Kamis sore, Okta sudah duduk manis di Kedai Kopi Cinta langganan April sahabatnya. Okta sedang menunggu seorang klien, lebih tepatnya klien April. Okta dan April sudah bersahabat semenjak mereka masih sama-sama kuliah hingga sampai sekarang. Sama-sama berprofesi psikolog, bedanya April sudah punya kantor sendiri sedang Okta tidak.
Seperti saat ini, Okta mendapat klien dari April sahabatnya, sepertinya April kewalahan mendapat banyak klien. Apalagi sekarang April sedang berkeliling Asia bersama Arka suaminya, selama 2 bulan. Sebenarnya Okta merasa  iri melihat keberuntungan sahabatnya. Tapi mau bagaimana lagi?
Okta memandang kosong kearah jendela Kedai Kopi Cinta, terlihat jendela basah terkena air hujan, tetesannya terlihat mengalir pelan di balik jendela kaca. Kopi gula aren dia aduk perlahan dengan pikiran kosong.
Tak lama Okta dikagetkan dengan kedatangan seorang wanita cantik, tiba-tiba duduk di hadapannya dengan memakai kaca mata hitam, baju berwarna kuning dipadu rok blue jean tampak sedikit basah, begitupun dengan rambut lurus sebahunya.
Setelah yakin tidak tidak salah orang, wanita cantik itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. Terasa dingin dan basah tangan wanita itu setelah mereka bersalaman. Tangan Okta terasa basah dengan refleks dia melihat ke arah jendela, ternyata hujan semakin deras.
Andrea nama wanita itu dan minta dipanggil Dea. Setelah Dea memesan minuman Kopi Jahe, tanpa diminta ia mulai bercerita.
Dea dan Pram suaminya, menikah selama 13 tahun, di saat usia Dea 18 tahun dan baru lulus SMA karena dijodohkan orangtuanya. Pram anak orang kaya dan dia seorang manager di kantor cabang, yang kantor pusatnya terletak di ibukota.
Awal pernikahan semua berjalan lancar dan terlihat adem ayem, sampai usia pernikahan 5 tahun. Setelah mereka dikaruniai 2 putri yang cantik dan lucu, perangai Pram berubah drastis.
Suaminya jarang pulang dan sering berkata kasar, bukan kekerasan verbal yang diterima Dea tapi juga kekerasan fisik bahkan ia mengalami kekerasan seksual juga. Dea sering dihina karena ia lulusan SMA, padahal sebelum menikah Pram sudah menjanjikan akan mengijinkan jika Dea mau kuliah. Kenyataannya Pram tidak pernah mengijinkan Dea kuliah lagi.
Dea terdiam, ia terisak dan membuka kacamata hitamnya. Dari awal Okta bertanya dalam hati, ketika Dea tiba-tiba duduk dihadapannya dengan tidak melepas kacamata hitam yang dipakainya. Rasa penasaran Okta terjawab, ketika Dea membuka kacamata hitamnya, terlihat matanya bengkak, dan sudut matanya membiru, seperti habis dipukul dengan keras oleh benda tumpul.
Secara perlahan, Dea membuka baju lengan panjangnya terlihat tangannya yang putih penuh luka lebam, bekas gigitan dan cakaran. Luka lama dan baru memenuhi tangannya, belum lagi luka tubuhnya yang tak mungkin diperlihatkan di depan umum.
Okta menahan diri untuk tidak menangis, bagaimanapun dia jangan  terlihat lemah, karena harus menguatkan Dea sebagai kliennya. Okta hanya mengusap tangan Dea untuk meyakinkan, bahwa dia akan membantunya.
Setelah agak tenang, Dea meneruskan kisahnya. Pram sering berganti-ganti membawa wanita malam ke rumahnya dan minum minuman keras. Jujur Dea sudah tidak tahan dengan perlakuan Pram. Dea lalu minta cerai. Pukulan dan pukulan selalu diterimanya. Pram tidak mau menceraikannya dengan alasan malu dengan keluarga besar, tetangga dan anak buahnya, yang lebih utama menjaga nama baiknya sebagai seorang manager.
Di luar orang melihat keluarga mereka harmonis tapi tidak didalamnya, pertengkaran demi pertengkaran selalu terdengar di rumah itu. Pram pintar mengambil hati kedua orangtua Dea. Mereka sering dihubungi Pram dan memutarbalikkan fakta. Bahwa Dea minta cerai karena ingin menikah dengan laki-laki lain. Bahkan adik dan kakaknya Dea sudah dihasutnya.
Orangtua Dea, terutama ibunya lebih percaya pada Pram dibanding anaknya sendiri. Di depan Dea, senyum kemenangan selalu diperlihatkan Pram.
Dea merasa sendiri, bahkan anak-anaknya sudah dihasut oleh Pram sebagai ayahnya, bukan tanpa alasan Dea belum bercerita ke yang lain, sebab ia tidak ingin melibatkan orang luar untuk permasalahan rumah tangganya. Tapi tidak dengan Pram, laki-laki itu selalu mencari simpati untuk menutupi kesalahannya.
Okta menjadi pendengar yang baik, tak sedikitpun perkataan Dea diselanya sampai Dea selesai bercerita, terlihat bebannya sedikit  berkurang. Okta melihat Dea lebih tenang dibanding awal kedatangannya tadi.
Setelah tenang dan menerima masukan Okta. Dea memeluk Okta dan berjanji akan melaksanakan nasehat Okta dan 14 hari ke depan akan menemuinya kembali.
Hujan telah berhenti. Dea kliennya sudah pulang. Tinggal Okta sendirian, ia menangis sesenggukan, ia pun butuh pertolongan. Ia menangis sambil meraba kepalanya yang masih benjol dan terasa sakit. Di balik baju panjangnya, badannya babak belur dihajar suaminya, hanya wajah yang sengaja tidak dihajarnya. Karena Nanto suaminya, tau Okta akan menemui klien.
Okta dihajar suaminya, karena ia memergoki suaminya sedang bermesraan dengan Ijah seorang pembantu di rumah mereka.
-----
Pertanyaan penulis, apakah lelaki seperti itu semua?
Â
Catatan: tayang di secangkirkopibersama.com. Dengan sedikit berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H