Kedua, selama pembelajaran jarak jauh rata-rata peserta didik bangun siang dan merasa belajar online itu bukan belajar yang sebenarnya jadi mereka mengerjakan soal semaunya.
Ketiga, emosi peserta didik selama di rumah meningkat, karena mereka tidak bisa bersosialisasi dengan teman sebaya dan terkurung di rumah, mereka merasa jenuh serta ingin belajar di sekolah seperti sebelumnya.
Keempat, orangtua merasa kewalahan mengajar putra putrinya di rumah, karena tidak memahami materi pelajaran  sekolah, alhasil memicu emosi orang tua pada putra putrinya.
Kelima, terkendala dengan gawai yang mereka miliki, karena sebagian besar peserta didik tidak mempunyai gawai pribadi, dan  sebagian besar  orangtua di sekolah kami tidak memiliki android yang mereka miliki adalah gawai jadul yang hanya bisa untuk telepon dan sms saja.Â
Jadi peserta didik terpaksa meminjam pada saudaranya seperti paman, tante, kakak dan sepupunya dan lain sebagainya, yang pasti tidak bisa 24 jam mereka pinjamkan karena pagi sampai sore hari gawai itu  dibawa mereka ke tempat kerja.
Keenam, orangtua peserta didik kami sebagian besar bekerja serabutan, mereka juga terkena dampak Covid-19 dengan tidak mempunyai  penghasilan tetap, meski ada uang mereka utamakan untuk mengganjal perut  daripada membeli kuota atau pulsa.
Ketujuh, channel TVRI yang melaksanakan pembelajaran online tidak ditangkap jelas oleh televisi mereka di rumah
Kedelapan, kendala dari para guru yang kerepotan memberi penilaian pada peserta didik yang tidak mengerjakan tugas sama sekali. Serta masih ada guru yang gagap teknologi, belum lagi orangtua atau wali murid yang kurang peduli karena mereka sibuk mencari nafkah.
Ini kendala yang kami rasakan selama peserta didik belajar dari rumah. Sekarang kami akan menghadapi  lagi, peserta didik belajar dari rumah selama enam bulan kedepan. Ini menjadi tantangan kami para pendidik, bagaimana cara dan teknis supaya peserta didik mendapatkan haknya meski mereka di rumah.
Tunggu langkah kami selanjutnya.