Mohon tunggu...
Cak Koekoeh
Cak Koekoeh Mohon Tunggu... Administrasi - Researcher

"Banyaknya ilmu yang beterbangan diatas kepala kita, maka ikatlah dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kompetisi Aspek Sumber Daya pada Sengketa Teritorial di Laut China Selatan

30 Maret 2024   11:17 Diperbarui: 30 Maret 2024   11:19 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Strategi kompetitif Aspek sumberdaya pada sengketa teritorial

Negara-negara di kawasan LCS menghadapi lingkungan geopolitik yang semakin kompetitif yang menyebabkan kecenderungan terus berinvestasi dalam kemampuan proyeksi kekuatan untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hal ini merupakan konsekuensi dari perselisihan maritim atas sumber daya alam dan jalur perdagangan yaitu dengan meningkatnya ketegangan di LCS yang menyebabkan peningkatan besar-besaran dalam pengeluaran pertahanan dan proyeksi kekuatan. Terdapat beberapa strategi kompetitif yang perlu diperhatikan pada sengketa teritorial berbasis sumberdaya. 

  • Power Projection. Proyeksi kekuatan dapat diartikan sebagai hilangnya kekuatan hegemonik, karena tidak dapat lagi menggunakan agenda yang dilembagakan untuk mengurangi perlawanan pada sengketa teritorial. Namun demikian, Power Projection tidak hanya tentang kekuatan militer. Han dkk (2023) menjelaskan bahwa power terdiri dari dua bagian yaitu hard power dan softpower. Hard power mencakup kekuatan dasar, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Softpower mencakup citra nasional dan pertukaran budaya.  Tinjauan terhadap langkah-langkah kebijakan luar negeri menunjukkan kisaran lokasi dan keadaan di mana kebijakan luar negeri yang lebih aktif memerlukan kemampuan proyeksi kekuatan dengan keinginan semakin besarnya persentase kemampuan proyeksi kekuatan tersebut dirancang dan diproduksi di dalam negeri.
  • Economic Incentive and Coercion. Menurut Carter dkk (2019), dalam strategi ekonomi, kurangnya insentif ekonomi dapat memperburuk hubungan bilateral yang mengarah kepada kembalinya sengketa teritorial. Bagi China, insentif ekonomi dapat mendukung kebijakan "Jalur Sutra Maritim Abad ke-21", pembangunan zona perdagangan bebas, pembangunan pasar bersama dan integrasi ekonomi masa depan di antara negara-negara pesisir LCS. Selain itu, economic coercion dalam beberapa tahun terakhir digunakan untuk mengklaim terhadap negara-negara yang bersengketa dengannya, jika negara yang bersengketa melanjutkan tindakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan China. Oleh karena itu, beberapa negara dianggap perlu menjaga dan mengurangi potensi economic coercion.
  • Legal claim. Menurut Huth dkk (2013), ketika prinsip-prinsip yang relevan jelas dan satu negara memiliki klaim hukum asimetris, pihak yang bersengketa lebih mungkin untuk mencapai kesepakatan penyelesaian akhir. Ketidakpastian tentang apa klaim hukum China, dan upaya nyata untuk menegakkan kedaulatan di wilayah yang terlalu jauh dari pantainya untuk menjadi bagian dari ZEE-nya, telah membuatnya berselisih dengan penggugat lain mengingat banyak dari wilayah ini yang jauh lebih dekat ke garis pantai penggugat lainnya.
  • Diplomation. Diplomasi di tengah ancaman telah menunjukkan lebih banyak kesinambungan menghadirkan front persatuan dalam sengketa maritim dan untuk menahan diri di Laut China Selatan serta untuk mengarahkan pengelolaan sengketa. Menurut Plagemann (2022), keterlibatan multilateral juga menjanjikan pembatasan biaya transaksi diplomatik dan memberikan manfaat penting, mulai dari lingkungan perdagangan yang lebih bebas hingga hubungan internasional yang lebih damai. Oleh karena itu, mereka harus memanfaatkan institusi dan kelompok terbatas untuk saling berhubungan dengan keterlibatan diplomatik; bekerja sama untuk mengidentifikasi area permasalahan yang terdapat perbedaan dan menciptakan kondisi untuk mengelola dan menyelesaikan perbedaan tersebut; mencoba untuk memasukkan pengaturan baru ke dalam mekanisme dialog diplomatik di berbagai tingkat; menerapkan sepenuhnya perjanjian-perjanjian yang relevan; dan menjaga saluran dialog dan komunikasi tetap terbuka di semua tingkat.
  • Joint development. Ernst (2022) menjelaskan bahwa tujuan dari pembangunan bersama dengan negara-negara kawasan adalah untuk menciptakan kondisi bagi penyelesaian perselisihan secara konsensual melalui kerja sama dan peningkatan saling pengertian. Pembangunan bersama bilateral adalah platform yang berguna untuk meningkatkan kerja sama dan memberikan jalan untuk meningkatkan kepercayaan dan tingkat kepercayaan. Namun demikian, Ho (2014) berpendapat bahwa permusuhan historis dan tingginya tingkat saling curiga di antara negara-negara Asia Selatan merupakan hambatan bagi pembangunan bersama multilateral.
  • Military Power. Huth dkk (2013), menjelaskan bahwa kekuatan militer merupakan faktor penting yang menjelaskan hasil dalam negosiasi bilateral atas masalah keamanan. Di wilayah LCS, terdapat pertemuan kekuatan ekonomi dan militer yang meningkat, dampak negatif perubahan iklim yang besar terhadap antisipasi penangkapan ikan, dan persaingan regional yang kuat antar negara. Menurut Paszak (2021), peningkatan kemampuan angkatan laut China telah menjadi ciri utama perdebatan karena domain maritim merupakan aliran darah perekonomian dunia dan platform utama untuk memproyeksikan kekuatan militer. Oleh karena itu, ketika suatu negara memperoleh kekayaan ekonomi, mereka juga harus menciptakan kekuatan militer untuk mempertahankan kekayaan tersebut dan sebagai akibatnya akan memberikan ancaman negara-negara lain.

Rekomendasi

Mengingat pentingnya sumber daya di LCS bagi Indonesia, sehingga diperlukan kerja sama regional dalam pengelolaan sumber daya. Apa yang disampaikan oleh Yu & Li (2010), upaya Joint development dapat mencakup kerjasama pengelolaan sumberdaya, praktik penangkapan ikan berkelanjutan, dan pembentukan kawasan laut yang dilindungi. Inisiatif-inisiatif ini dapat membantu memastikan kelangsungan sumber daya dalam jangka panjang sekaligus meminimalkan konflik terkait eksploitasinya. 

Kedua, Indonesia dapat secara aktif terlibat dalam dinamika persaingan berbasis sumber daya dan memfasilitasi pemangku kepentingan dalam mengevaluasi strategi kebijakan masa lalu dari perspektif masing-masing negara tersebut. Mereka dapat menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan strategi kebijakan yang telah dilakukan sebelumnya serta merumuskan strategi kompetitif yang tepat dalam kompetisi aspek sumberdaya pada sengketa wilayah di LCS.

Ketiga, perlunya mengevaluasi risiko yang terkait dengan aspek ketergantungan sumber daya untuk menjaga stabilitas regional dan kepentingan nasional masing-masing negara. Menurut Yoshimatsu (2017), negara sebagai aktor rasional yang berupaya memaksimalkan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan, cenderung menghindari konflik militer karena perdagangan dalam kondisi damai memberikan manfaat hubungan baik tanpa biaya dan risiko. Sementara itu menurut Teixeira (2019), esensi sengketa LCS berorientasi pada sumber daya alam dan kekuatan China yang semakin besar sebagai risiko terhadap posisi status quo AS, termasuk Indonesia sebagai kekuatan di wilayah regional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun