Mohon tunggu...
Apriani
Apriani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru sebuah madrasah aliyah dengan basic pendidikan keguruan. Suka novel dan film. Tertarik dengan dunia menulis sebagai ajang ekspresi diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Santri (2)

9 November 2022   09:03 Diperbarui: 9 November 2022   09:06 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunyi krek pelan terdengar keluar dari pintu yang ditarik dari dalam.

            Degg..

Rasa kaget bukan kepalang menyerangku, dan rasa ini jauh lebih besar ketimbang rasa dag dig dug tadi sebelum dia mengucapkan salam. Aku tadi sempat mendengar jawaban salam dari Bu Nyai, namun yang keluar untuk membuka pintu adalah seorang mbak santri. Seorang mbak santri yang ikut nderek kepada Bu Nyai. Namun mbak santri ini melebihi dari apa yang selama ini dia bayangkan. Aku membayangkan bahwa santri putri pastilah berwajah culun, katrok dan nggak enak dilihat. Namun yang ini tidak, dia adalah seorang santri yang hampir perfeck di matanya. Bidadari turun dari kayangan.

            Lebih dari sepuluh detik kami bertatapan mata. Dan segera mbak santri ini beringsut meninggalkanku sendirian di depan pintu setelah mengucapakan."Tunggu sebentar ya kang, saya panggilin dulu Mbah Nyai." Aku membalas senyumnya setelah benar-benar mbak santri ini tidak ada. Tidak enak dilihatnya.

            "Siapa nduk yang sowan pagi-pagi begini....? Tidak biasanya."

            "Imah tidak tahu Mbah, kulo kinten kang santri..."

            "O... ya sudah, kamu siapkan minuman, biar saya yang menemuinya."

            "Ternyata namanya Imah ya. Memang nggak salah orang tuanya memberi nama seperti itu, cocok dengan orangnya." Aku mengomentari sendiri apa yang kudengar dan kulihat barusan.

            Segera saja kududuk di kursi yang agak jauh dari Mbah Nyai setelah dipersilakan duduk.

            "Oalaah kamu to kang, pantesan si Imah  nggak tau kalau itu kamu. Maklum dia baru sebulan di pondok jadi tidak mengenalmu. Bagaimana kabar orang tuamu di rumah, kang....?" Beliau langsung saja memberi pertanyaan seperti itu. Karena beliau tidak ingin antara beliau dan para santri ada semacam sekat yang akan menghalangi untuk bertemu dengan para santrinya.

            "InsyaAllah baik Mbah, berkat do'a panjenengan mereka di rumah baik-baik saja."

            "Huzzs jangan berkata seperti itu kang, tidak baik, memang saya apa...? Semua yang membuat keluargamu baik itu ya Allah SWT." Kembali Mbah Nyai memberi wejangan kepadanya.

            "Enggeh Mbah." Aku hanya bisa berkataa seperti itu.

            "Jadi ada perlu apa sampean datang kesini? Sampean ingin pu......" Seketika Mbah Nyai menghentikan ucapanya ketika beliau melihat Imah datang membawa nampan yang berisi air teh dan buah-buahan yang kelihatannya masih segar.

            Keheningan mulai terasa ketika Imah mulai menaruh buah dan minuman didepannya. Dan sekilas kulihat senyumannya saat Imah berangsur pergi kebelakang. Namun setelah melihat Imah pergi dari hadapannya, Mbah Nyai tersenyum juga. Senyuman yang tidak kuketahui apa maksudnya.

***

            Maghrib hari ini kembali tenang, hujan yang semenjak sore mengguyur daerahku sudah tidak lagi menurunkan air. Aktifitas di pondok masih seperti biasa. Ramai, dan penuh keceriaan. Aku baru saja selesai mengaji Al-Qur'an. Namun sebelum aku sempat merebahkan badan untuk membaca buku,  suara mickrofon terdengar nyaring ditelinganya. 

            "Pengumuman ditujukan kepada saudara Irul. Bahwa di Ndalem ada tamu yang sedang menunggunya."

            Dengan segera kurapikan baju dan bersiap untuk turun ke Ndalem. Di sana seperti biasa kuucapkan salam dan menunggu Mbah Nyai untuk membuka pintu ndalem.

            "Ayo kang masuk ada yang ingin saya bicarakan dengan sampean......" Dengan seksama kudengar semua wejangan Mbah Nyai. Panjang lebar beliau menjelaskan, yang kalau aku boleh menilai bahwa wejangan ini bukan seperti kebanyakan wejangan yang selama ini kudengar, lebih seperti curhat. Bahwa beliau bingung untuk mencarikan jodoh bagi salah satu santri putrinya. Aku tidak mengetahui siapa sebenarnya santri ini, yang harus meminta bantuan segala kepada Mbah Nyai untuk mencarikanya jodoh.

            "Saya tidak tahu Mbah...." Dengan jujur kujawab perihal siapa gadis ini dan mengapa aku sampai dipanggil kesini, bahwa aku tidak tahu sama sekali.     

            "Tapi kamu jangan kuatir kang, semalem dia sudah bicara panjang lebar dengan saya, bahwa dia telah memilih sampean sebagai calon suaminya." Uhuk...uhuk, berkali-kali dia batuk tidak percaya.

            "Dan katanya kang, bahwa sampeanlah yang mampu membuat hatinya bergetar, setelah sekian lama dia memilih banyak kang santri sebagai calon suaminya. Sampeanlah orang pertama yang dapat membuat hatinya bergetar."

            "Kalau saya boleh tahu, siapa mbak santri ini Mbah...?" Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

            "Imah...." Beliau menjawab dengan pelan namun tegas....

####

                                                                      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun