Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Bercerai Itu Tabu? (Bagian Empat)

14 September 2020   18:43 Diperbarui: 14 September 2020   18:47 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

<< Sebelumnya

Bagian Empat

Teringat kembali pertemuanku dengan Fani beberapa waktu yang lalu, sore itu, ketika aku tengah bersiap-siap untuk pulang ke rumahku, entah kenapa tiba-tiba saja Fani muncul di hadapanku dengan kondisi mata yang terlihat bengkak dan muka terlihat begitu lelah.

Melihat kondisi Fani saat itu, aku tidak pernah menyangka bahwa kondisi Fani seperti yang dia ceritakan siang tadi. Saat itu aku berpikir mungkin Fani kelelahan akibat tuntutan kerja. Ya memang Fani itu wanita karir sepertiku.

Dan ketika siang tadi Fani menceritakan semuanya kepadaku, baru aku tau dengan sikapnya yang dimataku terlihat begitu aneh semenjak pernikahnnya dulu. Fani memang pernah bercerita padaku, bahwa pernikahannya dengan Lelaki itu adalah karena terpaksa, mengikuti keinginan  orangtua. Tapi jujur saja aku tidak menyangka bahwa nasibnya bisa setragis itu, setelah sekian lamanya kami tidak pernah bertemu.

 Aku dan Fani memang jarang sekali bertemu, walaupun kami sebenarnya masih tinggal di Kota yang sama. Komunikasi kami terkadang hanya melalui Medsos, tak jarang kami hanya saling mengetatahui kabar satu sama lainnya dari foto-foto yang ada di akun Medsos masing-masing. Makanya selama ini aku menyangka bahwa Fani hidup bahagia bersama Lelaki yang dia nikahi karena desakan kedua orangtuanya.

Di dalam album foto-fotonya di Medsos, Fani terlihat begitu bahagia, itu bisa kulihat dari foto-fotonya disana, makanya ketika beberapa kali bertemu di acara, aku tidak pernah memperhatikan wajah Fani yang saat itu terlihat begitu tertekan ketika sedang bersama suaminya.

Ah! Seandainya dulu Fani bercerita, mungkin keadaannya tidak akan seperti sekarang ini. sekian lama dia bersandiwara di hadapan semua orang hanya untuk menutupi ketidakharmonisan hubungan rumah tangganya.

 Siang tadi Fani sudah menceritakan semuanya kepadaku. Dan sekarang, aku tau bahwa sahabatku itu bukanlah Fani yang kukenal dulu. Membayangkan cerita yang keluar dari dalam mulutnya, jujur saja aku bergidik, ngeri dan tidak menyangka bahwa Fani bisa senekat itu, karena merasa begitu kecewa dengan kehidupan rumah tangga yang dia jalani.

Di mataku, Fani dulunya adalah seorang anak yang penurut kepada kedua orangtuanya, sehingga saat itu Ia rela mengorbankan perasaannya, untuk melihat senyum bahagia kedua orangtuanya. Tapi yah, segala sesuatu yang dipaksakan itu memang akan menjadi tidak baik pada akhirnya.

Setelah menjalani kekecewaan demi kekecewaan, akhirnya Fani menjadi seorang pemberontak, Fani terluka, Fani sakit dan Fani tidak tau harus mengadu kepada siapa, karena yang Ia tau, semua yang ada di lingkungannya adalah orang-orang munafik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun