Mohon tunggu...
Cak Koekoeh
Cak Koekoeh Mohon Tunggu... Administrasi - Researcher

"Banyaknya ilmu yang beterbangan diatas kepala kita, maka ikatlah dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kompetisi Aspek Sumber Daya pada Sengketa Teritorial di Laut China Selatan

30 Maret 2024   11:17 Diperbarui: 30 Maret 2024   11:19 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Laut Cina Selatan (LCS) telah menjadi titik fokus, memicu rivalitas dan berdampak pada sengketa teritorial dengan batas maritim dan hak yang belum terselesaikan. Meskipun penyelesaian komprehensif atas sengketa teritorial di LCS tampaknya sangat kecil kemungkinannya, terdapat konsensus bahwa negara penggugat harus memprioritaskan sumber daya alam dibandingkan klaim teritorial guna menjaga stabilitas dan mendorong perdamaian sampai batas tertentu. 

Hal ini menurut Kim (2020), telah memicu persaingan untuk menguasai perairan, dasar laut, dan sumber daya di sekitarnya, karena keduanya saling berkaitan. Sengketa teritorial sendiri melibatkan kedaulatan nasional negara dan integritas teritorial yang didorong akibat kompetisi pada sumberdaya. Menurut Kilduff (2019), benih awal rivalitas ditabur melalui kompetisi memperebutkan sumberdaya. Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki andil besar dalam isu persaingan di LCS. Menurut Kipgen (2021), terdapat beberapa alasan pentingnya LCS bagi Indonesia antara lain: a) Hak kedaulatan, b) Faktor ekonomi, c) Kemitraan Strategis, d) Ancaman Keamanan maritim.

Faktor Kunci Kompetisi Aspek Sumberdaya pada Sengketa teritorial.

Sumberdaya (resource) adalah segala sesuatu yang digunakan untuk berfungsi dan beroperasi secara efektif. Sumberdaya juga dapat disebut sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Dalam kompetisi pada sengketa teritorial, aspek sumberdaya diidentifikasi menjadi dua bagian yaitu sumberdaya yang terlihat (tangible) dan sumberdaya yang tidak terlihat (intangible). 

Faktor sumberdaya tangibel. Menurut Zhang & Bateman (2017), menghubungkan sumber daya dengan potensi pergeseran konseptual dari gagasan klasik tentang keamanan dari ancaman militer dikaitkan dengan rantai proses "alami" keamanan sumberdaya fisik. Fang dan Li (2020), menjelaskan bahwa teritorial memang dapat dibagi secara fisik, sehingga ketidakterpisahan teritorial harus dibangun secara sosial dan ada dalam keyakinan aktor pemangku kebijakan. Ditinjau dari faktor intangible, Military Power, population demographics, dan Military Spending tetap menjadi faktor dominan. Akuisisi dan proyeksi kekuatan militer memiliki potensi untuk meningkatkan kemampuan dalam memainkan pola perang dan perdamaian pada sengketa teritorial.

Dalam tinjauan astagatra, demografi Indonesia yang besar menjadi faktor penting dalam menentukan kepentingan nasional dan regional dalam sengketa teritorial di LCS. Jumlah penduduk yang besar ini memberikan Indonesia kekuatan politik dan ekonomi yang signifikan dalam menghadapi negara-negara lain yang terlibat dalam sengketa teritorial tersebut. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan energi dan pangan yang terus meningkat, Indonesia memiliki kepentingan strategis dalam mengamankan akses ke sumber daya alam di wilayah tersebut dan memberikan jaminan untuk memperoleh sumber daya alam yang cukup bagi masyarakat Indonesia. Penting untuk memahami dan mengelola faktor-faktor demografi ini secara bijaksana guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan menjaga keseimbangan keamanan dikawasan LCS.

Faktor sumberdaya intangibel. Human resource masih menjadi faktor yang paling dominan daripada faktor lain seperti diplomatic, leadership, state commitment, dan Innovation. Negara-negara kecil di kawasan sering sangat bergantung pada barang-barang penting dalam jumlah terbatas untuk ekspor. Selain itu menurut Plagemann (2022), aparatus politik mereka yang kecil, terutama di negara berkembang, biasanya membatasi pengembangan kekuatan diplomatik dengan pengetahuan khusus dan sumber daya manusia yang beragam, sehingga pengambil kebijakan harus menanggapi upaya terkait dengan menetapkan kebijakan yang tepat melalui dukungan keuangan dan sumber daya manusia. 

Dalam hal kepemimpinan, para pemimpin ASEAN perlu memperhatikan kritik konstruktif tentang efektifitas kepemimpinan mereka dalam mendorong kerja sama regional di kawasan Indo-Pasifik (Anwar, 2020). Dalam astagatra, setelah konsolidasi demokrasi, perlahan-lahan Indonesia mendapatkan kembali kepemimpinan regional dengan keyakinan normatif baru sebagai salah satu negara paling demokratis di kawasan. 

Sementara itu, keberadaan isu yang diperdebatkan sebagai alat menciptakan kondisi dasar untuk kompetisi dan konflik antar negara, namun demikian terdapat isu yang lebih menonjol lebih cenderung menghasilkan komitmen sumber daya tingkat tinggi dan kemauan untuk menanggung biaya yang signifikan (Hensel, 2008). Sementara masalah keamanan non-tradisional diprioritaskan, negara-negara anggota harus berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan (Yee, 2011). Disinilah pentingnya state commitment dari beberapa negara yang bersengketa.

Dampak kompetisi aspek sumberdaya pada sengketa teritorial di LCS. 

Kompetisi sengketa teritorial di LCS didominasi berupa persaingan sumber daya alam (minyak, gas, perikanan, lingkungan laut), kemampuan militer, sejarah negara, hegemoni negara, kompetisi antar pemimpin daerah, ideologi dan budaya. Terdapat enam enam faktor dampak dari adanya sengketa teritorial itu sendiri, yaitu a) Ketidakstabilan regional; b) Potensi Konflik Senjata; c) Sharing both the sovereignty of and the right to use the territory; d) Pertumbuhan ekonomi; e) Balance of power; f) Bargaining position.

  • Ketidakstabilan Wilayah. Dominasi geopolitik kawasan saat ini sedang berubah dari kekuatan militer ke arah efisiensi ekonomi. Memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan ekonomi luar negeri dan keuntungan pembangunan sangat penting untuk memastikan keberlanjutan internal. Kim (2016) mengklaim bahwa negara-negara ASEAN kini menghadapi ketidakpastian politik dan kekhawatiran strategis karena meningkatnya agresivitas dan pengaruh Tiongkok di kawasan LCS. Untuk meningkatkan keamanan dan kesiapan militernya menghadapi konfrontasi di masa depan, Tiongkok ingin membangun garis pertahanan jauh dari pantainya.
  • Potensi Konflik Bersenjata. Sengketa teritorial sering kali mengakibatkan perang militer, dan hal ini sangat penting mengingat betapa pentingnya wilayah dalam menimbulkan ketegangan dan konflik antar negara. Sebaliknya, proses ini mendorong mereka untuk lebih mengutamakan daya saing dan kerja sama ekonomi dibandingkan konflik dan ekspansi militer, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap dampak buruk perang bersenjata.
  • Sharing both the sovereignty of and the right to use the territory. Meskipun mempunyai kendali teritorial dan hak untuk menjalankan kedaulatan, suatu negara harus memberikan kompensasi kepada tetangganya secara politik atau ekonomi. Insentif strategis kedua bagi Tiongkok adalah berkontribusi aktif dalam pemeliharaan LCS yang tenang dan stabil. Negara-negara pesisir LCS, termasuk Tiongkok, semuanya memiliki tujuan yang sama untuk mengubah laut menjadi surga perdamaian.
  • Pertumbuhan Ekonomi. Alasan ekonomi terkait dengan Laut Cina Selatan, sehingga menjadikannya penting. Keterhubungan ekonomi mempunyai akibat teritorial yang disebut geopolitik. Sekalipun hal ini tidak bersifat sementara, negara-negara dan pihak-pihak penting lainnya harus mengambil keputusan untuk memajukan komitmen jangka pendek mereka agar hubungan ekonomi dapat terwujud. Faktor ekonomi, seperti dijelaskan oleh Zhang & Bateman (2017), terbukti cukup efektif dalam mencegah insiden kecil menjadi tidak terkendali di LCS.
  • Balance of power. Negara-negara cenderung mempertahankan kepentingan vital mereka terhadap ancaman eksternal karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi untuk menyelesaikan perselisihan. Organisasi regional dapat dibentuk untuk menjamin keseimbangan kekuasaan di kawasan dan untuk mencegah hegemoni oleh satu negara dalam hal distribusi geografis. Penempatan fitur topografi dan maritim tidak boleh diabaikan ketika menentukan keseimbangan kekuatan dan mengevaluasi kepentingan nasional. 
  • Bargaining position. Ketika posisi atau kemampuan negara untuk bernegosiasi dalam suatu konflik memburuk, maka negara tersebut lebih cenderung menggunakan kekerasan. Ketika sebuah negara kuat menawarkan pembangunan pangkalan dan negara-negara lain di kawasan menyetujuinya, hal ini dapat menyebabkan konflik keseimbangan kekuatan, yang meningkatkan persaingan keamanan antara negara-negara berkembang dan maju.

Strategi kompetitif Aspek sumberdaya pada sengketa teritorial

Negara-negara di kawasan LCS menghadapi lingkungan geopolitik yang semakin kompetitif yang menyebabkan kecenderungan terus berinvestasi dalam kemampuan proyeksi kekuatan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hal ini merupakan konsekuensi dari perselisihan maritim atas sumber daya alam dan jalur perdagangan yaitu dengan meningkatnya ketegangan di LCS yang menyebabkan peningkatan besar-besaran dalam pengeluaran pertahanan dan proyeksi kekuatan. Terdapat beberapa strategi kompetitif yang perlu diperhatikan pada sengketa teritorial berbasis sumberdaya. 

  • Power Projection. Proyeksi kekuatan dapat diartikan sebagai hilangnya kekuatan hegemonik, karena tidak dapat lagi menggunakan agenda yang dilembagakan untuk mengurangi perlawanan pada sengketa teritorial. Namun demikian, Power Projection tidak hanya tentang kekuatan militer. Han dkk (2023) menjelaskan bahwa power terdiri dari dua bagian yaitu hard power dan softpower. Hard power mencakup kekuatan dasar, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Softpower mencakup citra nasional dan pertukaran budaya.  Tinjauan terhadap langkah-langkah kebijakan luar negeri menunjukkan kisaran lokasi dan keadaan di mana kebijakan luar negeri yang lebih aktif memerlukan kemampuan proyeksi kekuatan dengan keinginan semakin besarnya persentase kemampuan proyeksi kekuatan tersebut dirancang dan diproduksi di dalam negeri.
  • Economic Incentive and Coercion. Menurut Carter dkk (2019), dalam strategi ekonomi, kurangnya insentif ekonomi dapat memperburuk hubungan bilateral yang mengarah kepada kembalinya sengketa teritorial. Bagi China, insentif ekonomi dapat mendukung kebijakan "Jalur Sutra Maritim Abad ke-21", pembangunan zona perdagangan bebas, pembangunan pasar bersama dan integrasi ekonomi masa depan di antara negara-negara pesisir LCS. Selain itu, economic coercion dalam beberapa tahun terakhir digunakan untuk mengklaim terhadap negara-negara yang bersengketa dengannya, jika negara yang bersengketa melanjutkan tindakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan China. Oleh karena itu, beberapa negara dianggap perlu menjaga dan mengurangi potensi economic coercion.
  • Legal claim. Menurut Huth dkk (2013), ketika prinsip-prinsip yang relevan jelas dan satu negara memiliki klaim hukum asimetris, pihak yang bersengketa lebih mungkin untuk mencapai kesepakatan penyelesaian akhir. Ketidakpastian tentang apa klaim hukum China, dan upaya nyata untuk menegakkan kedaulatan di wilayah yang terlalu jauh dari pantainya untuk menjadi bagian dari ZEE-nya, telah membuatnya berselisih dengan penggugat lain mengingat banyak dari wilayah ini yang jauh lebih dekat ke garis pantai penggugat lainnya.
  • Diplomation. Diplomasi di tengah ancaman telah menunjukkan lebih banyak kesinambungan menghadirkan front persatuan dalam sengketa maritim dan untuk menahan diri di Laut China Selatan serta untuk mengarahkan pengelolaan sengketa. Menurut Plagemann (2022), keterlibatan multilateral juga menjanjikan pembatasan biaya transaksi diplomatik dan memberikan manfaat penting, mulai dari lingkungan perdagangan yang lebih bebas hingga hubungan internasional yang lebih damai. Oleh karena itu, mereka harus memanfaatkan institusi dan kelompok terbatas untuk saling berhubungan dengan keterlibatan diplomatik; bekerja sama untuk mengidentifikasi area permasalahan yang terdapat perbedaan dan menciptakan kondisi untuk mengelola dan menyelesaikan perbedaan tersebut; mencoba untuk memasukkan pengaturan baru ke dalam mekanisme dialog diplomatik di berbagai tingkat; menerapkan sepenuhnya perjanjian-perjanjian yang relevan; dan menjaga saluran dialog dan komunikasi tetap terbuka di semua tingkat.
  • Joint development. Ernst (2022) menjelaskan bahwa tujuan dari pembangunan bersama dengan negara-negara kawasan adalah untuk menciptakan kondisi bagi penyelesaian perselisihan secara konsensual melalui kerja sama dan peningkatan saling pengertian. Pembangunan bersama bilateral adalah platform yang berguna untuk meningkatkan kerja sama dan memberikan jalan untuk meningkatkan kepercayaan dan tingkat kepercayaan. Namun demikian, Ho (2014) berpendapat bahwa permusuhan historis dan tingginya tingkat saling curiga di antara negara-negara Asia Selatan merupakan hambatan bagi pembangunan bersama multilateral.
  • Military Power. Huth dkk (2013), menjelaskan bahwa kekuatan militer merupakan faktor penting yang menjelaskan hasil dalam negosiasi bilateral atas masalah keamanan. Di wilayah LCS, terdapat pertemuan kekuatan ekonomi dan militer yang meningkat, dampak negatif perubahan iklim yang besar terhadap antisipasi penangkapan ikan, dan persaingan regional yang kuat antar negara. Menurut Paszak (2021), peningkatan kemampuan angkatan laut China telah menjadi ciri utama perdebatan karena domain maritim merupakan aliran darah perekonomian dunia dan platform utama untuk memproyeksikan kekuatan militer. Oleh karena itu, ketika suatu negara memperoleh kekayaan ekonomi, mereka juga harus menciptakan kekuatan militer untuk mempertahankan kekayaan tersebut dan sebagai akibatnya akan memberikan ancaman negara-negara lain.

Rekomendasi

Mengingat pentingnya sumber daya di LCS bagi Indonesia, sehingga diperlukan kerja sama regional dalam pengelolaan sumber daya. Apa yang disampaikan oleh Yu & Li (2010), upaya Joint development dapat mencakup kerjasama pengelolaan sumberdaya, praktik penangkapan ikan berkelanjutan, dan pembentukan kawasan laut yang dilindungi. Inisiatif-inisiatif ini dapat membantu memastikan kelangsungan sumber daya dalam jangka panjang sekaligus meminimalkan konflik terkait eksploitasinya. 

Kedua, Indonesia dapat secara aktif terlibat dalam dinamika persaingan berbasis sumber daya dan memfasilitasi pemangku kepentingan dalam mengevaluasi strategi kebijakan masa lalu dari perspektif masing-masing negara tersebut. Mereka dapat menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan strategi kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya serta merumuskan strategi kompetitif yang tepat dalam kompetisi aspek sumberdaya pada sengketa wilayah di LCS.

Ketiga, perlunya mengevaluasi risiko yang terkait dengan aspek ketergantungan sumber daya untuk menjaga stabilitas regional dan kepentingan nasional masing-masing negara. Menurut Yoshimatsu (2017), negara sebagai aktor rasional yang berupaya memaksimalkan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan, cenderung menghindari konflik militer karena perdagangan dalam kondisi damai memberikan manfaat hubungan baik tanpa biaya dan risiko. Sementara itu menurut Teixeira (2019), esensi sengketa LCS berorientasi pada sumber daya alam dan kekuatan China yang semakin besar sebagai risiko terhadap posisi status quo AS, termasuk Indonesia sebagai kekuatan di wilayah regional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun