Mohon tunggu...
Cak Koekoeh
Cak Koekoeh Mohon Tunggu... Administrasi - Researcher

"Banyaknya ilmu yang beterbangan diatas kepala kita, maka ikatlah dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Strategic Patience pada Sengketa Teritorial di Laut China Selatan

17 Mei 2024   05:41 Diperbarui: 17 Mei 2024   05:47 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sengketa teritorial Laut China Selatan (LCS) telah menjadi salah satu masalah keamanan terpenting di Indonesia dan juga dapat memicu konflik besar antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perselisihan mulai meningkat setelah Tiongkok merilis peta yang dibuat berdasarkan sejarahnya. Peta tersebut menunjukkan nine-dash line (NDL) di sekitar LCS, yang menandai klaim Tiongkok atas wilayah tersebut.

Indonesia memang bukanlah pihak yang terlibat secara langsung dalam sengketa LCS namun mempunyai kepentingan strategis dan ekonomi dalam menjaga perdamaian dan stabilitas karena zona ekonomi eksklusifnya tumpang tindih dengan beberapa negara tetangga, terutama dengan nine-dash line tersebut.

Indonesia tidak hanya harus memikirkan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan peran yang lebih besar dalam membantu kawasan menghindari eskalasi dan konflik yang dapat menyebabkan ketidakstabilan regional dan perekonomian. Kemampuan militer saja tidak akan cukup dalam menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah yang disengketakan, namun juga diperlukan kesabaran secara strategis untuk meminimalkan faktor-faktor yang mengganggu stabilitas di LCS. 

Sengketa Teritorial 

Suatu wilayah selalu dapat dibagi secara fisik, dan seringkali terdapat sumber daya di dalam atau di sekitar wilayah yang disengketakan. Bahkan kedaulatan pun bisa dibagi-bagi. 

Terdapat sejarah panjang negara-negara yang berbagi kedaulatan atas wilayah atau mengusulkan pengaturan yang layak untuk berbagi kedaulatan dan sumber daya, sehingga dapat hidup saling berdampingan dalam jangka waktu yang lama. Permasalahan sengketa teritorial itu sendiri meliputi lokasi ujung batas daratan, penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dalam dan luar 200 mil laut.

Di LCS, sejak tahun 1947, Tiongkok mengeluarkan peta dengan sebelas garis putus-putus (direvisi menjadi nine-dash line oleh Tiongkok pada tahun 1952) yang menguraikan klaimnya atas Laut China Selatan, meliputi Kepulauan Spratly dan Paracel. Peta ini menandai awal dari penegasan formal kedaulatan Tiongkok atas pulau-pulau ini dan sebagian besar Laut China Selatan, yang mencakup sekitar 90% dari wilayah seluas 3 juta kilometer persegi.

Perselisihan di LCS memainkan peranan penting tidak hanya dalam hubungan antar negara penggugat tetapi juga dalam kebijakan luar negeri negara-negara seperti Jepang dan Amerika Serikat. 

Keterlibatan negara-negara tersebut berangkat dari kepentingan strategis keduanya dalam menjaga kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan menegakkan hukum internasional. Sengketa tersebut juga melibatkan tumpang tindih hak dan klaim maritim, teritorial, dan penangkapan ikan oleh Tiongkok, Taiwan, Brunei, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.

Bagi indonesia, permasalahan utamanya adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut China Selatan, yang membentang di utara Kepulauan Natuna, bersinggungan dengan NDL dari Tiongkok. 

Konflik Laut Natuna Utara diperkirakan akan menjadi isu keamanan domestik dan nasional terpenting bagi Indonesia dimasa depan. Perairan yang disengketakan tersebut memiliki kepentingan strategis bagi Indonesia karena mengandung sumber daya alam yang berharga dan berfungsi sebagai jalur perdagangan maritim. 

Setiap peningkatan ketegangan di kawasan LCS dapat membahayakan kendali Indonesia atas ZEE dan melemahkan kepentingan keamanan nasional. Meskipun Indonesia ingin menarik investasi Tiongkok dalam skala besar, kedaulatan nasional Tiongkok terancam oleh keengganan Indonesia untuk mengakui NDL tersebut.

Strategic Patience di Laut China Selatan  

Strategic patience menggabungkan strategi dan kesabaran mengacu pada kebijakan luar negeri yang terdiri dari penghentian tindakan militer langsung oleh suatu negara, penggunaan sanksi diplomatik dan strategis yang hati-hati, dalam pendekatan kepada negara musuh, dari posisi yang berbahaya atau tidak menguntungkan, ke pendekatan yang lebih aman atau menguntungkan. 

Dinamika inilah yang menjadikan doktrin strategic patience berhasil terhadap efektivitasnya dalam mencapai tujuan strategis jangka panjang. Jika dua negara berada pada ambang batas paralel, maka tidak ada satu negara pun yang dapat dikatakan melakukan strategic patience.

Pendekatan Tiongkok terhadap sengketa LCS mencerminkan semacam strategic patience, yaitu Tiongkok menunggu peluang untuk menegaskan klaimnya dengan lebih kuat, yang difasilitasi oleh peningkatan kemampuan militernya. Meskipun langkah awal dimulai pada tahun 1980, ketegasan dan kemampuan yang signifikan telah terlihat jelas sejak awal tahun 2000, dengan peningkatan yang signifikan pada tahun 2010 melalui pembangunan infrastruktur dan sikap strategis. 

Peran yang diinginkan Tiongkok terletak pada upaya membangun konsensus, membangun institusi, memajukan kerja sama, dan mengoordinasikan hubungan antar negara kawasan. Pendekatan Strategic patience ini didasarkan pada asumsi yang jauh lebih realistis mengenai semakin matang pengembangan teknologi seperti sensor baru, senjata hipersonik, atau pengenalan target otomatis.

Disisi lain, jika Tiongkok dan Filipina (sekutu Amerika) terlibat dalam konflik mengenai sengketa wilayah, sebagai sekutu Amerika Serikat tidak punya pilihan lain selain menghadapinya. Meskipun kemungkinan besar tidak akan meningkat menjadi konfrontasi antara Tiongkok dan Amerika Serikat atau ASEAN, namun demikian ketegangan apa pun yang dipicu oleh pihak ketiga pasti akan memberikan dampak jangka panjang terhadap stabilitas regional dan integrasi ekonomi. 

Oleh karena itu, negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat tidak hanya harus lebih menahan diri dan bersabar secara strategis, namun negara-negara ASEAN juga harus menahan diri untuk tidak menantang kepentingan inti Tiongkok guna meminimalkan potensi faktor-faktor yang mengganggu stabilitas di LCS.

ASEAN sendiri menyimpan pelajaran tentang multipolaritas, solidaritas di antara negara-negara yang memiliki persamaan pandangan, dan keyakinan strategis yang dipadukan dengan strategic patience dalam menghadapi Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jinping sejak ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 2012. 

Para perencana kebijakan di ASEAN memerlukan strategic patience dan sistem respons yang gesit dalam bertindak berdasarkan isyarat global dan mendorong ASEAN menuju platform simetri dimasa depan. Mengingat sifat strategis dari kebijakan ini, beberapa pendukung kebijakan memberikan argumen yang kuat mengenai dampak jangka panjangnya. Jika diterapkan secara konsisten selama bertahun-tahun atau bahkan satu atau dua dekade, kebijakan strategic patience akan membuahkan hasil yang baik.

Rekomendasi

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki andil besar dalam isu persaingan di Laut China Selatan. Terdapat empat alasan pentingnya Laut China Selatan bagi Indonesia. Pertama, tumpang tindih ZEE dengan NDL dipandang sebagai ancaman kedaulatan. Kedua, aspek ekonomi Laut Natuna Utara. Ketiga, kemitraan strategis dengan Tiongkok. Kempat, sengketa maritim yang berkepanjangan dan belum terselesaikan dengan China berpotensi mengancam keamanan perbatasan dan maritim Indonesia. Secara praktis, LCS adalah tempat untuk jalur pelayaran global serta perdagangan antar wilayah transit melalui perairan yang memerlukan stabilitas keamanan dan pertumbuhan ekonomi kawasan.

Menghadapi sengketa teritorial di Laut China Selatan, Indonesia memerlukan kehati-hatian dan penuh perhitungan dalam mengelola kepentingan dan hubungannya dengan negara-negara tetangga yang terlibat sengketa tersebut, khususnya Tiongkok sebagai sebuah strategic patience strategy. Indonesia perlu menekankan pentingnya menegakkan hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), sebagai dasar penyelesaian sengketa di Laut China Selatan serta membuka dialog damai dan kerja sama multilateral di antara negara-negara pengklaim untuk mencegah peningkatan ketegangan.

Selain itu, peningkatan kapabilitas maritim dan memperkuat kemitraan regional melalui inisiatif seperti patroli dan latihan bersama dengan negara-negara kawasan guna membangun kepercayaan dan mendorong kerja sama keamanan regional, untuk menegaskan kehadiran di Laut China Selatan sambil menghindari konfrontasi langsung dengan negara-negara besar seperti Tiongkok. 

Namun demikian, pengembangan kemampuan militer saja tidak cukup dalam strategic patience strategy tanpa diikuti konsistensi serta dengan dukungan pengembangan teknologi. Kemajuan teknologi dapat mengarah pada peningkatan efisiensi, efektivitas, dan presisi dalam operasi militer, yang akan memberikan output yang lebih baik dimasa depan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun