang masih sengaja aku simpan. Aku sisihkan dari benda-benda yang hendak aku buang.
Terlepas dari benda-benda tak bernyawa, rupanya ingatan jauh lebih mengerikan.
Benda-benda itu mentransmisikan sesuatu di luar kebendaannya. Mereka membawa perasaan kembali ke saat benda itu pertama ada di tanganku, sungguh sangat metafisik. Dari yang berwujud bisa menimbulkan perasaan-perasaan abstrak yang tak bisa aku definisikan.
Tiba-tiba aku merasa kamarku sudah berantakan. Terlalu banyak benda yang berserakan. Benda-benda yang sudah usang dan berdebu. Benda-benda yang sudah dijilati waktu. Seperti itu juga perasaanku, tak karuan dan hanya termangu-mangu. Ada satu kertas berisi puisi dari mantan kekasihku yang penyair. Tulisan di atas kertas itu sudah agak buram. Kertasnya juga sudah menguning dan berdebu. Benda itu yang paling using, tapi yang paling banyak menyita air mata. Kuputuskan, tak ada yang akan kukirimkan untuk dipamerkan.
Pameran berlangsung di bulan Februari, bulan yang identik dengan hari kasih sayang. Di bulan penuh cinta, pameran ini justru merayakan hati yang patah. Unik sekali. Lucu-lucu sekali barang-barang yang dipamerkan. Ada kumpulan nota restoran yang dijadikan satu dalam sebuah bingkai. Ada sebuah foto dan selembar tiket perjalanan kereta api, kumpulan kartu pos, sampai batu dan sandal japit. Melihat barang-barang itu aku hanya bisa senyum-senyum sendiri. Aku masih belum sampai hati memamerkan kenangan, dan memilih masih menyimpannya dalam-dalam serta rapat-rapat.
Di dalam remangnya ruang pameran tiba-tiba kulihat diri penyairku yang dulu. Samar kupikir aku hanya berhalusinasi. Namun ternyata ia benar-benar ada di sana. Ia melihatku. Di tengah ramainya orang-orang memenuhi pameran, aku dan dia berpandangan dalam diam sejenak. Mencoba menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari penglihatan kami.
“Kamila…”
“Sama siapa ke sini?” aku langsung bertanya.